Grand Syekh Al-Azhar: Islam Agama yang Mempertemukan Semua Peradaban

Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Al-Tayeb saat berpidato dalam Forum Interfaith and Intercivilizational Reception yang digelar PBNU di Hotel Pullman Jakarta, Rabu (10/7/2024). Foto: NU Online/Suwitno
Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Al-Tayeb saat berpidato dalam Forum Interfaith and Intercivilizational Reception yang digelar PBNU di Hotel Pullman Jakarta, Rabu (10/7/2024). Foto: NU Online/Suwitno

Jakarta – Grand Syekh Universitas Al Azhar Mesir, Imam Akbar Ahmed Al-Tayeb, menegaskan bahwa Islam agama dialog yang menjembatani semua peradaban di dunia.

“Islam yang kita ingin tunjukkan, bukanlah penghambat untuk dialog. Islam dari dasar akidahnya adalah agama dialog, agama yang mempertemukan semua peradaban,” ujar Syekh Al-Tayeb dalam Forum Interfaith and Intercivilizational Reception yang digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Hotel Pullman Central Park, Jakarta, pada Rabu dikutip Kamis, 11 Juli 2024.

Ulama kelahiran Luxor, Mesir, 6 Januari 1946 itu menambahkan, saat ini ia melihat hambatan dialog menjadi jurang pemisah peradaban orang Barat dengan peradaban umat Islam dan Timur.

“Ini jurang yang sangat dalam sekali dan belum ada upaya sungguh-sungguh dari para cendekiawan di Barat untuk memahami peradaban islam dan kebudayaan yang ada di Timur secara menyeluruh,” ujarnya.

Ia juga melihat belum ada upaya dan cara mengenali Islam dan memahami islam secara serius dari turats atau warisan masa lalu. Dalam pandangan Syekh Al-Tayeb, ini disebabkan para ilmuwan Barat kurang mengenal peradaban di Timur dengan segala macam keragamannya.

Padahal, kata Syekh Al-Tayeb, Islam sangat terbuka untuk berdialog dan menganjurkan silaturahim, sebab agama ini menghormati beragam perbedaan.

“Islam sangat terbuka terhadap agama, aliran, dan menghormati pengikut agama lain. Ini dasar bagi silaturahim antara umat Islam dengan lainnya,” ujarnya.

Al-Qur’an dan hadis Nabi, tambah Syekh Al-Tayeb, memberikan prinsip bagi umat Islam untuk membangun hubungan dengan umat lain. Sebab, Islam menganggap perbedaan sebagai sesuatu yang lumrah. Bahkan, Islam memiliki pandangan untuk menentang permusuhan terhadap umat manusia.

Syekh Al-Tayeb juga mengingatkan keterbukaan Islam ditunjukkan Nabi Muhammad dengan sikap-sikapnya yang tidak memaksa orang memeluk Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahf ayat 28 dan Al-Baqarah ayat 256.

Nabi Muhammad pun, kata Syekh, tidak punya kuasa atas hati dan keyakinan manusia lainnya, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al-Ghasyiyah ayat 22, Surat Qaf ayat 45, dan Surat Yunus ayat 99.

“Sebab tugas Nabi Muhammad hanyalah menyampaikan,” ujar Syekh Al-Tayeb mengutip Al-Qur’an Surat Asy-Syura ayat 48.

Ia juga mengutip Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 48 dan Surat Hud ayat 118, bahwa kalau saja Allah berkehendak, bisa saja manusia dijadikan menjadi umat yang satu. Namun dalam wujudnya, kata Syekh, Allah menciptakan manusia beragam untuk saling mengenal sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13.

Sosok Grand Syekh Al-Tayeb

Syekh Al-Tayeb tiba di Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, pada Senin malam, 8 Juli 2024. Ini kunjungan ketiga Syekh Al-Tayeb ke Indonesia. Sebelumnya ia datang pada 2016 dan 2018. Kali ini, ia dijadwalkan berkunjung empat hari di Indonesia hingga 11 Juli 2024.

Syekh Al-Tayeb merupakan pemimpin Al-Azhar, universitas tertua kedua di dunia. Kampus ini mewakili pusat yurisprudensi Islam Sunni.

Sementara Grand Syekh atau Imam Besar merupakan gelar resmi di Mesir. Orang yang mendapat gelar ini di mata kaum Muslim sunni dianggap punya otoritas tertinggi dalam pemikiran Islam dan fikih.

Al-Tayeb meraih gelar grand syekh pada Maret 2010 setelah pendahulunya Muhammad Sayyid Tantawi meninggal dunia. Pada 2018, Al-Tayeb masuk dalam urutan pertama The 500 Most Influential Muslim.

Selain di Al Azhar, Syekh Al-Tayeb juga mengajar di beberapa kampus di berbagai negara seperti Pakistan, Arab Saudi, Qatar, hingga Uni Emirat Arab.

Selain aktif mengajar, ia juga pernah menjadi mediator saat Mesir bergejolak. Ketika itu, tentara Mesir ingin menggulingkan pemerintahan Presiden Muhammad Morsi yang didominasi Ikhwanul Muslimin.

Syekh Al-Tayeb sebetulnya menentang Ikhwanul Muslimin yang mengeksploitasi Islam menjadi alat politik. Namun, ia berhasil mempertemukan kedua pihak untuk duduk bersama walaupun dialognya tak membuahkan hasil.

Dia juga merupakan sosok yang mendukung Islam tradisional. Sikap ini tercermin saat Presiden Abdel Fattah El Sisi menyerukan revolusi agama dan memperbarui wacana Islam. Namun, Al Azhar menanggapi seruan itu dengan samar-samar.

Al-Tayeb memiliki nasab yang tersambung ke Rasulullah melalui Hasan bin Abi Thalib.

Sejak sekolah dasar, Al-Tayeb sudah mengenyam pendidikan di Al Azhar. Dia menamatkan program studi Akidah Filsafat di Fakultas Ushuluddin. Pada 1977, Al-Tayeb meraih gelar doktor di program studi tersebut dan diangkat menjadi dosen tetap Al Azhar.[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy