Jakarta – Presiden Jokowi memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada organisasi keagamaan (ormas) lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai terbitnya PP 25 yang dibahas secara tertutup dan terburu-buru itu, memperburuk proses legislasi di Indonesia.
“PP ini sarat kepentingan politik dan merupakan turunan dari UU Cipta Kerja yang melanggar konstitusi dan prinsip demokrasi. Sehingga hal ini membahayakan demokrasi karena mengabaikan partisipasi rakyat selaku subjek utama pengelolaan sumber daya alam,” ujar Ketua YLBHI Muhamad Isnur dalam keterangan tertulis bersama belasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dikutip Jumat, 6 Juni 2024.
Selain itu, YLBHI melihat legalisasi tambang bagi ormas keagamaan sebagai jebakan dan upaya kooptasi atau pembungkaman oleh pemerintah serta oligarki untuk melanggengkan kekuasaan.
YLBHI juga memandang kebijakan tersebut memecah belah masyarakat sipil dan menunjukkan upaya neo-otoritarianisme oleh pemerintahan Jokowi. PP 25/2024 menyusutkan ruang sipil melalui kooptasi dan adu domba, menjadikan ormas keagamaan instrumen negara untuk menekan rakyat.
“Ini adalah bentuk politisasi keagamaan, Ormas keagamaan akan berhadapan visi a vis dengan masyarakat, dan Ormas jadi instrumen negara untuk melakukan represi terhadap rakyat,” ujar Isnur.
Baca: Jokowi izinkan Ormas Keagamaan Kelola Tambang Mineral dan Batu Bara
Ia menambahkan, dalam konteks HAM, negara seharusnya bersikap pasif, bukan aktif dalam memenuhi urusan ormas, karena hal ini berpotensi diskriminatif.
Berdasarkan catatan LBH-YLBHI, wilayah pertambangan selalu berlumuran konflik, merusak lingkungan, dan merampas ruang hidup masyarakat. Selama ini, pertambangan tak pernah berpihak pada rakyat dan lingkungan.
Menurut YLBHI-LBH, pertambangan di Wadas, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku menyebabkan pencemaran lingkungan yang menimbulkan hak-hak kesehatan dan berkurangnya sumber pangan warga setempat.
Dalam proses perizinan, kata Isnur, perusahaan tambang sering menggunakan cara kotor tanpa persetujuan masyarakat. “Jika ormas keagamaan bekerja sama dengan perusahaan tambang, mereka juga akan menjadi bagian dari pelanggaran HAM. Sebab, selama ini tidak ada perusahaan tambang yang mengedepankan pemenuhan HAM dan prinsip demokrasi.”
Puluhan ribu lubang tambang yang dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi telah memakan korban. “Dengan adanya obral izin tambang kepada Ormas maka justru akan memperpanjang kasus tambang serupa dan kembali lagi korbannya adalah masyarakat terdampak secara langsung. Hal ini akan menjadi tumpukan kasus sosial-ekologis berkepanjangan.”
Penawaran khusus kepada organisasi keagamaan, menurut YLBHI dan LBH, juga mencerminkan kepentingan legasi kepemimpinan Jokowi dan penundukan terhadap organisasi kemasyarakatan yang seharusnya menjadi pengawas kritis kebijakan negara.
“Dengan adanya jalan khusus pemberian WIUPK ini, maka sudah barang tentu penjaga kedaulatan rakyat dan sebagai perwujudan negara demokrasi kian melemah.”
Baca: Menteri LHK Tentang Izin Tambang Ormas: Daripada Tiap Hari Ajukan Proposal
Penolakan tambang oleh rakyat sering berakhir dengan pelemahan gerakan oleh pemilik usaha dan aparat keamanan. Konsesi kepada ormas hanya memperpanjang konflik sosial antar masyarakat.
Berdasarkan alasan tersebut, LBH-YLBHI mendesak Pemerintahan Jokowi mencabut PP 25 dan menghentikan praktik buruk legislasi yang merusak tatanan hukum, demokrasi dan melanggar konstitusi. Selain itu, LBH-YLBHI juga mengingatkan kepada ormas keagamaan agar tidak terlibat sebagai bagian dari pelanggar HAM di wilayah pertambangan.
Pernyataan sikap itu juga ditandangani LBH Semarang, LBH Bandung, LBH Palangkaraya, LBH Makassar, LBH Papua, LBH Bali, LBH Jakarta, LBH Bandar Lampung, LBH Pekanbaru, LBH Surabaya, Project Based LBH Kalimantan Barat, LBH Manado, LBH Palembang, LBH Samarinda, LBH Medan, LBH Padang, LBH Banda Aceh, dan LBH Yogyakarta.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy