Oleh Therry Gutama, SH, MH (Kasi Intelijen Kejari Lhokseumawe)
Penegakan hukum pada tindak pidana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagaimana dinyatakan oleh Topo Santoso merupakan “hal yang paling menentukan dalam melaksanakan Pemilu/Pilkada yang bersih dan berwibawa serta merupakan hal mutlak yang tidak bisa ditawar penerapannya demi menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan Pemilu/Pilkada”.
Penegakan hukum tindak pidana Pilkada selalu berkaitan dengan tiga hal utama, yaitu kesiapan lembaga-lembaga penegak hukum, penyelesaian perkara/sengketa, dan efektivitas sistem penegakan hukum dalam peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu. Secara teoritik, perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa pun yang melanggar larangan tersebut dinamakan perbuatan pidana, juga disebut orang dengan “delik”.
Dasar hukum Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 2015; UU Nomor 8 tahun 2015; UU Nomor 10 tahun 2016; UU Nomor 6 tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan ke-3 atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Menjadi UU; PKPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan; PKPU Nomor 13 tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan; dan PKPU Nomor 14 tahun 2024 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan.
Di Aceh juga diberlakukan Qanun Aceh Nomor 7/2024 tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 12/2016 tentang Pilkada, Keputusan KIP Aceh Nomor 7/2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pilkada, Keputusan KIP Aceh Nomor 33 tahun 2024 tentang Pedoman teknis Kampanye Pilkada; Keputusan KIP Aceh Nomor 39/2024 tentang perubahan Keputusan KIP Nomor 35/2024 tentang Pembatasan Pengeluaran Dana Kampanye Pilkada.
Dalam Pilkada, kepala desa dan perangkat desa dapat dikenakan sanksi pidana bila terbukti melakukan pelanggaran dengan melakukan keputusan seperti kegiatan-kegiatan serta program di desa dan juga melakukan perbuatan atau tindakan yang mengarah keberpihakan kepada salah satu pasangan calon atau calon kepala daerah yang terindikasi merugikan calon lain misalnya ikut serta dalam kegiatan kampanye. Demikian juga, calon kepala daerah yang melibatkan kepala desa dan perangkat desa dapat dikenai sanksi pidana sebagai calon kepala daerah.
Selain itu subjek atau pelaku tindak pidana yang lainnya adalah subjek hukum (pelaku) tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yaitu, Penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan lainnya; peserta pemilu yaitu Pengurus Partai Politik, Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden, Calon Anggota DPR, DPD, DPRD, Pasangan Calon Gubernur, Bupati, dan Walikota serta Tim Kampanye; Pejabat Tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; Profesi Media cetak/elektronik, Pelaksana Pengadaan Barang, Distributor; Pemantau dalam negeri maupun asing; serta Masyarakat pemilih, pelaksana survey/ hitungan cepat, dan umum yang disebut sebagai setiap orang.
4 Jenis Pelanggaran dalam Pilkada
- Pelanggaran Kode Etik Pilkada
Pengertian pelanggaran kode etik dalam Pilkada adalah pelanggaran terhadap etika penyelenggaraan Pemilihan/Pilkada yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilihan/Pilkada. Rekomendasi terkait penanganan atas pelanggaran kode etik dalam penyelenggaraan Pilkada diteruskan oleh Bawaslu kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). - Pelanggaran Administrasi Pilkada
Pengertian pelanggaran administrasi dalam Pilkada adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilihan/Pilkada dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pilkada/Pilkada. Rekomendasi terkait penanganan atas pelanggaran administrasi dalam penyelenggaraan Pilkada diteruskan oleh Bawaslu kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesuai tingkatan. - Pelanggaran Administrasi Bersifat TSM
Pengertian pelanggaran administrasi dalam Pilkada yang bersifat terstruktur, sistematis dan masih (TSM) adalah pelanggaran administrasi Pemilihan/Pilkada yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masih (TSM). Rekomendasi terkait penanganan atas pelanggaran administrasi dalam penyelenggaraan Pilkada yang bersifat terstruktur, sistematis dan masih (TSM) diterima, diperiksa, dan diputuskan laporannya oleh Bawaslu Provinsi. - Pelanggaran Tindak Pidana Pilkada
Pengertian pelanggaran tindak pidana dalam Pilkada adalah pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana Pemilihan/Pilkada sebagaimana diatur Undang-Undang (UU) tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Rekomendasi terkait penanganan atas pelanggaran tindak pidana dalam penyelenggaraan Pilkada diselesaikan oleh Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) yang telah dibentuk oleh Bawaslu.
Sanksi pidana adalah pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan pidana melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan atau hukum secara khusus di berikan untuk hal ini, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapakan orang tidak melakukan tindak pidana lagi.
Selain pelanggaran di atas, terdapat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lainnya. Ini adalah pelanggaran yang berdasarkan hasil kajian, dikategorikan bukan sebagai dugaan pelanggaran Pemilu/Pilkada, tetapi termasuk pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Penanganan pelanggaran ini direkomendasikan oleh Bawaslu kepada instansi yang berwenang.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada mengatur ketentuan Tindak Pidana pemilu dalam Bab XXIV tentang Ketentuan Pidana yang terdiri 44 Pasal, mulai dari pasal 177 sampai dengan 198A. Di dalam 44 pasal tersebut menggambarkan bentuk-bentuk Tindak Pidana Pemilu, sepeti:
- Perbuatan Memberikan Keterangan Yang Tidak Benar atau Palsu, Memalsukan Surat Data Dan Daftar`Pemilih, dan Tidak Melakukan Verifikasi Dan Rekapitulasi diatur dalam pasal 177,177A, 177B, 177C, Pasal 179, Pasal 184, Pasal 185, Pasal 185A, Pasal 185B dan Pasal 186, Pasal 186A.
- Perbuatan Mengaku Sebagai Orang Lain, Merintangi Hak Orang Lain, Melakukan Tipu Muslihat dan Merusak atau menggagalkan Hasil Pemilihan dan Pemungutan Suara diatur dalam pasal 178, Pasal 178A sampai Pasal 178H, Pasal 180, pasal 181, pasal 182, Pasal 182A, Pasal 182B, dan Pasal 183.
- Perbuatan Melanggar Ketentuan Kampanye, diatur dalam Pasal 187.
- Perbuatan melakukan Suap dan Menerima Suap diatur dalam pasal 187A, Pasal 187B, Pasal 187C, Pasal 187D.
- Pelanggaran terhadap Netralitas ASN, TNI dan POLRI diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 189.
- Perbuatan Merubah Jumlah Surat Suara, diatur dalam Pasal 190 dan Pasal 190A.
- Perbuatan yang dilakukan oleh Calon Gubernur, Calon Bupati dan Calon Walikota dan Partai politik atau Pimpinan Partai politik yang mengundurkan diri dan menarik calonnya dalam penyelenggaraan Pemilu yang telah berjalan, diatur dalam Pasal Pasal 191 dan Pasal 192.
- Perbuatan melanggar ketentuan pemilihan lainnya yang dilakukan oleh KPU, KPPS, PPS dan Panwas yang diatur dalam Pasal 193, Pasal 193A, Pasal 194, Pasal 195, Pasal 197, Pasal 198 dan Pasal 198A.
Tahapan pelaporan telah terjadinya tindak pidana Pilkada beberapa langkah prosedural yang harus diikuti oleh pihak yang merasa dirugikan atau menemukan pelanggaran yaitu:
- Pengumpulan bukti. Pihak yang merasa dirugikan atau menemukan adanya pelanggaran harus mengumpulkan bukti yang cukup kuat. Bukti tersebut bisa berupa dokumen, saksi, rekaman video, atau foto yang mendukung klaim adanya pelanggaran.
- Pembuatan laporan. Setelah bukti dikumpulkan, langkah selanjutnya adalah membuat laporan resmi tentang pelanggaran tersebut. Laporan ini biasanya berisi detail tentang siapa yang melakukan pelanggaran, jenis pelanggaran, waktu, dan tempat kejadian.
- Pengajuan laporan ke Bawaslu. Laporan pelanggaran diserahkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di tingkat kabupaten/kota atau provinsi, sesuai dengan Lokasi. Laporan ini harus diajukan dalam waktu tertentu setelah pelanggaran terjadi. Laporan pelanggaran Pilkada disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui terjadinya dugaan adanya pelanggaran Pilkada.
Pilkada yang baik mencakup berbagai aspek untuk memastikan bahwa pemilihan kepala daerah berlangsung secara adil, transparan, dan akuntabel. mengedukasi diri tentang hukum bukan hanya menghindari sanksi, tetapi juga berkontribusi pada keberhasilan Pilkada yang demokratis dan berintegritas.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy