Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim Dosen Fakuktas Syariah IAIN Lhokseumawe
Salah satu tradisi umat Islam pada setiap hari raya Aidul Adha adalah melaksanakan ibadah qurban berupa penyembelihan hewan ternak seperti kambing dan lembu. Ibadah ini sangat dianjurkan dilaksanakan pada hari pertama setelah shalat ‘id. Sehingga makanan yang hendaknya dimakan pertama sekali pada hari itu adalah daging qurban.
Dalam sebuah hadis disebutkan, “Nabi tidak keluar pada hari raya fitrah sampai makan terlebuh dahulu, dan tidak makan pada hari raya Adha hingga selesai shalat, lalu makan dari daging qurbannya” (HR: Ahmad). Namun begitu tiga hari setelahnya tetap dijadikan sebagai hari-hari penyembelihan. Nabi bersabda, “seluruh jalan-jalan Makkah (riwayat lain menyebutkan seluruh kawasan Mina) merupakan tempat penyembelihan, dan hari-hari tasyriq (sebelas hingga tiga belas Zulhijjah) adalah waktu penyembelihan“.
Terkait dengan kelebihan dari ibadah ini, disebutkan dalam sebuah hadis, “tidak ada amal anak Adam pada hari Nahar yang lebih dicintai Allah melebihi dari perbuatan mengalirkan darah (menyembelih). Sesungguhnya hewan yang disembelih itu akan datang pada hari kiamat (lengkap) dengan tanduknya, bulunya dan kukunya”, (HR: Tirmizi).
Dalam hadis lainnya disebutkan bahwa Nabi selalu berqurban sejak ibadah ini disyariatkan. Abdullah ibnu ‘Umar mengatakan, “Nabi tinggal di Madinah selama sepuluh tahun, dan setiap tahunnya berqurban” (HR: Ahmad). Konsistensi Nabi dalam berqurban menunjukkan betapa istimewanya ibadah ini.
Di samping itu Nabi juga ingin menekankan betapa pentingnya berqurban, sehingga dalam sebuah hadisnya beliau bersabda, “siapa yang memiliki kemampuan (kelapangan harta) namun tidak berqurban, maka jangan sekali-kali mendekati mushalla (tempat shalat hari raya) kami” (HR: Ibnu Majah). Bahkan di hadis lainnya ditekankan, “hendaknya setiap satu rumah, satu qurban” (HR: Ahmad).
Sebagaimana disebutkan dalam banyak hadis Nabi, ibadah ini juga tersebut dalam banyak ayat Al-Qur’an. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah” (al-Kautsar: 1 – 2).
Syariat qurban disebutkan panjang lebar dalam surah al-Haj. Di sana Allah berfirman misalnya, “dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka”, (al-Haj: 34).
Pada ayat selanjutnya, “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang (yang membutuhkan), baik yang tidak meminta-minta maupun yang meminta” (al-Haj: 36).
Allah menutup dengan firman-Nya, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” (al-Haj: 37).
Kisah Qurban dalam Al-Qur’an
Ada dua peristiwa yang disuguhkan Al-Qur’an terkait dengan qurban, satu di surah al-Maidah, satunya lagi di surah al-Shaffat. Kedua-duanya mewakili praktik ibadah qurban umat Islam hari ini, setidaknya dari sisi spirit dan nilai-nilai yang termuat di dalamnya.
Kisah pertama tersebut dalam firman Allah, “ceritakanlah kepada mereka kisah kedua anak Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!“. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa“, (al-Maidah: 27).
Kisah ini berakhir dengan terbunuhnya Habil oleh kakaknya sendiri Qabil. Allah berfirman, “maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi”, (al-Maidah: 30).
Dalam banyak tafsir dan terjemahan Al-Qur’an, dua anak Adam yang termaktub dalam ayat di atas selalu merujuk kepada anak kandung Adam, yaitu Qabil (kakak) dan Habil (adik). Meskipun sangat populer, ternyata pendapat ini tidak direstui oleh semua ulama. Sebagian ulama justru berpendapat bahwa dua anak Adam yang dimaksud adalah keturunan Adam, bukan anak kandungnya. Kedua anak tersebut adalah dua orang dari golongan Bani Israil.
Hal itu didasarkan pada ayat setelahnya yang bersambung langsung dengan cerita dua anak Adam, yaitu firman Allah, “oleh karena itu Kami tetapkan bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” (al-Maidah: 32). Ayat ini seakan-akan menjadi penutup cerita tentang konflik dua anak Adam yang berakhir pada pembunuhan hingga yang satunya dikuburkan (al-Maidah: 31).
Pada ayat 27 di atas terungkap persaingan kedua anak Adam dalam melaksanakan qurban, di mana yang satu diterima Allah, satunya lagi tertolak. Tidak terima qurbannya ditolak, akhirnya mendengki kepada saudaranya, bahkan bertekad membunuhnya.
Selesai ia membunuh dan menguburkan saudaranya, Allah berfirman, “oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil…dst” (al-Maidah: 32). Jika melihat rentetan ayat dan munasabahnya, sangat wajar dan tidak menutup kemungkinan bahwa dua anak Adam itu bukanlah dua anak kandung Adam, tetapi bisa saja dua orang dari Bani Israil, yang pada hakikatnya juga dua orang anak keturunan Adam.
Cerita kedua adalah kisah Nabi Ibrahim bersama anaknya Ismail yang disebutkan dalam surah al-Shaffat. Allah berfirman, “maka tatkala anak itu (Ismail) sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (al-Shaffat: 102).
Mimpi yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah peristiwa pewahyuan yang terjadi dalam tidur seorang Nabi. Ini merupakan salah satu cara para Nabi menerima wahyu dari Allah SWT. Cerita ayat di atas menjadi landasan utama dan dalil bahwa mimpi seorang Nabi adalah wahyu. Jika tidak, takkan mungkin Nabi Ibrahim melaksanakan apa yang dilihat dalam mimpinya. Begitu alasan yang diberikan oleh Syaikh Manna’ Qattan dalam bukunya Mabahits fi ‘Ulum al-Quran.
Setelah menyampaikan mimpinya kepada sang anak, keduanya bersiap melaksanakan apa yang diperintahkan Allah, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut ini. “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya)” (al-Shaffat: 103). Pembaringan atas pelipis dimaksudkan agar Ibrahim tidak melihat wajah Ismail saat pisau menggorok lehernya.
Situasi ini sesungguhnya sangat sulit dan tidak mudah bagi siapapun. Ismail adalah anak satu-satunya yang dimiliki Ibrahim saat itu. Ia sangat mencintai dan menyayanginya. Tak dapat dibayangkan apa yang ada dalam benak Ibrahim saat ia diperintahkan untuk mengorbankan anak semata wayangnya, anak yang sangat ia sayang. Pastinya ia takkan tega melihat anaknya kesakitan dan berdarah-darah. Itulah mengapa ia baringkan atas pelipisnya.
Sedang Ibrahim bersiap menyembelih Ismail, Allah berfirman, “dan Kami panggilkan dia, hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (al-Shaffat: 104 – 107). Sembelihan inilah yang hari ini dikenal dengan qurban atau udhiyah, dan dilaksanakan pada setiap hari raya qurban (Aidul Adha).
Mengapa Harus Berqurban?
Meskipun berbeda cerita antara kisah Ibrahim dan dua anak Adam, namun keduanya menegaskan bahwa, keikhlasan dan kepatuhan merupakan kunci dalam menjalani hidup sebagai hamba Allah SWT. Tidak dijelaskan dalam ayat-ayat di atas mengapa kedua anak Adam harus berqurban. Sama halnya dengan Ibrahim, mengapa ia diperintahkan menyembelih anaknya.
Sebagai hamba Allah manusia tidak punya hak atau keharusan mengetahui mengapa ia diperintahkan. Konsekuensi sebagai hamba Allah adalah taat dan patuh pada apa yang diperintahkan. Allah berfirman, “dan tidaklah patut bagi mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (al-Ahzab: 36).
Seseorang belum dianggap teruji kepatuhannya hinggalah ia patuh pada sesuatu yang ia sediri tidak tahu mengapa. Dalam bahasa lain, amalan yang harus dikerjakannya tidak logis menurut akalnya. Namun bagi orang beriman, dan di sini tampak fungsi iman, ia tidak pernah mempersoalkan hal-hal yang sifatnya tidak rasional, asalkan itu benar datangnya dari Allah dan Rasul.
Qurban adalah amalan yang dalam sudut pandang tertentu tidak logis. Secara syar’i, hewan qurban harus disembelih, tidak boleh diganti dengan perlakuan lain walaupun secara lahiriah mamfaatnya bisa lebih besar. Anggap saja diternak atau dikembangbiakkan dan hasilnya diperuntukkan kepada fakir miskin. Tentu akan lebih produktif, dibandingkan jika hanya disembelih lalu dimakan.
Namun lagi-lagi ini bukan persoalan logika semata. Allah berfirman, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” (al-Haj: 37). Allah ingin melihat kepatuhan dan ketaatan dari hamba-hamba-Nya.
Itulah mengapa, dalam surah al-Kautsar, perintah qurban digandingkan dengan perintah shalat, “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah”, (al-Kautsar: 2). Shalat menjadi salah satu bentuk atau bukti ketundukan seseorang kepada Allah Swt. Alasannya karena shalat merupakan ibadah yang bersifat simbolik, atau dalam istilah sebagian ulama disebut dengan ibadah ghair ma’qul al-ma’na. Ibadah yang secara sepintas tidak logis dan penuh dengan simbol-simbol. Mulai dari jumlah waktu shalat, rakaat shalat, hingga gerakan-gerakan shalat. Jikapun kemudian ada yang coba mengungkapkan rahasia di balik itu semua, itu hanya bersifat spekulatif. Itulah mengapa dalam beribadah, Allah mensyaratkan adanya ketulusan (ikhlas). Allah berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus” (al-Bayyinah: 5). Hanya dengan keikhlasan seseorang akan mampu melaksanakan dan menyempurnakan kepatuhannya kepada Allah SWT.
Karena itu, sebagai hamba Allah yang patuh tentunya tidak pantas mungkir saat datang musim qurban seperti sekarang ini. Bukan hanya soal patuh dan ikhlas, tetapi juga tentang syukur kepada Allah atas nikmat yang melimpah.
Takkan hanya karena seekor kambing dalam setahun seseorang harus beralasan begini dan begitu. Bukankah Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah”, (al-Kautsar: 1 – 2). Qurban adalah bukti kepatuhan dan syukur seorang hamba dalam ber-taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wallahua’lam.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy