Banda Aceh – Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menerbitkan kajian tentang tindak pidana korupsi di Aceh selama 2024. Kajian ini memperlihatkan dugaan korupsi masih terus terjadi mulai dari level pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten kota hingga pemerintah gampong atau desa.
Koordinator MaTA Alfian menyebutkan selama 2023 terdapat 32 kasus dengan jumlah kerugian negara Rp171 miliar lebih. Sedangkan di 2024 terdapat 31 kasus dengan 64 tersangka dan kerugian negara Rp56,8 miliar.
Dari 64 tersangka–62 laki-laki dan dua perempuan–terbanyak dari unsur ASN, lalu pemerintah desa, swasta, dan Anggota DPRK.
Sektor dana desa, sebut Alfian, masih mendominasi perkara korupsi sebanyak 16 kasus. Disusul sektor keagamaan, kesehatan, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan masing-masing dua kasus.
Dari modusnya, paling banyak penyalahgunaan anggaran, disusul penggelapan, laporan atau kegiatan fiktif, penyalahgunaan wewenang, mark-up, suap-menyuap, dan pemotongan. Namun, dari semua modus korupsi ini, yang tertinggi merugikan negara akibat laporan atau kegiatan fiktif, disusul penyalahgunaan wewenang.
Di pemerintahan desa sendiri, tambah Alfian, penyalahgunaan anggaran menjadi modus korupsi terbanyak, disusul penggelapan, penyalahgunaan wewenang, dan laporan atau kegiatan fiktif.
Korupsi Dana Desa
Berbeda dengan 2023, jumlah kasus korupsi lebih dominan di level pemerintah kabupaten kota. Sementara pada 2024, kasus korupsi terbanyak ditangani aparat penegak hukum menyasar level pemerintahan gampong sebanyak 51,61 persen.
“Terjadi perubahan area kasus yang menunjukkan aparat penegak hukum seperti “menghindari” risiko lebih tinggi dalam penanganan kasus (relasi kekuasaan),” ujar Alfian dikutip Line1.News, Jumat, 10 Januari 2025.
Selama 2024, kejaksaan menangani 18 kasus, sedangkan kepolisian 13 kasus. “Jika dipetakan dari total 31 kasus korupsi yang terungkap, APBG (Anggaran Pendapatan Belanja Gampong) mendominasi dengan 16 kasus, disusul APBK (Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten/Kota) 11 kasus. Sementara itu, APBA (Anggaran Pendapatan Belanja Aceh) tiga kasus dan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) satu kasus,” ujarnya.
Terkait peradilan korupsi, tambah Alfian, Pengadilan Tipikor Banda Aceh menangani 40 kasus dengan 78 putusan dan 82 terdakwa. Rinciannya 57 terdakwa divonis ringan (1-4 tahun), 12 orang vonis sedang (4,1-10 tahun), satu orang vonis berat (10 tahun ke atas) dan 10 orang dijatuhi vonis bebas.
Sementara itu, dari 78 putusan itu, empat kasus diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Tipikor Banda Aceh (tingkat pertama) dan lima kasus vonis bebas di tingkat banding (Pengadilan Tinggi). Mahkamah Agung juga mengabulkan dua kasasi Jaksa Penuntut Umum, satu putusan bebas di 2023 dan satu putusan bebas 2024.
Dari catatan-catatan itu, kata Alfian, selama 2024 penanganan kasus korupsi masih jauh dari harapan. “Belum memberikan efek jera dan belum berpihak terhadap upaya semangat pemberantasan korupsi dengan menghukum koruptor dengan seberat-beratnya,” ujarnya.
Seharusnya, kata dia, kepolisian dan kejaksaan di Aceh lebih proaktif menyelidiki sejumlah dugaan kasus korupsi “kelas berat” di Aceh.
“Seperti dalam pembangunan rumah sakit regional, pengelolaan Dana Pokir (pokok-pokok pikiran) DPRA, pembayaran utang proyek tahun anggaran sebelumnya seperti di Dinas Pendidikan Aceh, dan seterusnya, sehingga tidak hanya fokus pada korupsi level gampong,” tukas Alfian.
Selain itu, pengungkapan kasus korupsi jangan berhenti pada “pelaku operasional”, tanpa menjangkau “pelaku utama”. “Banyak kasus yang diputuskan di Pengadilan Tipikor justru mengabaikan “pelaku utama” yang semestinya harus dijerat hukuman berat.”[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy