Banda Aceh – Sebanyak 18 organisasi masyarakat sipil mengeluarkan pernyataan bersama terkait krisis 48 jam yang dialami pengungsi Rohingya dari Aceh Selatan setelah ditahan di atas truk oleh Pemerintah RI.
“Saling lempar tanggung jawab penanganan pengungsi dari luar negeri yang selama ini hanya berada di tataran naratif, kini terjadi secara tindakan,” tulis 18 organisasi masyarakat sipil dalam keterangan tertulis, Jumat, 8 November 2024.
Organisasi masyarakat sipil itu di antaranya, KontraS Aceh, SUAKA, Yayasan Geutanyoe, MER-C, Forum LSM Aceh, Amnesty International Indonesia, dan lainnya.
Pada 6 November 2024, Pemerintah Aceh Selatan mengangkut 152 pengungsi, yang juga terdiri dari 3 perempuan hamil serta lebih dari 80-an anak-anak dan perempuan, menggunakan truk ke Banda Aceh untuk meminta pertanggungjawaban negara.
Pemindahan itu dilakukan tanpa ada bantuan air minum, makanan, kesempatan untuk beribadah, serta akses ke toilet. Lembaga kemanusiaan hanya mampu menyediakan makanan di tepi jalan, sejauh diizinkan.
“Pemerintah Pusat masih hening terkait perlakuan aparat negara terhadap para kelompok rentan yang seharusnya dilindungi ini. Hingga rilis ini ditulis, pengungsi masih berada di atas truk dan ditelantarkan oleh negara sejak di Aceh Selatan, Banda Aceh, Lhokseumawe dan kini dalam perjalanan menuju dataran tinggi Aceh Tengah. Pengungsi dipaksa melanjutkan perjalanan tanpa ada kejelasan tujuan,” sebut Ira Hadiati, Project Manager MER-C for Rohingya, salah satu dari 18 organisasi tersebut.
Menurut Ira, para pengungsi tersebut dipindahkan dari Aceh Selatan menjelang tengah malam dan menempuh perjalanan dalam truk hingga tiba pagi hari di Banda Aceh. “Rombongan truk ini dikawal oleh [aparat] Polres Aceh Selatan dan perwakilan pemerintah Aceh Selatan. Sementara pintu-pintu kantor pemerintahan yang dituju di Banda Aceh tertutup untuk mereka,” ujarnya.
Baca Juga: Ratusan Penyintas Rohingya di Aceh Selatan Dibawa ke Kantor Kemenkumham Aceh
Secara spesifik, tambah dia, kantor yang dituju truk pengangkut Rohingya itu adalah Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Aceh, yang membawahi Kantor Imigrasi. “Namun, otoritas di Banda Aceh berdalih tidak ada koordinasi atau MoU antara Pemda Aceh Selatan ke Pemda Banda Aceh dalam penerimaan pengungsi.”
Menurut Ira, sebelum pemindahan terjadi, terjadi lempar tanggung jawab tanpa koordinasi antarlembaga yang berwenang. Kantor Wilayah Kemenkumham Aceh menjanjikan pemindahan ke Lhokseumawe setelah pengungsi ditampung sementara di Aceh Selatan. Pernyataan tersebut dibantah melalui media oleh Pemko Lhokseumawe yang mengaku bahwa tidak ada koordinasi pemindahan terlebih dahulu sebelum mengeluarkan pernyataan. Lokasi di Lhokseumawe yang sempat direkomendasikan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan pun masih belum ada kejelasan.
Di tengah situasi yang runyam dimana antar lembaga negara saling bersitegang, ratusan pengungsi rentan tetap berada dalam truk. Selama negosiasi terjadi antara Pemerintah Aceh Selatan dan otoritas lainnya di Kantor Wilayah Kemenkumham, kepolisian menahan ratusan pengungsi tersebut di atas truk di depan kantor Kanwil Kemenkumham Aceh.
“Kondisi ini berjalan sepanjang hari pada Kamis 7 November 2024 di Banda Aceh. Dalam statement di media, kepolisian bahkan meminta untuk mereka dipulangkan lagi ke Aceh Selatan,” ujar Ira.
Dalam hal ini, kata dia, pemerintah tidak menunjukkan komitmennya sesuai dengan tahapan yang sudah diatur dalam Perpres 125 Tahun 2016. Organisasi Masyarakat Sipil mengimbau pemerintah mempelajari ulang dan melaksanakan mandat PerPres tersebut.
Saat tidak dibolehkan turun dari truk selama hampir 48 jam meski telah menempuh perjalanan panjang dan kondisi cuaca yang buruk. Laporan media menunjukan bahwa pengungsi yang juga termasuk anak-anak harus buang air di botol air mineral dan cara-cara yang tidak manusiawi dan tidak beradab.
Lembaga kemanusiaan tidak bisa berbuat banyak karena terbatas wewenangnya hanya bisa memantau kondisi mereka. Lembaga-lembaga ini perlu meminta izin untuk memberi mereka ruang dan turun dari truk saat kepanasan dan menyediakan makan pagi dan siang. Kurangnya bantuan kemanusiaan menyebabkan banyak perempuan dan anak mengalami dehidrasi karena panas dan kekurangan air. “Hal ini terang-terangan merupakan pelanggaran HAM.”
Sembari menunggu kepastian, kata Ira, pengungsi telah diberikan bantuan makan, air, dan makanan ringan diantaranya oleh YSI dan YKMI. “Kami mengapresiasi setiap lembaga kemanusiaan yang ikut serta membantu pengungsi dalam proses ini.”
Di tengah desakan memulangkan pengungsi ke Aceh Selatan, kelompok mahasiswa hadir untuk mengadvokasi agar pengungsi ditempatkan di lokasi yang lebih manusiawi.
Sayangnya, muncul spanduk-spanduk penolakan warga pun tiba-tiba muncul kembali. “Tidak bisa diverifikasi apakah ini merupakan tindakan organik dari warga mengingat mahasiswa yang hadir sebelumnya justru mengadvokasi perlindungan pengungsi.”
Absennya negara membuat para pengungsi kembali lagi diseret ke dalam perjalanan tak menentu ke arah Aceh Selatan menjelang petang. Malam harinya, terdapat informasi bahwa Pemerintah Lhokseumawe bersedia menerima setelah ada dorongan dari Pemerintah Aceh.
“Meskipun Pemprov tidak disebut memiliki peran dalam Perpres, kondisi tersebut tampaknya mengarahkan pemerintah provinsi untuk melakukan extraordinary measure meski sudah sangat terlambat.”
Pengungsi pun kembali menempuh perjalanan pada 7 November malam hingga 8 November pagi ke Lhokseumawe, menuju ke gedung bekas Imigrasi Lhokseumawe. Seperti pola yang diorganisir, kata Ira, di sana telah menanti serombongan orang yang menamakan dirinya warga lokal, menolak pengungsi tersebut dimasukkan ke gedung. Pengungsi pun tidak diturunkan dan melanjutkan perjalanan tanpa tahu kemana tujuannya.
Hingga rilis ini ditulis, para pengungsi masih berada di dalam truk sejak mereka dibawa oleh Pemda Aceh Selatan pada 6 November tanpa solusi di Banda Aceh maupun Lhokseumawe. “Saat ini kondisi hujan dan berkabut, dimana kami melihat bahwa pengungsi semakin rentan untuk sakit dan sopir truk semakin kelelahan.”
Organisasi masyarakat sipil mendesak mendesak penyelamatan pengungsi untuk segera diturunkan dari truk dan diberikan tempat istirahat dan penampungan sesuai standar kemanusiaan dan hak asasi manusia termasuk pengecekan kesehatan khususnya bagi kelompok rentan ibu hamil, anak-anak, dan pengungsi sakit.
Mereka juga mendesak Menteri Dalam Negeri untuk bertindak mengatasi carut-marutnya koordinasi antar lembaga negara dan saling lempar tanggung jawab antar Pemda yang membuat pengungsi terlantar di atas truk tanpa bantuan dasar, serta memastikan implementasi Perpres secara efektif.
“Mendesak Kapolri untuk memastikan perlindungan dan pengamanan bagi pengungsi, serta menginvestigasi potensi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai warga yang menolak dan melakukan provokasi penolakan ketika sudah ada persetujuan dari Pemda Lhokseumawe untuk pengungsi ditempatkan di wilayah Lhokseumawe.”
Selain itu, Menkopolhukam atau lembaga baru yang setara, juga didesak untuk menjalankan Perpres secara efektif dan memerintahkan adanya bangunan layak yang dapat digunakan oleh pengungsi yang saat ini terkatung-katung di jalan untuk berteduh, beristirahat, dan ditampung.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy