Oleh Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, Dosen Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe
“Indonesia darurat judi online”, kira-kira demikian judul berita yang tertera di salah satu media online. Media lainnya menulis, “Indonesia peringkat 1 pemain judi online terbanyak di dunia”. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Menteri Kominfo Budi Arie, para penjudi di Indonesia sepanjang 2023 nyaris menghabiskan 327 triliun rupiah untuk berjudi online. Ini tentu bukan angka yang sedikit. Apalagi jika itu dihamburkan begitu saja di lapak judi.
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, Usman Kansong menuturkan bahwa, per 9 Januari 2024, konten judi online telah menyalip jumlah konten pornografi. Hal ini menunjukkan kecenderungan dan minat berjudi di kalangan masyarakat Indonesia kian hari semakin meningkat. Bahkan lebih miris lagi, dari 2,7 juta pemaian judi online di Indonesia, 2,1 jutanya adalah para remaja. Mereka adalah anak-anak usia SMP.
Fakta di atas adalah kondisi riil yang kini dihadapi Bangsa Indonesia, yang konon sebentar lagi akan memasuki era “bonus demografi”, yaitu di tahun 2030-2045. Artinya, lima tahun ke depan bangsa ini akan didominasi oleh orang-orang dengan usia produktif (15-64 tahun). Namun bisa dibayangkan, jika mereka yang berada pada usia tersebut adalah para pencandu judi atau pencandu lainnya, seperti pornografi dan narkoba. Lalu apa artinya masa depan buat Bangsa Indonesia yang akan memperingati 100 tahun usia kemerdekaan pada tahun 2045 di tengah 70 persen penduduknya yang berusia produktif, tetapi sesungguhnya mereka sedang sakit dan kritis, terutama mentalnya.
Al-Qur’an Mengecam Perjudian
Penjudi sejatinya adalah para pemalas yang otaknya dipenuhi khayalan dan ilusi. Mereka seperti para pemabuk yang tidak pernah berpikir waras, alias hidup dalam berhalusinasi. Itulah barangkali mengapa Al-Qur’an selalu menggandingkan khamar dan judi saat menjelaskan hakikat dari keduanya.
Setidaknya ada tiga ayat dalam Al-Qur’an yang dapat dirujuk soal ini. Pertama dalam surah Al-Baqarah 219, “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.
Kedua dan ketiga berturut-turut dalam surah Al-Maidah 90 dan 91. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun dan termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah”.
Minum khamar dan berjudi merupakan dua hal yang sangat populer di kalangan masyarakat Arab jahiliyah. Secara praktis, mereka berjudi sembari mabuk-mabukan. Mereka bahkan begitu bangga dengan kebiasaan buruk tersebut. Oleh sebab itu Al-Qur’an tidak turun sekali atau satu ayat untuk mengharamkan khamar dan perjudian. Sebelum turun larangan, Al-Qur’an terlebih dahulu menjelaskan hakikat dari khamar dan judi.
Pada ayat pertama Allah menegaskan khamar dan judi merupakan dua dosa besar. Walaupun secara kasat mata perbuatan tersebut mendatangkan keuntungan materil, tidak sedikit hal-hal yang memberi keuntungan materil justru mengandung berbagai keburukan yang mendatangkan segudang bencana dan kehancuran.
Pada ayat pertama (Al-Baqarah 219) Allah mengajarkan hamba-Nya bagaimana seharusnya menilai sesuatu. Karena ada hal-hal yang secara kasat mata terlihat bagus dan menggiurkan, tetapi hakikatnya justru membinasakan. Sehingga penting mempertimbangkan sisi mafsadat (keburukan) dan maslahat (kebaikan) pada setiap tindakan yang diambil.
Hal itu sesuai dengan tujuan hadirnya agama (syariat) dalam kehidupan manusia, yaitu untuk meraih kebaikan (maslahat) serta menghindarkan mereka dari semua bentuk dan jenis mafsadat. Tidak dapat dipungkiri bahwa khamar dan judi merupakan dua hal yang mengandung banyak kemudaratan dan kerusakan (mafsadat). Allah berfirman, “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.
Kebanyakan manusia tidak nyambung dengan konsep “maslahat dan mafsadat”. Sebagaimana kebanyakan mereka tidak begitu terkesan dengan kalimat Allah, “pada keduanya terdapat dosa yang besar”. Karena “dosa” sifatnya tidak kasat mata.
Berbeda dengan “manfaat” yang meskipun kecil, karena bersifat materiel tetap terlihat dan terasa. Sehingga secara pragmatis manusia lebih memilih “manfaat”, walaupun hakikatnya adalah bencana dan kebinasaan. Oleh karena itu, agar manusia terhindar dari bencana khamar dan judi, melalui ayat selanjutnya (Al-Maidah 90) Allah tidak lagi menggunakan kata “dosa”, tapi dengan tegas mengatakan khamar dan judi adalah rijsun.
Imam al-Baghawi menyebutkan bahwa rijsun pada ayat ini bermakna kotor, jorok dan menjijikkan. Pilihan kata ini secara psikologis lebih berkesan dan mendalam dibandingkan kata “dosa”, karena lebih riil dan mudah dicerna. Sehingga secara sadar manusia akan meninggalkan khamar dan judi. Ditambah lagi tabiat manusia yang membenci setiap yang jorok, kotor dan menjijikkan. Meskipun pada masa yang sama, rijsun juga mengandung makna abstrak, seperti murka, dosa dan keburukan.

Saat Allah Mengharamkan Judi
Setelah melalui penjelasan yang begitu gamblang dan lugas tentang khamar dan judi, barulah Allah masuk pada fase pelarangan secara mutlak (haram). Meskipun demikian Allah tidak menggunakan kata-kata “haram” saat melarang mabuk dan berjudi, tetapi lebih memilih ungkapan “jauhilah”.
Perintah menjauh lebih mudah dimengerti dan lebih riil karena bersifat kuantitatif, dibandingkan dengan kata-kata haram yang terkesan abstrak dan kualitatif. Sehingga akan lebih menohok dan berkesan bagi orang yang membaca ayat ini.
Saat Allah mengatakan, “jauhilah”, maka seseorang akan mudah mengerti batasan dan jarak yang harus dijaga antara dirinya dengan khamar dan judi. Karenanya sangat rasional dan logis ketika ulama mengatakan, “mendekat saja tidak dibolehkan, apalagi dilakukan”. Itulah makna “jauhilah”.
Allah menggunakan kata-kata “jauhilah” atau “jangan dekati” seperti pada ayat larangan zina, untuk menunjukkan bahwa perbuatan tersebut memiliki resiko dan mafsadat yang sangat berat dan sama sekali tak bisa ditolelir. Bahkan mafsadat-nya tidak terbatas pada pelaku, tetapi berdampak pada orang lain dan lingkungannya.
Lihat saja kerusakan yang ditimbulkan oleh budaya seks bebas (zina). Mulai dari merebaknya penyakit menular hingga hancurnya institusi rumah tangga, yang pada akhirnya akan berdampak pada runtuhnya fondasi berbangsa dan bernegara. Begitulah khamar dan judi yang tidak hanya merusak akal dan menghancurkan ekonomi pemabuk dan penjudi, tetapi juga berdampak pada keluarga mereka serta masyarakat sekitarnya. Bukan hanya soal kehilangan uang dan bertambahnya jumlah ODGJ, tapi berkembangnya ragam kriminal, mulai dari pencurian hingga pembunuhan.
Itulah mengapa di ujung ayat Allah berfirman, “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang”. Dengan penjelasan yang sangat lugas ini diharapkan orang-orang akan mudah menjauh serta meninggalkan khamar dan judi. Budaya mabuk dan berjudi dipastikan akan merusak hubungan manusia sesama mereka, dan hubungan mereka dengan Allah SWT. Artinya, khamar dan judi akan membawa kerugian dan malapetaka yang sangat besar bagi kehidupan manusia, di dunia dan akhirat. Wallahua’lam.
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy