Lhokseumawe – Hingga hari ini, ada tiga bakal calon wali kota yang telah resmi unjuk gigi ke khalayak setelah mendapat dukungan dari partai politik.
Ketiganya adalah Azhari yang didukung PKS dan PAN, Ismail didukung Nasdem, dan Sayuti Abubakar yang diusung Partai Aceh. Sayup-sayup terdengar Golkar juga akan mengusung Fathani sebagai bakal calon wali kota Lhokseumawe.
Menurut pengamat politik dari Universitas Malikussaleh, M Akmal, banyaknya peminat kursi Wali Kota Lhokseumawe periode 2025-2030, karena masih tersedianya ruang Pilkadasung atau Pilkada Langsung yang memberi kesempatan setiap warga negara, berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai kepala daerah. Hal ini, kata Akmal sesuai dengan pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 Tentang Pilkada.
“Ruang ini dapat digunakan oleh siapapun yang ingin menjadi Wali Kota Lhokseumawe yang diusung oleh partai politik nasional atau lokal,” ujar Akmal kepada Line1.News, dikutip Senin, 29 Juli 2024.
Prinsip dasar yang menjadi tujuan akhir setiap partai politik, tambah Akmal, adalah meraih kekuasaan. “Jadi karena salah satu tujuan parpol adalah merebut kekuasaan. Ini inti poin penyebab masalah Pilkada kita selalu “suram”,” ujarnya.

Di sisi lain, Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota (APBK) Lhokseumawe patut menjadi perhatian para bakal calon. Sebab, selama ini APBK Lhokseumawe lebih dari separuhnya habis untuk belanja operasi sedangkan belanja modal sangat minim.
Menanggapi hal ini, Akmal mengatakan karena tujuan utama parpol saat ini adalah pure of power, ketika berkuasa melalui kepala daerah yang terpilih, mereka cenderung berfikir untuk golongannya saja.
“Bukan untuk perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah. Makanya APBK berjalan untuk operasional saja, 60 persen banding 40 persen (belanja modal) atau ada beberapa daerah yang 70 banding 30. Biaya untuk pembangunan hanya 30 atau 40 persen dari APBK,” ujar Dosen Ilmu Politik Fisip Unimal ini.
Akmal menambahkan, sebenarnya menjadi wali kota atau kepala daerah, bahkan kepala negara pada zaman sekarang bukanlah sebuah kehormatan dan kebanggaan.
“Karena proses mereka menuju kekuasaan karena “uang”. Banyak uang pasti menang. Setelah memenangkan kekuasaan selanjutnya yang terjadi adalah bagaimana mendistribusikan kepentingan kekuasaan dengan kelompok pemodal atau kelompok oligarki pendukung agar uang itu kembali, tentu melalui proyek-proyek,” ujarnya.
Cost atau biaya politik yang tinggi itu, kata Akmal, otomatis akan mengabaikan kepentingan kesejahteraan masyarakat. “Itu terbukti dari proses pelaksanaan APBK kita yang jalan di tempat, bahkan sering terjadi defisit.
“Jika masalah ini ingin diperbaiki oleh Wali Kota Lhokseumawe yang terpilih nanti, mungkin terobosan kuat harus merangkul kekuasaan Jakarta, sehingga Lhokseumawe tidak bergantung semata-mata pada APBK. Harus ada proyek APBN yang dominan masuk ke Kota Lhokseumawe, dan ini perlu “orang-orang khusus” yang kuat yang dimiliki oleh wali kota,” paparnya.
Paling tidak, kata Akmal, itu bisa menjadi salah satu solusi. Selain itu, perubahan bisa dilakukan oleh wali kota baru dengan menggunting secara tegas anggaran untuk operasional (aparatur) agar bisa minimal balance dengan biaya untuk publik.
“Atau lebih baik lagi jika mampu mendorong biaya publik 60 persen [dari APBK], dan menekan biaya aparatur menjadi 40 persen. Ini kerja yang sangat serius dan butuh kemampuan yang hebat dengan melihat sejarah APBK Lhokseumawe dari tahun 2018 sampai 2024 saat ini.”
Jika tidak mampu melobi Jakarta agar proyek-proyek APBN masuk ke Lhokseumawe, kata Akmal, lebih baik tak usah mencalonkan diri saja.
“Kecuali hanya menjadi wali kota tanpa kehormatan dan kebanggaan rakyat, hanya menunggu ditangkap KPK saja, seperti yang dialami oleh kepala-kepala daerah lain dan juga di daerah kita,” pungkasnya.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy