‘Kotak Kosong’ di Pilkada Aceh Utara, Pengamat Singgung ‘Demokrasi Bohong-Bohongan’ Hingga tak Cukup Modal

M Akmal Dosen Ilmu Politik Unimal
Dr. M. Akmal, M.A., Dosen Ilmu Politik FISIP Unimal. Foto: Istimewa

Lhokseumawe – Pengamat Politik Dr. M. Akmal mengatakan kemungkinan hanya satu pasangan calon bupati dan wakil bupati sehingga harus melawan “kotak kosong” di Pilkada Aceh Utara 2024 adalah fenomena biasa lantaran pernah terjadi di daerah lain dan ada aturan untuk itu. Akmal menilai sepi peminat kursi bupati dan wabup Aceh Utara karena banyak tokoh tidak cukup modal untuk mengikuti kontes demokrasi ini.

Menjawab Line1.News, Rabu, 28 Agustus 2024, Akmal menjelaskan sebenarnya antisipasi untuk pilkada yang melawan “kotak kosong” atau pasangan calon tunggal sudah disiapkan KPU Republik Indonesia. Sesuai aturan mengenai calon tunggal di pilkada sudah diatur dalam Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan satu pasangan calon.

Kemudian aturan ini diperbarui lagi dengan terbitnya Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2018 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan satu pasangan calon.

Aturan terbaru saat ini adalah Peraturan KPU RI Nomor 20 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan satu pasangan calon.

“Masyarakat juga harus tahu bahwa penentuan pemenang untuk pilkada [paslon tunggal melawan] ‘kotak kosong’ ini merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, di mana calon tunggal dinyatakan menang jika memperoleh 50 persen dari total suara. Namun jika kita merujuk pada PKPU Nomor 13 Tahun 2018, apabila perolehan suara pada kolom kosong lebih banyak, artinya mengalahkan calon tunggal yang tidak memperoleh 50 persen dari total suara, maka KPU akan menetapkan penyelenggaraan pemilihan akan dilakukan kembali pada pemilihan serentak periode berikutnya,” ungkapnya.

Pengamat: ‘Kotak Kosong’ di Pilkada Aceh Utara Tak Mengejutkan, Cerminan Wajah Buruk Demokrasi Indonesia

 

Kejadian di Aceh Utara, kata Akmal, adalah fenomena yang sudah pernah terjadi di beberapa daerah lain, seperti dalam pilkada di Semarang tahun 2020 dan Kota Balikpapan dan Kabupaten Kutai Karta Negara di Provinsi Kalimantan Timur. pernah juga terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan.

“Artinya situasi ini pernah terjadi di daerah lain, dan sudah ada regulasi untuk mengantisipasi situasi tersebut,” ucap Akmal.

Lantas, pertanda apa hanya satu pasangan calon yang mendaftar sebagai bakal calon bupati-wakil bupati Aceh Utara?

“Menurut saya, karena pemilu kita sejak adanya Pileg/Pilkada Langsung adalah ‘demokrasi bohong-bohongan’. Yang dimaksud dengan ‘demokrasi bohong-bohongan’ adalah demokrasi yang mendorong terjadinya ‘money politics’ dalam setiap agenda pelaksanaan pemilu (pileg dan pilkada). Calon yang ingin maju harus punya dukungan modal yang kuat untuk membeli suara,” ungkap Akmal.

Akmal menduga yang terjadi di Aceh Utara mungkin karena itu. Sepi peminat kursi bupati dan wabup Aceh Utara karena tidak cukup modal. Jika ada modal pun belum tentu menang atau “habis uang orang binasa”.

“Jadi menurut saya, faktor pemilu yang buruk yang membuat orang tidak berminat mendaftar,” kata mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh ini.

Akmal menilai ini tidak terlepas dari perilaku pemilu di tingkat nasional yang telah mewujudkan Indonesia sebagai negara oligarki dengan penguasa puncaknya adalah para pemodal.

Sebagai negara oligarki, kata Akmal, Indonesia lebih mementingkan kuatnya sistem kekuasaan. Sebaliknya, negara demokrasi lebih mementingkan kuatnya sistem politik. “Antara sistem kekuasaan dan sistem politik adalah dua hal yang berbeda, karena sistem kekuasaan dibangun oleh uang,” ujarnya.

“Dalam kondisi bentuk negara kita yang demikian, masyarakat tidak perlu risau jika lesunya peminat orang-orang ingin maju dalam pilkada seperti di Aceh Utara, karena sudah ada regulasi yang mengatur jika terjadi calon tunggal,” tambah Dosen Ilmu Politik FISIP Unimal ini.

Menurut Akmal, masyarakat tinggal pilih saja, mau pilih “kotak kosong” atau pasangan calon tunggal. “Jika suara calon tunggal tidak bisa mencapai 50 persen dari total suara, maka Pilkada Aceh Utara harus diulang pada pilkada serentak yang akan datang. Tentu risikonya adalah Aceh Utara tidak punya bupati definitif setelah pilkada serentak kali ini,” pungkasnya.

Kata KIP Aceh Utara Mungkin Paslon Vs Surat Suara Kosong, Bukan Kotak Kosong

Diberitakan sebelumnya, perebutan kursi bupati-wakil bupati Aceh Utara hampir bisa dipastikan berlangsung antara satu pasangan calon saja, Ismail A. Jalil (Ayahwa) dan Tarmizi Panyang melawan “kotak kosong”. Pasangan ini diusung Partai Aceh dan didukung 14 partai.

Hingga kini, belum muncul paslon lain yang akan mendaftar ke KIP Aceh Utara, meski masa pendaftaran masih tersisa hingga Kamis, 29 Agustus 2024. Setelah itu, KIP Aceh Utara akan memperpanjang masa pendaftaran ke tiga hari berikutnya.

Namun, melihat jumlah partai pendukung Ayahwa-Tarmizi, dari pihak KIP Aceh Utara memperkirakan tertutup kemungkinan munculnya paslon lain. Sebab, tidak cukup lagi syarat minimal jumlah kursi DPRK untuk mengusung paslon.[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy