Banda Aceh – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menahan Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Suhendri, tersangka perkara dugaan korupsi pengadaan budidaya ikan kakap dan pakan rucah untuk masyarakat korban konflik di Aceh Timur pada Selasa, 15 Oktober 2024. Selain Suhendri, empat tersangka lainnya yang ditahan oleh Kejati Aceh adalah Zulfikar, Muhammad, Mahdi, dan Zamzami.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian memberikan catatan kritis terkait tindak pidana korupsi BRA. “MaTA mendukung penuh langkah penegakan hukum yang sedang berlangsung atas tindak pidana korupsi di BRA oleh Kejati Aceh, penegakan hukum menjadi penting demi rasa keadilan publik dan kepastian hukum,” ujar Alfian kepada Line1.News, Selasa malam, 15 Oktober 2024.
Baca: [BREAKING NEWS] Ketua BRA Tersangka Korupsi Ditahan Kejati Aceh
Namun, tambah Alfian, MaTA menilai kasus tindak pidana korupsi di tubuh BRA tidak berdiri pada lima orang tersangka yang sudah ditahan. “Apalagi dengan total loss atas kerugian yang terjadi sehingga proses lidik (penyelidikan) atas penelusuran dana hasil korupsi perlu untuk diperhatikan. Sehingga siapa pun yang menerima aliran dana hasil kejahatan luar biasa tersebut dapat diungkap,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, penahanan kelima tersangka menjadi jawaban kepada publik yang selama ini memberikan atensi terhadap kasus tersebut dan langkah penahanan yang dilakukan Kejati Aceh patut didukung. “MaTA konsisten mengawal kasus tersebut. Aceh harus bebas dari korupsi dan ini menjadi pondasi menuju Aceh maju.”
MaTA sendiri sejak awal Mei 2024 telah meminta Kejaksaan mengusut tuntas dugaan korupsi di BRA. Alfian mengatakan penyaluran bantuan tersebut diperuntukkan bagi sembilan kelompok masyarakat di Kecamatan Nurussalam dan Darul Aman, Aceh Timur, dengan anggaran Rp15 miliar lebih pada perubahan APBA Tahun Anggaran 2023.
“Program ini sifatnya sebagai pokok pikiran (pokir) Anggota DPRA. Berdasarkan temuan dan analisa awal kami, nama setiap kelompok sengaja didesain sedemikian rupa untuk memuluskan pencairan anggaran,” ujar Alfian melalui keterangan tertulis, Sabtu, 7 Mei 2024.
Fakta penyidikan yang kemudian diperoleh Kejati Aceh berdasarkan keterangan para saksi, sembilan kelompok penerima manfaat itu tidak menerima bantuan bibit ikan kakap dan pakan rucah. Mereka juga tidak menandatangani berita acara serah terima bantuan.
“Sehingga tidak sesuai dengan ketentuan namun telah dibayarkan 100 persen oleh Sekretariat BRA, dan masyarakat korban konflik yang memang membutuhkan tidak pernah mendapatkannya,” ungkap Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis pada Rabu, 17 Juli 2024. Dari kasus itu, kata dia, kerugian keuangan negara mencapai Rp15,3 miliar.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy