Profil Bayu Satria, ‘Advokat’ Hak Anak yang Jadi Tim Perumus Debat Paslon Gubernur-Wagub Aceh

Bayu Satria (kaos biru) bersama anak-anak sekolah. Foto: unicef.org
Bayu Satria (kaos biru) bersama anak-anak sekolah. Foto: unicef.org

Banda Aceh – Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh telah menetapkan lima orang tim perumus debat terbuka pasangan calon (paslon) Gubernur-Wakil Gubernur Aceh di Pilkada 2024. Salah seorang di antaranya adalah Bayu Satria.

Pria kelahiran Simeulue ini berbeda dari keempat tim perumus lainnya. Bayu, 26 tahun, terlahir dengan cerebral palsy, kondisi yang memengaruhi gerakan dan postur tubuh.

Namun, Bayu menolak dikotakkan karena kondisinya. Didukung oleh kedua orangtuanya yang gigih, Bayu tumbuh besar dengan kepercayaan bahwa semua mimpi dapat diwujudkan. Dan, dibandingkan orang-orang “biasa”, prestasi Bayu tak bisa dianggap remeh.

Di usia mudanya, Bayu telah banyak berkiprah untuk memperjuangkan hak-hak anak termasuk disabilitas. Ia merupakan pendiri YouthID pada 2018. Atas kegigihannya itu, Bayu terpilih sebagai Duta Anak Provinsi Aceh 2015 dari Komnas Perlindungan Anak. Selain itu, ia mendapat penghargaan Inspirator PUSPA 2018 dari Kementrian PPPA RI dan Kabupaten Layak Anak Award 2021 dari Gubernur Aceh.

Pada 2020, Bayu mendirikan Aceh Youth Action yang fokus pada isu kesehatan dan gizi. Ia mengemban beberapa peran sekaligus, menyosialisasikan pencegahan COVID-19 kepada masyarakat, mempromosikan imunisasi, memantau status malnutrisi, dan mendorong praktik pengasuhan anak yang lebih baik.

Dedikasinya juga yang membuat Bayu mendirikan Ate Fulawan Research Center Innovation Lab and Academy, platform yang membantu anak muda memperoleh keterampilan abad ke-21. Tak hanya itu, pada 2023 Bayu bergabung dengan Mitra Muda, sebuah jejaring kolaborasi UNICEF dan U-Report Indonesia yang bertujuan memberdayakan generasi muda agar mampu mengadvokasi isu-isu penting.

Pada Januari 2024, Bayu bersama tim Gizi dari UNICEF Indonesia, Kantor Lapangan UNICEF di Banda Aceh, dan Mitra Muda melaksanakan pelatihan untuk pemuda fasilitator, termasuk pemuda dengan disabilitas, sebagai bagian dari program Aksi Bergizi yang bertujuan memperbaiki kondisi gizi remaja.

Diskriminasi Masa Kecil

Terlepas dari pencapaian Bayu, ternyata sosok ini semasa kecilnya kerap mengalami diskriminasi. Ia baru bisa berjalan pada usia lima tahun tapi tidak normal. Selain itu, waktu kecil hampir saban bulan Bayu masuk rumah sakit.

Akibat kondisi fisiknya, dia juga nyaris tidak diterima di sekolah dasar negeri. Ketika diterima di sebuah sekolah, teman-teman dan gurunya seperti membangun terkena stereotip kalau kondisi fisik Bayu karena gangguan mistis.

Menurut Bayu, kala itu teman-temanya belum tahu apa itu disabilitas. Sedangkan ia mengalami disabilitas daksa. “Itu yang menjadikan teman-teman takut denganku,” tutur Bayu yang pernah diundang ke Kota Semarang dan menjadi pembicara di agenda Kab/Kota HAM pada 2021, dilansir dari radioidola.com, Jumat, 11 Oktober 2024.

Kegigihan dan kegiatan mengadvokasi hak untuk anak-anak ternyata membuat imun tubuh Bayu terus meningkat. Kaki Bayu sebelah kanan memang mengalami gangguan saraf sehingga tidak berfungsi optimal. Namun, ‘adovokat’ ini lebih suka berjalan dengan kaki sendiri ketimbang menggunakan tongkat atau alat bantu.

Di luar kondisinya itu, Bayu membayangkan masa depan di mana anak dengan disabilitas memperoleh akses pada pengalaman yang membuka wawasan dan pendidikan secara luas serta berkelanjutan.

“Punya ‘perhatian’ terhadap anak dengan disabilitas saja tidak cukup. Kita juga harus pastikan mereka dilihat, didengar, dan disertakan dalam kegiatan yang bermakna supaya wawasan mereka bertambah luas,” ujarnya dilansir dari laman resmi UNICEF Indonesia.

Barangkali, itu akan menjadi salah satu isu strategis yang bakal direkomendasikan Bayu kepada tim panelis debat antarpaslon nantinya. Kita tunggu saja.[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy