Lhokseumawe – Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Provinsi Aceh menggelar Diskusi Arah Penegakan Hukum Pemilu Pasca-Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memisahkan kembali pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029.
Diskusi berlangsung di Kantor Panwaslih Kota Lhokseumawe, Jumat, 31 Oktober 2025, itu menampilkan dua akademisi Universitas Malikussaleh (Unimal) sebagai narasumber. Yakni, Doktor Yusrizal (Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum) dan Doktor Teuku Kemal Fasya (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik).
Adapun peserta diskusi sejumlah aktivis perempuan, advokat, pegiat politik, aktivis LSM, dan jurnalis.
Baca juga: Dosen USK: Kritik Penyelenggaraan Pemilu Mesti Selalu Dilakukan
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data dan Informasi Panwaslih Aceh, Safwani saat membuka diskusi menyampaikan putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 berimplikasi terhadap aspek penegakan hukum pemilu.
“Tidak hanya berdampak pada aspek teknis pelaksanaan, tetapi juga berdampak pada desain sistem pengawasan dan penanganan pelanggaran serta penegakan hukum pemilu,” ujarnya.
Dalam konteks Aceh, jika melihat pelaksanaan Pilkada 2024 masih ada “PR” besar terkait dualisme kelembagaan pengawas pemilu. Yaitu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Pemilu dan lembaga pengawas berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). “Yang secara yuridis akan berdampak terhadap pelaksanaan putusan MK khususnya berkaitan dengan penegakan hukum pemilu, jika undang-undang a quo tidak direvisi”.
Menurut Safwani, diskusi ini untuk menganalisa dampak putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal dari perspektif penegakan hukum pemilu. Lalu, mengidentifikasi implikasi hukum terhadap sistem pengawasan, penanganan pelanggaran, dan tindak pidana pemilu.
“Dan memberikan rekomendasi strategis untuk penyusunan perbaikan regulasi ke depan”.
Baca juga: Pengamat: Putusan Pemisahan Pemilu Berdampak Terhadap UUPA
Dualisme Kelembagaan Pengawas
Yusrizal dalam materinya tentang Kelembagaan Pengawas Pemilu di Aceh dalam Konteks Kekhususan Aceh Pasca-Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, menyebut putusan ini memiliki dampak besar terhadap tata kelola pemilu, skema desentralisasi kekuasaan, dan implikasi serius pada penegakan hukum pemilu.
Bagi Aceh, putusan MK tersebut dinilai menimbulkan tantangan khusus. Di mana Aceh memiliki kekhususan otonomi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau UUPA.
Yusrizal juga menyoroti dualisme kelembagaan pengawas pemilu di Aceh, yakni Bawaslu dan pengawas berdasarkan UUPA.
Menurutnya, jika menganalisis dengan metode SWOT terhadap dualisme kelembagaan pengawas pemilu itu, maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan Bawaslu memiliki struktur secara nasional yang terintegrasi, pengalaman panjang, dan sumber daya manusia (SDM) terlatih.
Adapun kelemahan dari dualisme tersebut ialah tumpang tindih kewenangan, potensi konflik regulasi, dan kebingungan implementasi di lapangan.
Peluang integrasi, menurut Yusrizal, harmonisasi regulasi, sinergi kelembagaan, dan penguatan penegakan hukum pemilu di Aceh. Sedangkan tantangan regulasi adalah perbedaan mandat hukum, kompleksitas kekhususan Aceh, dan kebutuhan revisi UU yang komprehensif.
Mandat Hukum
Yusrizal menjelaskan UU Pemilu No. 7/2017 memberikan mandat pembentukan Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu nasional dan daerah. Sedangkan UUPA memberikan mandat pembentukan lembaga pengawas pemilu khusus untuk pemilu gubernur, bupati/wali kota, dan DPRD Aceh.
“Konflik Yuridis: Potensi benturan kewenangan antara Bawaslu dan lembaga pengawas berdasarkan UUPA. Kebutuhan harmonisasi: Urgensi revisi UU untuk mengakomodasi kekhususan Aceh dalam sistem pengawasan pemilu”.
Implikasi Terhadap Penegakan Hukum
Lebih lanjut Yusrizal mengungkapkan dampak terhadap penegakan hukum pemilu dalam konteks kekhususan Aceh. Penegakan administratif: ketidakjelasan kewenangan dalam menindak pelanggaran administratif pemilu.
Adapun penegakan etik: dualisme standar etik dan prosedur penindakan terhadap pelanggaran etik. Penegakan pidana: kompleksitas koordinasi dalam penanganan pelanggaran pidana pemilu.
Yusrizal juga menyampaikan tantangan integrasi sistem pengawasan. “Fragmentasi regulasi: perlu integrasi regulasi antara UU Pemilu dan UUPA untuk menghindari konflik yuridis. Sinergi kelembagaan: membangun mekanisme koordinasi efektif antara Bawaslu dan lembaga pengawas berdasarkan UUPA”.
Harmonisasi Kelembagaan
Yusrizal menyebut pentingnya revisi undang-undang secara komprehensif. Yakni, revisi UU Pemilu dan UUPA untuk mengakomodasi kekhususan Aceh secara integratif.
“Harmonisasi regulasi: Penyusunan peraturan turunan yang mengintegrasikan mandat Bawaslu dan lembaga pengawas [berdasarkan] UUPA”.
Selain itu, untuk penguatan kapasitas diperlukan pelatihan dan sertifikasi bagi aparat penegak hukum pemilu di tingkat nasional dan lokal.
“Evaluasi berkelanjutan: Mekanisme evaluasi periodik efektivitas sistem pengawasan pemilu di Aceh”.
Rekomendasi Kebijakan Strategis
Yusrizal menekankan pentingnya mendorong kebijakan strategis yang mengintegrasikan kekhususan Aceh dalam sistem pengawasan pemilu nasional secara harmonis.
“Revisi regulasi: revisi UU Pemilu untuk mengakomodasi UUPA, penyusunan peraturan integratif, dan harmonisasi kewenangan lembaga”.
Menurut Yusrizal, untuk penguatan SDM harus dilaksanakan pelatihan komprehensif bagi aparat, sertifikasi profesi pengawas, dan peningkatan kapasitas teknis.
Adapun mekanisme koordinasi dengan membangun forum koordinasi permanen antara Bawaslu dan lembaga pengawas berdasarkan UUPA.
Lalu, evaluasi efektivitas melalui sistem monitoring dan evaluasi berkelanjutan terhadap kinerja pengawasan pemilu.
Terakhir, Yusrizal merekomendasikan jaminan perlindungan hukum bagi aparat penegak hukum pemilu di Aceh.
Revisi UUPA Belum Sentuh Pengawasan Pemilu
Informasi diperoleh Yusrizal, saat ini revisi UUPA belum menyentuh terkait pengawasan pemilu di Aceh. Jika ini tidak dimasukkan dan diharmonisasikan pembahasannya dengan UU Pemilu, kata dia, dikhawatir konflik regulasi pelaksanaan pemilu di Aceh akan kembali terjadi.
“Kita harapkan kepada anggota Forbes [DPR dan DPD RI] asal Aceh dapat memerhatikan hal tersebut,” ujar Yusrizal.
Baca juga: Ragam ‘Kegelisahan’ Parpol Usai MK Putuskan Pemilu-Pilkada Dipisah
Penguatan Lembaga Pengawas
Sementara itu, Teuku Kemal Fasya menilai implikasi terkait putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, antara lain pemisahan pemilu dan pemilukada tidak membedakan peran badan pengawasnya. “Aspek ‘lex specialis’ dalam UUPA harus diselesaikan karena problem multiplikasi kelembagaan dan problem efisiensi dan efektivitas”.
Lalu, memerhatikan eksistensi Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), perbaikan cara kerja pengawas, serta konsistensi hukum acara dan penyederhanaan sistem.
Menurul Kemal, penguatan lembaga pengawas pemilu memerlukan pemikiran dari academic community (komunitas akademik), praktisi pemilu, dan gen-Z. “Hindari peran partai politik dan DPR dalam memengaruhi pembonsaian Bawaslu”.
Diskusi tersebut diwarnai sejumlah pertanyaan dari peserta mengenai implikasi putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 terhadap penegakan hukum pemilu di Aceh ke depan. Selain itu, peserta juga menyoroti revisi UUPA yang dikabarkan belum menyentuh aspek pengawasan pemilu.[]


Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy