Jakarta – Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya mengatakan temuan tulang belulang di Rumoh Geudong merupakan barang bukti untuk melanjutkan proses hukum hingga ke tahap Pengadilan HAM ad hoc.
KontraS menduga kuat tulang belulang merupakan tulang dari para korban pembunuhan dalam kasus Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998). Rumoh Geudong berada di Desa Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie.
“Akan tetapi, Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) tidak melakukan upaya apapun termasuk mendorong Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan pro justitia oleh Komnas HAM terhadap kasus tersebut,” ujar Dimas dalam keterangan tertulis, Rabu, 15 Mei 2024.
Komnas HAM, kata Dimas, justru membiarkan pembangunan living park di lokasi reruntuhan Rumoh Geudong sekaligus lokasi penemuan tulang belulang tersebut. Hal ini, lanjutnya, merupakan sikap yang buruk dalam penyelesaian secara yudisial karena berpotensi merusak barang bukti atau obstruction of justice.
Karena itu, KontraS mendesak Komnas HAM aktif berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk mendorong penyelesaian secara yudisial dari kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat demi terwujudnya kondisi yang kondusif bagi penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia.
“Selain itu, demi memelihara kepatuhan terhadap sistem hukum yang ada sebagai jaminan atas kepastian hukum bagi para korban dan terduga pelaku,” ujar Dimas.
KontraS, kata dia, juga mendesak Presiden RI dan jajarannya tidak mengabaikan dan melupakan kewajiban dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat sesuai mandat Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan standar HAM internasional, demi terpenuhinya hak-hak korban secara menyeluruh dan mencegah kultur impunitas terus berulang di Indonesia.
Tim PPHAM Bermasalah
Sebelumnya, KontraS menyoroti rekomendasi yang diberikan Komnas HAM kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan untuk memperpanjang Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).
Menurut KontraS, Tim PPHAM yang telah dibentuk serta implementasi pelaksanaan rekomendasinya pun bukan tanpa masalah. “Mulai dari dasar hukum, tupoksi, komposisi tim yang berisi setidaknya dua sosok bermasalah, tidak munculnya kewajiban menuntut pertanggungjawaban para pelaku, hingga pertanyaan seputar efektivitas dan mekanisme kerja yang patut dipertanyakan sebab berlangsung hanya dalam hitungan bulan,” ujar Dimas.
Begitupun dengan masa kerja Tim Pemantau PPHAM yang ditetapkan hanya berlangsung sampai 31 Desember 2023. “Sampai masa kerja berakhir, belum ada kanal ataupun mekanisme resmi dari pemerintah yang menyediakan akses terhadap Laporan Tim PPHAM secara utuh,” ungkap Dimas.
KontraS juga sangat menyayangkan Komnas HAM yang aktif mendorong penyelesaian nonyudisial justru bungkam dan pasif dalam mendorong penyelesaian secara yudisial, yang sejak lama mengalami kemacetan setelah hasil penyelidikan diberikan kepada Kejaksaan Agung.
Dari seluruh elemen yang menangani penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, kata Dimas, harusnya Komnas HAM menjadi pihak yang paling memahami urgensi penyelesaian secara yudisial yang substantif.
Pernyataan pengakuan Presiden Joko Widodo atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat pada 11 Januari 2023, kata Dimas, rupanya tak mampu menjadi pengingat bagi Komnas HAM untuk aktif berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam mendorong penyelesaian secara yudisial sesuai dengan mandat dan tanggung jawab moral lembaga.
“Respon Komnas HAM tentu sangat disayangkan, mengingat selain hak pemulihan bagi korban yang sangat penting sebagai bagian pertanggungjawaban negara, akses terhadap kebenaran dan keadilan bagi para korban dan keluarga korban menjadi juga tidak dapat dinegasikan.”[](Rilis)
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy