Banda Aceh — Ketua Majelis Pengurus Wilayah (MPW) Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Aceh, Dr. Taqwaddin, mengajukan 10 kriteria layak dipertimbangkan untuk dipilih sebagai Calon Gubernur Aceh.
Usulan tersebut untuk menjawab pertanyaan beberapa media tentang calon gubernur ideal versi ICMI Aceh yang layak diusung berbagai partai politik pada Pilkada 2024.
Dari 10 kriteria, Taqwaddin menyebut lima kriteria versi ajaran Islam dan empat kriteria menurut adat budaya Aceh.
“Kriteria pertama bagi calon Gubernur Aceh adalah jujur. Ini harus menjadi kriteria utama. Jujur terhadap masyarakat. Memenuhi janji yang telah diucapkan atau disuratkan secara tertulis dalam berbagai kebijakan,” ujar Taqwaddin dalam siaran persnya, Rabu (24/4/2024).
Taqwaddin menilai pemimpin jujur akan selalu melaksanakan apa saja yang diucapkan atau dijanjikan. “Kejujuran hal yang penting sekali dalam menjalankan roda pemerintahan. Tanpa kejujuran pemimpin, pemerintahan akan berantakan dan rakyat akan makin jauh dari kesejahteraan,” tuturnya.
Untuk mendapatkan calon gubernur yang jujur diperlukan penelusuran rekam jejak selama ini dalam kapasitas sebagai apapun. “Jangan memilih pemimpin seperti membeli ayam dalam karung tertutup. Tidak jelas ayam itu sehat atau ayam sawan, burek ataupun hitam,” ungkap dosen Fakultas Hukum USK ini.
Kriteria kedua adalah orang yang amanah atau dapat dipercaya. “Jangan sekali-kali kita memilih pemimpin yang tidak dapat dipercaya, tidak amanah dan curang. Apalagi yang pernah terlibat dalam kasus pidana korupsi,” kata Hakim Tinggi Ad Hoc pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh itu.
Menurut Taqwaddin, hal ini penting dipertimbangkan karena Gubernur Aceh akan menentukan arah perjalanan pembangunan daerah. Gubernur akan menguasai dan mengelola anggaran cukup besar untuk kemaslahatan rakyat. Jika pemimpin tidak amanah akibatnya akan menimbulkan kemiskinan rakyat, kualitas pendidikan dan kesehatan yang rendah, UMKM tidak berkembang, dan banyak kemerosotan lainnya, karena dana besar yang seharusnya diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat, tapi diselewengkan untuk kepentingan kroni-kroninya.
“Semua itu bisa terjadi karena tidak amanahnya para pejabat. Tetapi, jika gubernur yang terpilih orang yang amanah dan dapat dipercaya, maka keserakahan penjabat di bawahnya dapat dicegah dan dihentikan,” tutur Taqwaddin.
Kriteria ketiga gubernur yang ideal untuk Aceh adalah orang cerdas dan berkualitas (fatanah). Menurut Taqwaddin, cerdas ini maksudnya tidak mesti profesor doktor. Tetapi jangan pula, SMA-nya pun tidak jelas. Minimal sarjana saja cukup.
“Mengingat masyarakat dan penduduk Aceh yang plural, terdiri dari banyak suku, maka diperlukan gubernur yang cerdas dan berwawasan luas. Kita perlu gubernur yang tangguh dan berani yang dapat mengayomi bukan hanya suku Aceh, tetapi juga memahami dan mengayomi pula suku Gayo, Alas, Jamee, Taming, Kluet, dan lain sebagainya,” kata Taqwaddin.
Tidak itu saja, Aceh butuh gubernur cerdas berkualitas serta harmoni dengan pemimpin dan elite-elite nasional dan berani memperjuangkan hak-hak pembangunan untuk kepentingan daerah Aceh. “Hal ini penting dalam rangka menjemput APBN untuk mempercepat pembangunan Aceh yang tertinggal dari banyak provinsi lain di Indonesia,” ujarnya.
“Aceh harus berupaya keras keluar dari daerah termiskin, angka stunting tinggi, pengangguran terbanyak, pertumbuhan ekonomi rendah, pertumbuhan investasi tidak signifikan, UMKM kurang tumbuh berkembang, dan lain-lain. Banyak hal harus dilakukan secara cepat, tetap, taktis, dan strategis oleh Gubernur Aceh. Karenanya, diperlukan seorang gubernur cerdas berkualitas dan luar biasa,” ungkap Taqwaddin.
Kriteria keempat calon Gubernur Aceh adalah orang yang bisa menyampaikan ide gagasan dan buah pikirannya secara sederhana dan sistematis. Dalam versi Islam hal ini dikenal dengan tablig. “Kita merindukan sosok Ibrahim Hasan yang cerdas berkualitas dan dapat menyampaikan gagasannya secara sederhana dengan bahasa yang mudah dipahami rakyat. Almarhum Pak Ibrahim Hasan juga memiliki jaringan yang luas dengan elite nasional. Sehingga kemajuan pembangunan begitu terasa saat beliau memimpin Aceh,” kata Taqwaddin.
Kriteria kelima diperlukan untuk menjadi Gubernur Aceh, menurut Taqwaddin, adalah sifat tawadhu, tidak sombong dan rendah hati. Tidak arogan dan tak “mentang-mentang”. Budi bahasanya lembut dan perangainya menyejukkan.
“Kita perlukan gubernur yang mendengarkan aspirasi rakyat. Kita butuh gubernur yang peduli dan memberi solusi cepat terhadap kesulitan rakyat. Kita merindukan gubernur yang gaul dan komunikasinya bagus dengan semua kalangan,” ucapnya.
Selain lima kriteria ideal Calon Gubenur (Cagub) Aceh berdasarkan ajaran Islam, Taqwaddin menambahkan empat kriteria pemimpin berdasarkan adat budaya Aceh, yaitu yang tuha, tuho, teupeu, dan teupat.
Tuha dimaksudkan adalah dewasa usia dan cara berpikirnya. Hal ini penting karena kematangan usia atau kedewasaan diperlukan untuk mampu melahirkan kebijakan publik yang arif bijaksana dan bermanfaat bagi khalayak ramai. “Bukan kebijakan yang hanya menguntungkan kroninya saja,” ucap Taqwaddin.
Dalam budaya Aceh diperlukan pula pemimpin yang tuho. Maksudnya yang tahu apa dan di mana akar permasalahan yang terjadi dalam masyarakatnya. “Sehingga, jika Aceh dipimpin orang luar maka dia hana dituho saho, dia tidak tahu esensi problema yang sedang terjadi dalam masyarakat Aceh. Akibatnya terapi dan solusi yang kebijakan yang ditempuh menjadi tidak nyambung dan bahkan kontra produktif dalam menyelesaikan permasalahan,” ungkapnya.
Hal lain diperlukan untuk menjadi pemimpin di Aceh adalah teupeu. Ini maksudnya pemimpin harus mengetahui segala hal yang terjadi dalam masyarakat dan pemerintahannya. “Kan aneh misalnya, pupuk sudah langka, petani sudah kewalahan karena sedang musim tanam, tapi gubernur tidak tahu masalah ini. Begitu juga, misalnya, gubernur tidak tahu bahwa harga-harga kebutuhan dapur sudah meroket”.
“Harga bawang dan cabe sudah meninggi sehingga mamak-mamak kewalahan. Tetapi gubernur malah tidak tahu. Tidak boleh seperti ini. Makanya salah satu kriteria untuk menjadi pemimpin di Aceh harus teupeu dan peduli. Gubernur Aceh harus memiliki banyak mata untuk melihat dan banyak telinga untuk mendengarkan keluhan rakyat,” kata Taqwaddin.
Kriteria lainnya adalah teupat. Ini sama artinya dengan jujur, amanah, dan dapat dipercaya. Orang yang teupat akan selalu berkata benar, tidak bohong dan tak akan ingkar janji. “Kita akui tidak mudah mencari orang teupat saat ini. Namun demikian, kita harus berupaya keras menemukan dan memilihnya,” ucap Taqwaddin yang telah lama berkiprah dalam dunia keorganisasian.
Apabila kesembilan kriteria tersebut terpenuhi, baru ditambah dengan kriteria kesepuluh, yaitu kriteria politik praktis. “Kriteria politik praktis ini meliputi antara lain adanya dukungan partai politik yang memenuhi syarat parliamentary threshold atau syarat lainnya. Calon gubernur yang diusung memiliki popularitas yaitu dikenal luas oleh konstituen serta adanya potensi elektabilitas memadai, yaitu akan dipilih oleh masyarakat yang berhak memilih”.
“Perlu saya sampaikan bahwa tingginya popularitas tidak serta merta menunjukkan tingginya elektabilitas. Pernah ada seorang rektor yang populer dari universitas terbesar di daerah kita, namun saat maju sebagai calon gubernur elektabilitasnya rendah sekali,” ungkap Taqwaddin.
Untuk bisa mencapai elektabilitas yang tinggi tentu diperlukan mesin politik yang running well atau berjalan lancar disertai dukungan personalia dan anggaran memadai. “Harus diakui bahwa cost politik akhir-akhir ini memang sangat tinggi, sehingga diperlukan kolaborasi berbagai partai untuk menalanginya,” kata Taqwaddin.
Taqwaddin menyatakan sebagai organisasi besar menghimpun ratusan cendekiawan, ia yakin figur-figur yang memenuhi kriteria tersebut ada di dalam tubuh ICMI. “Silakan partai-partai politik melirik dan meminangnya,” ucap dia.[](rilis)
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy