Maksimalisasi Fungsi Islamic Center Lhokseumawe untuk Dekatkan Masjid kepada Umat, Ini Kata Antropolog Unimal

default
Masjid Agung Islamic Center Kota Lhokseumawe. Foto dokumen tahun 2024/Line1.News/Yasir

Lhokseumawe – Antropolog Universitas Malikussaleh (Unimal), Doktor Abdullah Akhyar Nasution, menilai Badan Kemakmuran Masjid (BKM) Islamic Center Kota Lhokseumawe harus berbenah untuk maksimalisasi fungsi masjid agung tersebut. Dia memberikan masukan berisi lima poin penting untuk mendekatkan masjid kepada umat agar kemakmuran masjid akan bisa terwujud. Mulai dari penguatan fungsi pendidikan hingga menjadikan masjid sebagai wadah pelayanan dengan memanfaatkan teknologi.

Abdullah Akyar yang merupakan Ketua Jurusan Antropologi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unimal sejak tahun 2021 sampai sekarang, menyampaikan pandangannya itu saat dihubungi Line1.News via pesan Whatsapp, Ahad, 23 Februari 2025.

Mulanya, Abdullah Akhyar menjelaskan berdasarkan literatur yang pernah ia baca, fungsi masjid di zaman Kesultanan Aceh selain tempat ibadah adalah sebagai Pusat Penyebaran Agama, Pusat Pendidikan Kajian Keislaman, Pusat Pengambilan Keputusan terkait kemaslahatan umat dan sebagai Pusat Perjuangan.

“Hanya saja saat ini fungsi tersebut bisa direvitalisasi sesuai dengan kondisi sekarang,” kata Abdullah Akhyar.

Beberapa penyesuaian fungsi tersebut, lanjut Abdullah Akhyar, di antaranya menjadikan masjid termasuk Masjid Islamic Center yang dikelola pemerintah sebagai: Pertama, Wadah Penguatan Fungsi Pendidikan. Yaitu, mengembangkan program pendidikan berbasis masjid, seperti kursus keislaman, pendidikan vokasional, dan literasi digital. Selain itu, mendorong masjid menjadi tempat kajian ilmu yang inklusif, tidak hanya terbatas pada ilmu agama tetapi juga keterampilan sosial dan ekonomi.

Kedua, mendorong masjid menjadi Pusat Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial. “Menghidupkan kembali Baitul Mal berbasis masjid untuk pengelolaan zakat, infak, dan wakaf guna membantu masyarakat miskin. Mengembangkan koperasi masjid untuk mendukung ekonomi umat. Misalnya dengan menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses modal usaha kecil. Kasus [hal yang dapat dilakuan sesuai keadaan saat ini] di Islamic Center Lhokseumawe adalah melibatkan masjid dalam pengelolaan Ahad Festival, dan lainnya,” ujar Abdullah Akhyar.

Ketiga, Pusat Kesehatan dan Kemanusiaan. “Menyediakan layanan kesehatan gratis atau klinik masjid bagi masyarakat kurang mampu. Mengorganisir kegiatan sosial seperti donor darah, bantuan kebencanaan, dan program kesejahteraan anak yatim,” tuturnya.

Keempat, Ruang Dialog dan Sosialisasi. Yaitu, menghidupkan kembali fungsi musyawarah di masjid dengan melibatkan masyarakat untuk membahas isu-isu sosial dan pembangunan. “Menjadikan masjid sebagai ruang terbuka bagi generasi muda agar lebih terlibat dalam aktivitas keagamaan yang relevan dengan zaman,” kata Abdullah Akhyar yang juga Staf Ahli Komunitas Peradaban Aceh sejak tahun 2005 sampai sekarang.

Kelima, menurut Abdullah Akhyar, menjadikan masjid sebagai wadah pelayanan dengan memanfaatkan teknologi. Digitalisasi masjid dengan menghadirkan media dakwah online, aplikasi manajemen masjid, dan sistem informasi berbasis komunitas. “Menyediakan ruang belajar berbasis digital/ penyediaan ruang wifi untuk meningkatkan literasi umat dalam berbagai bidang,” ujar Pendiri dan Staf Ahli pada Lembaga LATERAL-Medan Sumatera Utara itu.

[Dr. Abdullah Akhyar Nasution, S.Sos., M.Si., CIQaR.. Foto: Istimewa]

Lebih lanjut Abdullah Akhyar menjelaskan upaya merevitalisasi masjid bukan hanya soal mengembalikan fungsinya seperti masa lalu, tetapi adalah menyesuaikannya dengan kebutuhan masyarakat modern. “Dengan demikian, masjid bisa kembali menjadi pusat kehidupan umat Islam di Aceh, tidak hanya dalam aspek spiritual, tetapi juga sosial, ekonomi, dan pendidikan,” kata Abdullah Akhyar yang meraih S2 pada Prodi Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan dan S3 pada Prodi Perencanaan Wilayah Universitas Sumatera Utara.

Menurut Abdullah Akhyar, semangat memberdayakan umat berbasis masjid harus diupayakan kembali, karena dengan mendekatkan masjid kepada umat, maka kemakmuran masjid akan bisa terwujud.

Oleh karena itu, kata Abdullah Akhyar, visi misi BKM jangan hanya pada pembangunan fisik masjid, tapi harus kepada maksimalisasi fungsi. “Sampai saat ini sulit rasanya menemukan masjid yang dikelola dengan prinsip modern berbasis pemberdayaan umat”.

“Sebagai daerah yang mengaku menggunakan syariat Islam, malu rasanya jika orang belajar manajemen masjid bukan ke Aceh. Untuk itu, BKM Masjid Islamic Center harus berbenah. Jangan sampai masjid hanya menjadi monumen pemujaan tanpa impak bagi manusia penghuninya. Koneksi umat dengan masjid harus dibangun dengan menjadikan masjid sebagai wadah yang bisa membantu memenuhi kebutuhan umat,” tegas Abdullah Akhyar.

Abdullah Akhyar lantas mempertanyakan, sejauh ini kalau hanya sebagai landmark, apakah fungsi lainnya sudah diarahkan maksimal. “Ini yang harus dijawab oleh BKM Masjid Islamic Center”.

Baca juga: Masjid Islamic Center sebagai Landmark Kota Lhokseumawe, Begini Pandangan Tiga Dosen Arsitektur Unimal

Beut dan Seumeubeut

Dihubungi terpisah, Ade Ikhsan Kamil, M.A., juga Dosen Antropologi Unimal, mengatakan untuk melihat masjid dalam pandangan antropologi harus didudukkan masjid secara relasional dengan unsur dan aktivitas masyarakat Aceh lainnya. Pertama, kata Ade Ikhsan Kamil, masjid sebagai episentrum aktivitas. “Masyarakat Aceh memiliki aturan terhadap perilaku bahwa masjid harus dijadikan sebagai sentral aktivitas. Selain sebagai ibadah wajib masjid juga dijadikan sebagai penanda untuk aktivitas beut dan seumeubeut”.

“Saat ini aktivitas seumeubeut di masjid [umumnya] tidak dilakukan secara terstruktur dalam satu tahun ajaran. Artinya memiliki pengajar tetap dan masyarakat bisa mengikutinya secara terjadwal. Kemudian, masjid harus dikembangkan untuk sentral aktivitas lainnya, relasi sosial dan ekonomi dapat dikembangkan dari masjid. Bahasa sederhananya, sambil nunggu waktu shalat, ada yang jualan kopi, sambil nunggu waktu shalat ada yang bekerja dan berdagang. Pemukiman pun harusnya tumbuh mendekat ke masjid,” ujar Ade Ikhsan Kamil.

Kedua, lanjut Ade Ikhsan Kamil, masjid menjadi bangunan historis yang menghubungkan masa lalu dan masa depan masyarakat Aceh. “Keberadaan Islamic Center menjadi bangunan historik, dan mungkin salah satu bangunan terbesar di Kota Lhokseumawe saat ini. Hal ini dapat kita artikan kejayaan Islam dapat diwujudkan dari masjid dengan mulai menjadikan kejayaan masa lalu sebagai panduan, atau lentera untuk menata masa depan”.

“Artinya, jika mau menjadikan Lhokseumawe maju, maka bangunan aktivitasnya dari masjid yaitu beut dan seumeubeut (kajian keilmuan),” tutur Ade Ikhsan Kamil yang adalah Ketua Prodi Antropologi FISIP Unimal.

Ketiga, kata Ade Ikhsan Kamil, “Kita harus melihat masyarakat Aceh sebagai manusia aktif yang membangun kehidupannya berdasarkan keinginannya. Masjid tanpa pengunjung (orang yang beraktivitas) hanya akan menjadi museum yang dikunjungi untuk didokumentasikan. Sehingga membuat nyaman pengunjung harus diperhatikan oleh pengelola masjid”.

“Fasilitasnya, aktivitasnya, serta apa yang membuat masjid dirindukan oleh jamaahnya?”

Libatkan Akademisi

Untuk diketahui, salah satu pesan disampaikan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem saat melantik para bupati, wali kota dan wakilnya di daerah masing-masing untuk periode 2025-2030, pentingnya melibatkan akademisi dalam setiap rancangan pembangunan.

Mualem menyebut kepakaran para akademisi sangat dibutuhkan dalam menyusun dan merumuskan program pembangunan. “Libatkan para akademisi dalam memberi opini-opini yang baik untuk kepentingan Kota Lhokseumawe,” ucap Mualem setelah melantik Wali Kota dan Wakil Wali Kota Lhokseumawe, Doktor Sayuti Abubakar dan Husaini, di gedung DPRK setempat, Senin, 17 Februari 2025.

Baca juga: Duit Lhokseumawe ‘Bacut Sagai’, Sayuti Tagih Janji Mualem Rp100 Miliar/Tahun

Sebelumnya, Sayuti Abubakar usai dilantik sebagai Wali Kota mengajukan sejumlah permintaan kepada Gubernur Aceh. Salah satunya, bantuan keuangan provinsi untuk Lhokseumawe. “Karena banyak sekali yang perlu kami bangun di Kota Lhokseumawe,” ujar Sayuti.

Di antaranya, kata Sayuti, pihaknya ingin menyelesaikan pembangunan Masjid Islamic Center Lhokseumawe yang sudah dibangun sejak tahun 2001.[]

 

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy