Palembang – Hasil riset Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) dan Remotivi pada 2023 memperlihatkan kepercayaan publik kepada media arus utama cukup tinggi, mencapai 70,2 persen. Riset tersebut dilakukan setiap kota di Indonesia dengan melibatkan total 2.040 responden.
Selain itu, literasi media para pembaca juga tinggi, dan mayoritas preferensi politik pembaca lekat dengan nilai demokrasi liberal. Temuan lain, literasi media disebut tidak berkaitan dengan tingkat kepercayaan media. Begitu juga dengan preferensi politik pembaca. “Juga preferensi politik berkorelasi lemah dengan kepercayaan media,” ujar Muhammad Heychael yang memaparkan hasil riset tersebut saat talkshow pertama tentang kepercayaan publik pada media dalam Indonesia Fact Checking Summit (IFCS), Kamis 2 Mei 2024, di Palembang.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menanggapi temuan tersebut dengan menyimpulkan bahwa pembaca di Indonesia suka dengan informasi yang akurat.
Ninuk juga memaparkan upaya-upaya Dewan Pers untuk meningkatkan kualitas produk pers. Seperti verifikasi dan uji kompetensi jurnalis. “Pers dan jurnalis profesional akan berdampak langsung pada karyanya,” ujarnya.
Saat ini, tambah Ninuk, terdapat sekitar 1.700 perusahaan media terverifikasi administrasi dan 17.800 jurnalis tersertifikasi muda, madya dan utama.
Ia juga mengingatkan pembaca bisa turut menjaga kualitas pers dengan melaporkan jika terjadi pelanggaran atas fungsi media. “Sebanyak 97 persen pengaduan datang dari media sosial,” ungkapnya.
Upaya literasi media juga dilakukan oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) lewat Trustworthy News Indicators untuk membantu media mempertahankan kualitas pemberitaan. “Untuk mendapatkan Trustworthy News, media massa itu harus memenuhi 11 indikator dari AMSI,” ujar Wakil Ketua Umum AMSI Upi Asmaradhana.
Indikator tersebut, kata dia, menjadi cerminan dari kualitas dan kredibilitas media arus utama tersebut. Sedikitnya 100 media telah mendapatkan label Trustworthy News dari AMSI.
Pada talkshow kedua, tiga narasumber menyampaikan hasil riset mereka. Antara lain Pandan Yudhapramesti Kaprodi S-1 Jurnalistik Universitas Padjajaran, Purnama Alamsyah dari BRIN, dan Anastasya Adriarti akademisi dari Universitas Bakrie.
Pandan meneliti praktik redaksi dalam menentukan metode Cek Fakta di Indonesia. Meneliti tujuh Lembaga Cek Fakta, yaitu Mafindo, Tirto.id, Kompas.com, Tempo.co, Liputan6.com, Cekfakta – Suara.com dan AFP periksa fakta.
Salah satu simpulannya adalah sebagian besar konten diambil dari platform Facebook. “Ini karena kerja sama dengan Meta/Fb,” katanya. Selain itu media juga memiliki model otonom dalam menentukan tema konten.
Sedangkan Purnama Alamsyah membagikan temuan risetnya yang berjudul Menelusuri Disinformasi Ruang Gema dalam Pemilihan Presiden di Youtube. Fokus pada Pilpres 2019 dan 2024.
Narasumber ketiga Anastasya Adriarti, membacakan riset berjudul Dinamika Newsroom di Indonesia melawan Produksi dan Reproduksi Informasi Palsu. Lewat lima media masing-masing di Makassar, Jakarta, Medan dan Surabaya, Anas menemukan simpulan jika jurnalisme masih berfungsi sebagai lembaga penjernih informasi di Indonesia.
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Profesor Masduki merespons paparan riset dari akademisi yang di antaranya juga praktisi atau jurnalis. Bersumber dari dana hibah dari tiga Lembaga, yaitu AJI, Mafindo dan Google Initiative, Masduki menyebut riset yang muncul melibatkan dua profesi dengan tradisi berbeda yaitu jurnalis dan akademisi, serta bersifat otokritik pada praktik cek fakta bagi jurnalis.
“Maka grant ini harus diperjuangkan kelanjutannya,” katanya. Hasil riset yang melibatkan 10 kelompok riset juga akan diterbitkan dalam bentuk buku.
Masduki melanjutkan, temuan dari riset 10 kelompok penerima hibah, membuka peluang riset selanjutnya. Dengan menempatkan konten cek fakta sebagai hasil disinformasi atau tindakan yang disengaja, riset selanjutnya bisa mempertanyakan kepemilikan platform sumber disinformasi serta data tentang ekosistem pendanaan cek fakta. “Jadi akan diketahui, apakah ini given atau bagian dari gerakan yang dilakukan oleh siapa dan untuk kepentingan apa,” imbuhnya.
IFCS adalah kegiatan rutin yang diselenggarakan bergantian antara AJI Indonesia, Mafindo, dan AMSI dengan didukung Google News Initiative. IFCS menjadi ajang bertemu para pemeriksa fakta untuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Tahun ini, giliran AJI menggelar IFCS dan menjadi rangkaian kegiatan menuju Kongres XII AJI 2024.[](Rilis)
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy