Pengamat: ‘Kotak Kosong’ di Pilkada Aceh Utara Tak Mengejutkan, Cerminan Wajah Buruk Demokrasi Indonesia

Pengamat: 'Kotak Kosong' di Pilkada Aceh Utara Tak Mengejutkan, Cerminan Buruk Demokrasi Indonesia
Prof. Dr. Nirzalin, M.Si., Sosiolog Politik Unimal. Foto: Istimewa

Lhokseumawe – Perebutan kursi Bupati-Wakil Bupati Aceh Utara hampir bisa dipastikan berlangsung antara satu pasangan calon saja, Ismail A. Jalil (Ayahwa) dan Tarmizi Panyang melawan ‘kotak kosong’. Pasangan ini diusung oleh Partai Aceh dan didukung 14 partai.

Hingga kini, belum muncul paslon lain yang akan mendaftar ke KIP Aceh Utara, meski masa pendaftaran masih tersisa hingga Kamis, 29 Agustus 2024. Setelah itu, KIP Aceh Utara akan memperpanjang masa pendaftaran ke tiga hari berikutnya.

Namun, dari analisis KIP Aceh Utara, melihat jumlah partai pendukung Ayahwa-Tarmizi, tertutup kemungkinan munculnya paslon lain. Sebab, tidak cukup lagi syarat minimal jumlah kursi DPRK untuk mengusung paslon.

Menanggapi hal itu, Sosiolog Politik dari Universitas Malikussaleh, Profesor Nirzalin mengatakan realitas tersebut tidak mengejutkan.

“Apa yang terjadi dengan fenomena di Aceh Utara sebenarnya merupakan cerminan dari wajah buruk politik Indonesia saat ini secara keseluruhan,” ujar Profesor Nirzalin kepada Line1.News, Rabu, 28 Agustus 2024.

Kenyataan itu terjadi sebagai hilirisasi dari semua praktik politik yang telah keluar jauh dari nalar demokrasi.

Menurut Nirzalin, politik Indonesia satu dekade terakhir disandera para oligarki ekonomi yang pada akhirnya membentuk oligarki politik. “Modal uang menjadi penentu terpilihnya seseorang menjadi pemimpin politik baik di level legislatif maupun eksekutif,” ujarnya.

Akibatnya, kata dia, orang-orang yang memiliki kualitas, kompetensi, bersih dan berprestasi tapi tak punya banyak uang, tidak tertarik berkontestasi dalam politik.

“Karena pasti kalah dengan mereka yang banyak uang meskipun kualitas dan prestasinya minus.”

Kata KIP Aceh Utara Mungkin Paslon Vs Surat Suara Kosong, Bukan Kotak Kosong

Profesor Nirzalin juga melihat yang terjadi di Aceh Utara tidak berhubungan dengan krisis kader politik di partai, tapi semata-mata karena ideologi politik praktis yang tidak bernilai.

Kontestasi politik saat ini, tambah Nirzalin, dimenangkan lewat politik uang bukan gagasan dan program. “Demokrasi saat ini hanya menjadi kata yang dihafalkan dan sekadar menjadi prosedur formalitas pelaksanaan Pemilu, bukan sesuatu yang dipraktikkan.”

Realitas itu juga bakal berdampak terhadap kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Sebab, kata Nirzalin, di Indonesia keterikatan masyarakat terhadap partai bukan karena ideologis tapi hanya karena dibutuhkan saat Pemilu saja.

“Karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap partai politik di Indonesia dari dulu lemah, dan saat ini semakin lemah karena ketidakmampuan parpol bertindak berdasarkan aspirasi masyarakat,” ungkapnya.

Pada aspek lain, kata dia, krisis kepercayaan masyarakat terbesar melalui praktik politik yang menggunakan uang sebagai instrumen keterpilihan, justru terjadi pada elite yang terpilih untuk memerintah, mulai dari presiden, gubernur, bupati hingga wali kota.

“Masyarakat tidak melihat mereka sebagai sosok yang berwibawa dan dapat diharapkan. Para pemilih yang mengambil uang para calon itu hanya memaknai memilih mereka sekadar untuk memenuhi formalitas sebagai warga negara, tidak lebih.”

Untuk memperbaiki semua itu, kata Profesor Nirzalin, Indonesia membutuhkan revolusi praktik politik praktisnya. “Dari praktik politik oligarki yang dikendalikan oleh oligarki ekonomi yang melandaskan politik berbasis uang, menjadi praktik politik demokrasi subtantif di mana kepemimpinan politik dipilih berdasarkan kualitas, kompetensi, bersih dan prestasi.”

Selaras dengan itu, dibutuhkan peningkatan pendidikan warga negara yang berpendidikan sarjana hingga 40 persen dan pendapatan ekonomi warga rata-rata Rp120 juta per orang per tahun. “Dua aspek ini menjadi keniscayaan.”[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy