Lhokseumawe – Sebagian besar tenaga medis di beberapa rumah sakit (RS) swasta di Lhokseumawe mengeluh karena upah yang mereka terima jauh dari layak dibandingkan beban kerja saban harinya. Padahal, mereka berada di garda terdepan pelayanan kesehatan, terutama saat pandemi Covid-19 melanda negeri ini.
Data yang dihimpun Line1.News dari sejumlah RS swasta di Lhokseumawe, upah yang diterima para tenaga medis seperti perawat dan bidan maupun petugas nonmedis, berada di kisaran angka Rp800 ribu hingga Rp1,7 juta sebulan.
Menurut para tenaga medis, nilai yang mereka terima itu tidak seberapa bila dibandingkan dengan pendapatan rumah sakit. Rata-rata pekerja medis yang ditemui menyebutkan pendapatan rumah tempat mereka bekerja bisa mencapai miliaran rupiah per bulannya.
Selain itu, besaran gaji tersebut kurang dari setengah nominal Upah Minimum Regional atau UMR Kota Lhokseumawe. Diketahui, Pemerintah Kota (Pemko) Lhokseumawe telah menetapkan Upah Minimum Kota tahun 2024 sebesar Rp3.413.666.
Seorang perawat di salah satu RS swasta yang meminta identitasnya dirahasiakan mengungkapkan, gaji pokok yang ia diterima hanya Rp1,7 juta per bulan dengan beban kerja lebih dari delapan jam sehari.
“Kami bekerja lebih dari delapan jam sehari. Bahkan sering lembur tanpa insentif yang memadai. Beban kerja tinggi tetapi penghargaan terhadap kami sangat minim,” keluhnya dengan nada kecewa.
Sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan, dia merasa hal itu sebuah ketidakadilan. Perasaan serupa, sebut perawat itu, juga dialami para koleganya yang bekerja RS swasta tersebut.
Mereka berharap persoalan upah minim itu menjadi perhatian pemerintah kota dan pemilik rumah sakit. Setidaknya, kata para petugas medis, Pemko Lhokseumawe turun tangan melakukan intervensi untuk mengatasi problem tersebut.
“Kami berharap ada intervensi nyata dari pemerintah dan pemilik rumah sakit. Kami hanya ingin keadilan. Kami juga manusia yang memiliki kebutuhan hidup,” ujar perawat yang lain.
Pemerintah juga diminta lebih tegas dalam mengawasi manajemen RS swasta. Kesejahteraan tenaga medis sebagai ujung tombak pelayanan disebut juga bagian penting penguatan sektor kesehatan, bukan hanya melulu bicara fasilitas.
Selain itu, para petugas medis meminta pemerintah mengeluarkan regulasi atau kebijakan khusus yang bisa menjadi tameng untuk melindungi tenaga kesehatan dari eksploitasi kerja.
Beberapa petugas medis khawatir situasi tersebut dapat berdampak buruk pada kualitas pelayanan kesehatan di Lhokseumawe. Sebab, kata mereka, tenaga medis yang tidak dihargai cenderung kehilangan motivasi, dan pada akhirnya mempengaruhi pelayanan kepada pasien.
Jika tidak ada perubahan ke depan, sebagian petugas medis telah berencana resign dari RS swasta dan mencari pekerjaan yang upahnya lebih layak.
“Jika situasi ini terus dibiarkan, akan sulit mempertahankan tenaga medis yang kompeten. Banyak dari kami sudah berpikir untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menghargai jerih payah kami,” ujar perawat tersebut.
Saat dikonfirmasi, manajemen beberapa RS swasta di Lhokseumawe mengaku besaran gaji yang diberikan kepada petugas medis dan non-medis memang di rentang angka Rp800 ribu hingga Rp1,7 juta per bulan.
Mereka memberikan alasan beragam terkait keluhan petugas medis tersebut. Seorang pegawai bagian manajemen menyebutkan tantangan finansial setelah Covid-19 menjadi salah satu penyebab utama.
“Pendapatan rumah sakit menurun drastis setelah pandemi [Covid-19]. Kami berusaha bertahan, tetapi memang belum mampu memberikan gaji sesuai UMR,” ujar pegawai itu.
Menurut para tenaga medis yang ditemui Line1.News, alasan itu tidak dapat sepenuhnya diterima. Meskipun mengalami kendala dari segi pendapatan, kata mereka, rumah sakit tetap bertanggung jawab moral untuk memberikan upah layak kepada petugas medis, setidaknya setara UMP Kota Lhokseumawe.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy