KJRI Cape Town Sosialisasi Permasalahan Anak Berkewarganegaraan Ganda

sosialisasi tentang dinamika anak berkewarganegaraan ganda terbatas. Foto: Istimewa

Cape Town – Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Cape Town, Afrika Selatan, menggelar sosialisasi tentang dinamika anak berkewarganegaraan ganda terbatas.

Sosialisasi itu dilakukan karena muncul isu sejumlah anak WNI di sana mulai menginjak usia 18 tahun. Mereka bingung harus memilih menjadi WNI atau WNA, dan mekanisme bagi ABG (Anak Baru Gede) yang lahir sebelum Undang Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Sosialisasi dibuka oleh Konsul Jenderal (Konjen) RI Cape Town, Tudiono dan menghadirkan Direktur Tata Negara Kementerian Hukum dan HAM RI, Baroto secara virtual.

Sekitar 100 orang menghadiri acara yang digelar di Gedung Garuda KJRI. Mereka merupakan warga Indonesia yang menikah dengan warga setempat beserta anak dan keluarganya, serta Anak Buah Kapal Indonesia yang sedang bersandar di Cape Town.

Konjen Tudiono menyampaikan per 6 Mei 2024, di wilayah KJRI Cape Town tercatat ada 150 WNI dan terdapat 40 ABG. Tiga di antara ABG tersebut memasuki usia 18-21 tahun, yang harus menentukan apakah memilih WNI atau WNA.

Menurut Tudiono, perkawinan campur antar WNI dengan WNA kerap terjadi karena semakin meningkatnya hubungan antar masyarakat akibat perkembangan teknologi, transportasi dan informasi.

“Anak-anak yang lahir dari perkawinan campur sesuai UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan memiliki kewarganegaraan ganda terbatas. Bagi mereka yang telah menginjak usia 18-21 tahun harus menentukan pilihannya apakah ingin menjadi WNI dan WNA,” ujar Tudiono seperti dikutip Selasa, 14 Mei 2024.

Pilihan kewarganegaraan anak, tambahnya, merupakan hal yang sangat krusial karena terkait dengan status kewarganegaraan dan perlindungan hukum.

“Untuk itu penting dipahami bagaimana mekanisme dan prosedur terkait penentuan pilihan kewarganegaraan anak sangat penting. Jangan sampai karena ketidaktahuan prosedur dan mekanisme, anak menjadi kehilangan kewarganegaraan Indonesia.”

Menurut pasal 23 UU Nomor 12 Tahun 2006 seseorang bisa kehilangan kewarganegaraan Indonesia karena beberapa sebab. Di antaranya, memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauan sendiri, tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, serta mengajukan permohonan pelepasan warga negara kepada Pemerintah Indonesia dan dikabulkan oleh Presiden.

Sementara Baroto dalam paparannya menegaskan bahwa ABG yang memasuki usia 18 tahun atau maksimal 21 tahun, harus melapor ke Perwakilan RI untuk menentukan pilihan menjadi WNI atau WNA.

“Jika tidak melapor dalam masa tersebut, dia akan kehilangan hak menjadi WNI dan otomatis menjadi WNA. Hal ini tentunya merugikan yang bersangkutan atau orang tuanya jika sebenarnya ABG tersebut ingin menjadi WNI,” ujarnya.

Menurut Baroto, proses menjadi WNI kembali setelah melewati usia 21 tahun akan menjadi lebih sulit dan lama, serta memerlukan biaya besar.

Ibu T, yang anak ABG-nya memasuki usia 18 tahun di pertengahan Mei, meminta kemudahan dan fasilitas untuk proses memilih WNI tanpa harus repot-repot ke Indonesia, apalagi sampai harus membayar biaya besar.

Baroto menyampaikan prosedur permohonan semuanya dipermudah melalui pendaftaran online tapi harus disertai dokumen pendukung yang lengkap.

Menutup sosialisasi, Tudiono menyampaikan bahwa kegiatan itu bentuk nyata KJRI Cape Town dalam memberikan informasi, pelayanan dan pelindungan kepada WNI. “Kegiatan ini dimaksudkan untuk memastikan agar ABG yang ingin menjadi WNI mendapatkan informasi yang utuh dan benar berasal dari institusi yang berwenang dalam memproses kewarganegaraan Indonesia,” ujarnya.

Dia menambahkan, dalam diskusi tampak adanya kekhawatiran dari sebagian peserta jika memilih WNI, anaknya akan menghadapi masalah student permit untuk masuk ke Afrika Selatan yang kepengurusannya sangat tidak mudah. Selain itu, tampak pilihan kewarganegaraan antara orang tua dengan anak bisa berbeda.[](Rilis)

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy