Mengenang Heroisme Cut Nyak Meutia yang Gugur oleh Tiga Peluru Belanda

Lukisan Cut Nyak Meutia. Foto: Kemsos.go.id/Line1.News
Lukisan Cut Nyak Meutia. Foto: Kemsos.go.id/Line1.News

Lhoksukon – Di pedalaman Aceh Utara, di tengah kawasan hutan lindung Gunung Lipeh, terbujur makam Pahlawan Nasional Cut Nyak Meutia. Kemarin, Komandan Korem Lilawangsa Kolonel Infanteri Ali Imran bersama rombongan, menempuh empat jam lebih saat napak tilas ke makam tersebut, Selasa, 2 Juli 2024. Akses ke makam masih susah. Siapa pun yang berkunjung harus melewati medan terjal hutan dan menyusuri sungai licin berbatu.

Makam Cut Meutia berada di bawah sebuah kayu bangunan yang terbuka. Badan makam dan lantai di sekitarnya dilapisi keramik putih. Sementara nisannya terbalut secarik kain putih yang sudah rombeng.

Ali Imran menyebutkan, makam tersebut salah satu monumen sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat, Cut Meutia satu-satunya pahlawan nasional yang jasadnya tidak ditemukan oleh Belanda, meskipun sudah dicari berulang kali. Sebab, jasad Cut Meutia tersamar ditutupi rayap di lokasi makam sekarang. Padahal, Cut Meutia ditembak oleh Belanda sekitar tiga ratus meter dari makam.

Melansir Perpustakaan Museum Pergerakan Wanita Indonesia, Cut Meutia atau Cut Nyak Meutia lahir pada 1870, tiga tahun sebelum Perang Aceh-Belanda meletus. Anak dara semata wayang Teuku Ben Daud dan Cut Jah, Uleebalang Pirak, Matangkuli, Aceh Utara ini berparas cantik. Kulitnya putih bersih dengan tubuh tinggi semampai.

Menjelang dewasa ia dinikahkan dengan Teuku Syam Sareh atau Syamsarif gelar Teuku Chik Bintara. Pernikahan yang didasari perjodohan orang tua itu tak berlangsung lama. Cut Meutia merasa tak ada kecocokan dengan Syamsyarif. Ia menganggap suaminya lebih suka berkawan dengan Belanda. Sementara Cut Meutia mati-matian melawan Belanda yang menjajah pada saat itu. Ketidaksamaan visi dalam perjuangan membuat mereka bercerai.

Menikah dengan Teuku Chik Di Tunong

Setelah itu, Cut Meutia menikah dengan adik Syam Sareh, Teuku Cut Muhammad gelar Teuku Chik Di Tunong. Terhadap suami keduanya ini, Cut Meutia benar-benar jatuh hati karena prinsip hidup keduanya sama. Mereka kemudian bersatu dengan perjuangan rakyat Aceh untuk menentang penjajahan Belanda dalam jihad fisabilillah.

Teuku Chik Di Tunong mengumpulkan 12 orang teman-temannya yang gagah berani, tampan dan tangkas, menghadap Sultan Aceh. Akhir 1901, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah melawan Belanda dari pedalaman Aceh setelah Istana dan Kutaraja dikuasai Belanda.

Pada tahun itulah, Cut Meutia dan Teuku Chik Tunong memulai perlawanan fisik melawan Belanda, setelah dizinkan Sultan Daud. Basis mereka di kawasan Meurandeh Paya, sekarang masuk teritori Kecamatan Baktiya Barat, Aceh Utara.

Kelak pada 1905, di kawasan itu, 16 serdadu Belanda yang sedang membangun bivak dekat meunasah, mati ditikam rencong dan dibacok pedang pejuang Aceh yang menyamar. Hanya satu serdadu yang selamat melarikan diri melalui kampung menuju Lhokseumawe.

“Dengan suatu gerakan yang sangat cepat, semua orang Aceh yang ada di tempat itu memainkan kelewang dan rencongnya, menusuk dan menebas leher serdadu Belanda. Sasaran pertama adalah Vollaers sendiri yang sedang tidur-tiduran di dalam meunasah sambil membaca buku. Dari 17 orang pasukan Belanda itu, 16 orang tewas dan satu orang dapat melarikan diri melalui kampung menuju Lhokseumawe. Begitu mengetahui peristiwa itu, dengan satu pasukan militernya dan tergesa-gesa Kapten Swart segera menuju ke Meurandeh Paya. Tapi di sana yang mereka temukan tinggal 16 jenazah yang tercincang secara mengerikan. Mayat sersan Vollaers itu terdapat di atas meunasah dengan buku bacaan tergeletak di sampingnya,” tulis HC Zentgraaff, penulis asal Belanda, dalam buku Atjeh.

Inisiator serangan tersebut adalah Teungku Chik Di Tunong. Belanda menangkapnya pada 5 Maret 1905 ketika menuju Lhokseumawe. Ia divonis hukuman mati.

Namun, Teungku Chik Di Tunong meminta bertemu untuk terakhir kalinya dengan Cut Meutia, serta Teuku Raja Sabi, anak mereka yang masih berusia lima tahun. Selain melepas rindu dan salam perpisahan, Teuku Chik Di Tunong memberikan tiga wasiat pada Cut Meutia.

Ia meminta Cut Meutia melanjutkan perjuangan melawan Belanda, mendidik Raja Sabi menjadi pejuang, dan kesediaan Cut Meutia menikah dengan Pang Nanggroe.

Teuku Chik Di Tunong dieksekusi tembak mati pada Maret 1905 di tepi pantai Lhokseumawe. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Mon Geudong, tidak jauh dari Lhokseumawe.

Setelah Teungku Chik Di Tunong wafat, Cut Meutia menjalankan amanat itu. Bersama Pang Nanggroe, ia terus menggelorakan perang melawan Belanda di kawasan Pasai. Barisan pejuang Aceh makin besar. Selain pasukan Pang Nanggroe, ada barisan Teungku Di Barat, barisan Pang Amin dan pasukan Muda Kari.

Suatu hari, 25 atau 26 September 1910, saat pejuang Aceh yang terdiri dari pria wanita sedang beristirahat di sebuah pondok di Buket Hagu, kawasan rawa dekat Paya Cicem, pasukan Marsose Belanda menyerang.

Karena terdesak, kaum wanita dipimpin Cut Meutia mundur ke pedalaman. Sedangkan Teuku Raja Sabi, mengikuti Pang Nanggroe yang tidak ikut mundur.

Pang Nanggroe terus bertahan dengan maksud melindungi kaum wanita jangan sampai menjadi perhatian dan serangan musuh. Namun, serdadu Marsose kian dekat, Pang Nanggroe yang tidak beranjak dari tempatnya, terkena tembakan di dada.

Sepeninggal Pang Nanggroe, pimpinan pasukan diserahkan kepada Cut Meutia. Bersama Raja Sabi yang saat itu berusia sebelas tahun, Cut Meutia dan pasukannya hidup berpindah-pindah di dalam hutan Pasai. Berkaca dari kondisi tersebut, mereka bermufakat untuk berangkat ke Gayo bergabung dengan pasukan lain.

Gugur di Alue Kurieng

Sekira sebulan setelah pertempuran yang menewaskan Pang Nanggroe, pada 25 Oktober 1910, di persimpangan Krueng Peutoe, Alue Kurieng, pasukan kecil itu berhenti untuk menanak nasi. Di sanalah mereka dengan mendadak diserang oleh pasukan Christoffel yang memiliki persenjataan lengkap.

Pejuang Aceh yang sudah amat kecil kekuatannya itu–hanya bermodalkan rencong dan pedang–kaget disergap tiba-tiba. Tapi, mereka tetap melawan. Saat itulah, sebuah peluru Belanda melesat ke kaki Cut Meutia. Hantaman peluru itu seketika membuat Cut Meutia terduduk di tanah. Ia tak bisa berdiri.

Namun, perempuan perkasa ini tak sudi menyerah. Ia tetap menghunuskan pedang dan rencong untuk mengadang musuh. Sayang, dua peluru Belanda selanjutnya mengenai kepala dan dada patriot bangsa tersebut.

Sebelum gugur, Cut Meutia sempat berpesan kepada Teuku Syekh Buwah yang berada di dekatnya. “Selamatkanlah anakku, Raja Sabi. Aku serahkan dia ke tanganmu.” Cut Meutia pun wafat bersama beberapa pejuang dan ulama lainnya seperti Teuku Chik Paya Bakong, Teungku Seupot Mata dan Teuku Mat Saleh.

Karena ia gugur di medan perang dan tak menyerah pada Belanda, Cut Meutia diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964. Di Aceh Utara, nama dijadikan sebagai nama rumah sakit daerah. Sementara di Menteng, Jakarta Pusat, namanya ditabalkan menjadi salah satu nama masjid. Lalu pada 19 Desember 2016, pemerintah mengabadikan Cut Meutia dalam pecahan uang kertas Rp1.000.[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy