Sosok Syekh Ahmad Khathib al-Minangkabawi: Guru Ulama Pendiri NU, Muhammadiyah, dan PERTI

Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

Pemerintah Provinsi Sumatera Sumbar (Sumbar) akan meresmikan nama Masjid Raya Sumbar menjadi Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi pada Minggu, 7 Juli 2024.

Siapa sebenarnya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi? Syekh Ahmad merupakan tokoh ulama Minangkabau yang pernah menjadi Imam Besar di Masjidil Haram.

Selain itu sanad keilmuan yang dimiliki sebagian besar para ulama Indonesia saat ini berpunca pada Syekh Ahmad Khatib. Sebab, ia merupakan guru dari tiga ulama Indonesia yang mendirikan organisasi Islam. Mereka adalah Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri pendiri Muhammadiyah; Kiai Haji Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).

Syeh Ahmad Khatib memiliki nama lengkap Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdullah bin Abdul Aziz al-Minangkabawi al-Jawi al-Makki asy-Syafi’i al-Asy’ari. Ia dilahirkan di Koto Tuo, Sumatera Barat, pada Senin, 6 Dzulhijjah 1276 Hijriah atau 26 Juni 1860.

Ketika masih tinggal di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Guru atau Kweekschool, tamat pada 1871. Selain itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ atau dasar-dasar ilmu agama dan belajar Al-Qur’an dari Abdul Lathif, sang ayah.

Pada 1287 Hijriah, Ahmad kecil diajak Lathif menunaikan ibadah haji ke Makkah. Setelah rangkaian ibadah haji ditunaikan, Lathif kembali ke Sumbar. Ahmad tetap tinggal untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Makkah, terutama yang mengajar di Masjidil Haram.

Selama di Makkah, Ahmad belajar dengan sejumlah guru, di antaranya, Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha al-Makki asy-Syafi’i, Utsman bin Muhammad Syatha al-Makki asy-Syafi’i, dan Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’i.

Ensiklopedi Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut Persatuan mencatat beberapa ulama lain sebagai guru Ahmad Khatib, yaitu Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti agung mazhab Syafi’i di Makkah, dan Imam al-Haramain (Imam dari dua kota suci, Mekkah dan Madinah). Keturunan Abdul Qadir al-Jailani ini dikenal karena kritik kerasnya terhadap Wahhabisme. Selain itu, guru Ahmad Khatib yang lain adalah Yahya Al Qalyubi dan Muhammad Shalih al-Kurdi.

Tidak hanya ilmu agama, Ahmad Khatib juga mempelajari matematika, fisika, dan bahasa Inggris selama di Makkah.

Pengoreksi Bacaan Salat Syarif Makkah

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pertama, Buya Hamka dalam salah satu bukunya menceritakan latar belakang pengangkatan Syekh Ahmad Khatib sebagai Imam Besar Masjidil Haram.

Suatu hari, tulis Buya Hamka, Ahmad Khatib mengikuti salat berjamaah yang dipimpin langsung oleh Syarif atau Gubernur Makkah, Aunur Rafiq. Di tengah salat, ternyata terdapat bacaan Rafiq yang keliru. Syekh Ahmad Khatib kemudian membetulkan bacaan tersebut.

Setelah salat selesai, Rafiq bertanya mengenai siapa yang memperbaiki bacaannya tadi. Orang-orang menunjuk Ahmad Khatib yang tidak lain adalah menantu sahabatnya, Shalih al-Kurdi. Setelah itu, Rafiq mengangkat Syekh Ahmad Khatib sebagai Imam Besar di Masjidilharam.

Penulis Puluhan Kitab

Selain sebagai imam, Syekh Ahmad Khatib merupakan penulis produktif. Tercatat, tidak kurang dari 49 kitab dan buku telah ditulis Syekh Ahmad Khatib dalam bahasa Arab dan Arab Jawi (Melayu).

Karyanya terbentang mulai dari persoalan Fiqih ibadah, ilmu Falaq atau perbintangan, perhitungan dan matematika dalam bahasa Arab, hingga hukum waris. Ia juga pernah menulis Kaff al-Awam an al-Khaudh fi Syarikah al-Islam. Kitab ini membahas tentang SI (Syarikat Islam) dan sebagai bantahan atas karya Hasyim Asy’ari yang merupakan muridnya.

Buku-buku Syekh Ahmad Khatib tidak hanya dipelajari di pesantren-pesantren di Indonesia, melainkan telah tersebar hingga ke Suriah, Turki, dan Mesir.

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi wafat pada 9 Oktober 1915, atau 9 Jumadil Awal 1334 Hijriah di Makkah. Sebelum meninggal, sebagian muridnya memohon agar ia mau menuliskan autobiografinya untuk dijadikan teladan bagi mereka dan generasi berikutnya.

Lalu, menulislah Syekh Khatib kitab Al-Qaulu at-Tahifu fi Tarjamati Tarikhi al-Hayati asy-Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif Al-Minangkabawi Al-Jawi atau perkataan ringkas terhadap riwayat hidup Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif Al-Minangkabawi Al-Jawi.

Kitab itu berisi petuah-petuah untuk anak-anaknya, para murid, dan untuk umat muslim keseluruhan. “Dengan ilmu akan lahir akhlak imaniyah dan akan terhindar dari perbuatan syaithaniyah, serta jauh dari tabiat kebinatangan. Pada akhirnya, (dengan ilmu) kehidupan akan menjad bersih dan meningkat pada keadaan yang sempurna.”

Syekh Ahmad Khatib juga mengutip selarik syair: “Ilmu bagaikan binatang buruan, sementara menulis adalah tali pengikatnya. Ikatlah binatang dengan tali yang kuat. Sebab, termasuk kebodohan bagimu yang menangkap buruan, kemudian kamu membiarkannya lepas bersama binatang lain”.[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy