Pengamat Politik: Gubernur Aceh Harus Segera Bersikap Terhadap Polemik Pengangkatan Plt Sekda

M Akmal Dosen Ilmu Politik Unimal
Dr. M. Akmal, M.A., Dosen Ilmu Politik FISIP Unimal. Foto: Istimewa

Banda Aceh – Pengamat Politik Aceh, Doktor M. Akmal mengatakan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem, harus segera mengambil sikap terhadap polemik pengangkatan Plt. Sekda Aceh, Alhudri. Menurut Akmal, Gubernur harus bertindak jika apa yang disampaikan Ketua DPR Aceh, Zulfadhli alias Abang Samalanga itu benar.

“Pendapat Ketua DPRA ini sangat serius karena disampaikan dalam sidang paripurna DPRA. Sidang itu bersifat formal dan merupakan sidang tertinggi dalam sistem kerja DPRA,” kata Akmal saat Line1.News meminta pandangannya, Sabtu sore, 22 Februari 2025.

Akmal menilai apa yang disampaikan oleh Ketua DPRA itu sangat jelas bahwa ada maladministrasi dalam pengangkatan Plt. Sekda Aceh. “Publik sudah mengetahui secara luas. Ini bentuk komunikasi politik yang jelas dari lembaga legislatif,” ujarnya.

Menurut Akmal, masyarakat akan melihat kondisi ini adalah awal dari munculnya konflik kepentingan dalam sistem politik dan pemerintahan daerah Aceh.

“Gubernur tidak boleh diam, karena Ketua DPRA adalah kader Partai Aceh, dan Wagub adalah kader Partai Gerindra. Jika benar apa yang disampaikan Abang Samalanga, maka Gubernur harus segera mengambil tindakan mengevaluasi kembali kedudukan Alhudri sebagai Plt. Sekda, dan harus ada peringatan keras kepada Wagub atas pelanggaran ini,” tegasnya.

“Namun, jika yang disampaikan Ketua DPRA itu tidak benar, maka ini juga harus diluruskan dalam sistem kepartaian PA, karena Gubernur adalah Ketua PA,” lanjut Akmal.

Akmal menegaskan Gubernur harus menjelaskan ke publik agar masyarakat mengetahui inti masalah dalam pengangkatan Plt. Sekda ini. Selain itu, kata Akmal, Gubernur sebagai kepala daerah yang memegang mandat tertinggi eksekutif dalam Pemerintah Aceh harus segera meluruskan polemik ini, karena jabatan Sekda adalah pemegang kendali tertinggi dalam birokrasi pemerintahan.

“Jika didiamkan, situasi ini akan mengganggu sistem kerja pemerintahan, hubungan pemerintah dengan legislatif. Gubernur lebih tahu mana yang benar dan mana yang salah dalam pengangkatan Alhudri,” ujar Akmal.

Akmal menambahkan, “Jangan sampaikan riak konflik politik yang terjadi ini akan memperburuk hubungan lembaga Legislatif dan Eksekutif Aceh, karena kedua lembaga ini pada prinsipnya adalah sebuah lembaga pemerintahan Aceh”.

Akmal menyebut Indonesia menganut sistem distribution of power, bukan separation of power. Dalam sistem distribution of power, eksekutif dan legislatif adalah patner, menjadi satu bagian sebagai pemerintahan yang saling bekerja sama. Sedangkan dalam sistem separation of power, eksekutif dan legislatif mempunyai kewenangan yang terpisah dan tidak bisa saling menjatuhkan, berdiri sendiri dengan kewenangan sendiri-sendiri (seperti negara-negara Barat dan Eropa).

“Kita berharap Gubernur Aceh sebagai kepala pemerintahan tertinggi harus segera turun tangan, untuk mengembalikan kedamaian politik dalam lembaga pemerintahan Aceh,” pungkas Akmal.[]

Baca juga: Ketua DPRA: Surat Perintah Plt Sekda Alhudri Permainan Dek Fad dan Bendahara Gerindra Aceh!

Sebelumnya, Ketua DPR Aceh, Zulfadhli menyebutkan polemik surat perintah pelaksana tugas nomor PEG.821.22/13/2025 untuk Alhudri sebagai Plt. Sekda Aceh merupakan permainan Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah atau Dek Fad, dan Bendahara Gerindra Aceh, Teuku Irsyadi.

Hal itu diungkapkan Zulfadhli dalam Rapat Paripurna DPRA Pengucapan Sumpah dan Pelantikan Wakil Ketua DPRA, Ali Basrah dari Fraksi Partai Golkar pada Jumat malam, 21 Februari 2025.

Di sidang itu, Zulfadhli meminta surat yang menjadi polemik itu diperlihatkan di monitor dalam ruang sidang. Dia kemudian memaparkan satu per satu kejanggalan dalam surat yang diduga maladministrasi itu.

Di surat itu disebutkan mulai 12 Februari 2025, Alhudri ‘melaksanakan tugas di samping jabatannya sebagai Staf Ahli Bidang Keistimewaan Aceh, Sumber Daya Manusia, dan Hubungan Kerjasama, juga sebagai Plt Sekda Aceh, sampai dengan paling lama tiga bulan’.

Zulfadhli mempertanyakan model jabatan staf ahli tersebut. Kebiasaannya, kata dia, penyebutannya ‘Staf Ahli Gubernur’ bukan ‘Staf Ahli’ saja.

“Ini satu kecolongan. kita bukan berbicara nama orang tapi administrasi, karena saya lagi diobok-obok di luar, disuruh pecat. Siapa yang berani pecat saya? Coba tunjukkan, na aneuk agam? Kalau saya di posisi benar, coba silakan [kalau] berani. SK saya [sebagai Ketua DPRA] SK Mendagri, lima tahun [masa jabatan],” tukas pria yang akrab disapa Abang Samalanga itu.

Zulfadhli kemudian menyebut surat itu tidak dibubuhi paraf Badan Kepegawaian Aceh (BKA) dan Asisten Setda Aceh.

“Paraf BKA ada tidak, paraf asisten ada tidak? Makanya jangan hantam Ketua DPR, kalau berlaga dengan Ketua DPR cari di mana kesalahan Ketua DPR, jangan! Saya ingatkan semua, jangan main-main,” ujarnya.

Dia juga menyoroti lambang burung garuda di kop surat. “Kalau produk BKA, produk Pemerintah Aceh, [lambang burung garuda] ini lebih kecil. Tulisan ‘GUBERNUR ACEH’ di-bold (ditebalkan). Biasanya [tulisan itu] diketik BKA bukan dicetak. Berarti [surat] ini dipastikan bukan produk BKA,” ujarnya.

Zulfadhli lantas mengatakan semua anggota DPRA sepakat memanggil pihak terkait untuk mengklarifikasi surat itu, walaupun bukan lewat Rapat Dengar Pendapat atau Pansus.

“Pihak-pihak terkait akan kita panggil, sepakat?”

“Sepakat..!!!”

Tok! Zulfadli mengetuk palu sidang.

Setelah itu, dengan berapi-api Zulfahdli berkata. “Ini semua permainan wakil gubernur Fadhlullah Dek Fad dari Partai Gerindra!”

“Ini permainan Bendahara Gerindra dan Ketua Gerindra Aceh, Fahdlullah dan [Teuku] Irsyadi!” imbuh politisi Partai Aceh (PA) tersebut.

Zulfahdli mengatakan akan menuntaskan persoalan surat itu dan meminta dukungan anggota DPRA.[]

 

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy