Wasekjen MUI: Interaksi Lintas Agama Boleh Selama Ada Udzur Syar’i

Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Kiai Haji Arif Fahrudin. Foto: mui.or.id
Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Kiai Haji Arif Fahrudin. Foto: mui.or.id

Bangka – Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kiai Haji Arif Fahrudin mengatakan toleransi adalah sunnatullah dan sunnah Rasulullah SAW serta dipraktikkan para ulama salafus salihin. Namun, toleransi tetap memiliki batasan.

“Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi. Yang tidak diperkenankan Islam adalah motif mencampuradukkan wilayah akidah dan ritual keagamaan (sinkretisme/talfiq al-adyan) sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah,” tegasnya seperti dikutip dari situs resmi MUI, Sabtu, 1 Juni 2024.

Dalam hal ini, kata Kiai Arif, berlaku otorisasi akidah dan syariah Islam seperti tuntunan dalam Al-Qur’an, lakum dīnukum wa liya dīn (untukmu agamamu, dan untukku agamaku).

Sementara dalam hal muamalah dan relasi sosial budaya, tambah Arif, toleransi yang dilakukan Rasulullah SAW kepada saudara antar umat beragama sangat penting untuk diteladani oleh umat Islam.

“Bahkan, dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menyatakan bahwa karakter beragama yang sangat dicintai oleh Allah SWT adalah perilaku beragama yang lembut dan penuh toleransi, yaitu Islam,” ujarnya.

Termasuk juga, kata Arif, riwayat tentang kasih dan sayangnya Rasulullah SAW terhadap seorang nenek Yahudi tuna netra yang selama hidupnya selalu menjelek-jelekkan Rasulullah SAW.

Kiai Arif yang juga Anggota SC Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII ini menjelaskan, keputusan lahirnya fatwa salam lintas agama melalui Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII di Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, juga memperhatikan pertimbangan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang plural.

Misalnya, kata Arif, di wilayah yang populasi umat Islamnya tidak dominan, sehingga secara budaya mereka tidak bisa menghindari tradisi interaksi lintas agama sebagai bentuk ekspresi kerukunan.

“Adanya kekhawatiran jika umat Islam dinilai tidak proaktif memperkuat kerukunan antarumat beragama, maka umat Islam di wilayah tersebut memiliki alasan syar’i (udzur syar’i) untuk tidak menghindari tradisi toleransi tersebut, selama tidak diniatkan sebagai bentuk amaliah ibadah dan akidah,” ungkap Arif.

Demikian juga dengan muslim yang menjadi pejabat saat menyampaikan sambutan di acara pemerintahan. Fatwa Ijtima Ulama MUI, kata Arif, menganjurkan agar pejabat seyogyanya menjalankan fatwa tersebut.

“Pejabat juga diharapkan menggunakan redaksi salam nasional agar semua pihak terangkum di dalamnya. Namun jika tidak memungkinkan, maka pejabat publik atau pejabat di pemerintahan juga mendapat alasan syar’i (udzur syar’i) dengan syarat tidak diniatkan sebagai bentuk sinkretisme ibadah,” ujarnya.

Baca: MUI Larang Muslim Ucapkan Selamat Hari Raya Agama Lain, Toleransi Boleh Selama Tidak Masuk Ranah Akidah

Kiai Arif meyakini rakyat Indonesia sudah matang dan dewasa dalam toleransi beragama, sehingga tidak perlu terjebak pada “kelatahan toleransi”. “Yaitu jika tidak mengucapkan salam lintas agama dinilai intoleran atau anti kebangsaan, dan jika mengucapkan salam lintas agama otomatis dinilai toleran. Tidak sesederhana itu ukuran jiwa kebangsaan dan jiwa toleransi diukur,” ujarnya.

Secara praktik kebudayaan, kata Kiai Arif, masyarakat Indonesia terutama umat Islam sudah menjalankan dengan sangat baik praktik beragama tanpa terjebak pada sinkretisme. “Itu bukti bahwa antarumat beragama saling memaklumi, saling menyadari, dan saling mendukung mana wilayah akidah mereka dan mana wilayah muamalah sosial mereka.”

Sesungguhnya, tambah Arif, yang disampaikan dari Fatwa Ijtima Ulama MUI adalah pentingnya menjaga moderasi beragama dengan memposisikan toleransi antar umat beragama dalam proporsinya yaitu saling menghormati, saling menghargai, dan saling memperkuat kerukunan. “Tanpa terjebak ke dalam praktik ekstremisme yang sempit dan toleransi yang melewati batas akidah dan syariah.”[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy