Cakra Donya: Lonceng Bersejarah Bukti Diplomasi Sultan Pasai dan Dinasti Ming

Lonceng Cakra Donya di Museum Aceh. Foto: Wikipedia
Lonceng Cakra Donya di Museum Aceh. Foto: Wikipedia

Jika berkunjung ke Museum Aceh di Jalan Sultan Mahmudsyah Nomor 10, Peuniti, Kecamatan. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, akan terlihat sebuah lonceng jembar di muka museum. Lonceng ini diberi nama Cakra Donya.

Dikutip dari laman resmi Museum Aceh, ‘Cakra’ adalah kata dari bahasa Sansekerta yang berarti roda atau lingkaran, yang ada hubungannya dengan Hinduisme. Sementara ‘Donya’ adalah kata dalam bahasa Aceh yang berarti dunia.

Lonceng Cakra Donya di Museum Aceh, Banda Aceh, merupakan salah satu peninggalan sejarah yang menggambarkan hubungan harmonis antara Kesultanan Samudra Pasai dan Dinasti Ming di Tiongkok.

Menurut catatan sejarah, lonceng ini merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho kepada Sultan Pasai saat ia mengadakan ekspedisi yang membawanya ke Tanah Rencong.

Laksamana Cheng Ho, seorang muslim yang taat, memberikan lonceng tersebut sebagai simbol harmonisasi antara Kesultanan Pasai dan Dinasti Ming. Sekaligus untuk menunjukkan betapa kuatnya hubungan diplomatik dan kebudayaan antara kedua kerajaan pada masa itu.

Ketika Pasai berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, Cakra Donya dibawa oleh Sultan Ali Mughayatsyah ke Banda Aceh. Lalu, ditempatkan di kapal perang Aceh bernama Cakra Donya semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17.

Awalnya, lonceng ini digunakan sebagai alat pemanggil jika terjadi keadaan darurat di laut. Namun, ketika kapal perang tersebut dirampas oleh Portugis, lonceng ini sempat berpindah tangan sebelum akhirnya dikembalikan ke Kesultanan Aceh.

Setelah dikembalikan, lonceng ini ditempatkan di kompleks Istana Darud Dunia di sudut kanan Masjid Raya Baiturrahman. Fungsinya kemudian berubah menjadi penanda azan salat dan waktu berbuka puasa. Tak hanya itu, Cakra Donya juga digunakan sebagai penanda berkumpul untuk mendengarkan maklumat Sultan.

Pada abad ke-19, lonceng Cakra Donya digantung di bawah pohon di depan kantor regional Belanda Kutaraja. Pada Desember 1915, lonceng ini kemudian menjadi bagian dari koleksi Museum Aceh. Di bawahnya, terdapat sebuah monumen yang menjelaskan asal usul lonceng yang pernah dirampas oleh Portugis ini.

Saat ini, lonceng yang sudah mulai karatan itu, menggantung di dalam bangunan kecil depan Museum Aceh. Cakra Donya merupakan lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina tahun 1409 Masehi (ada juga yang menyebutkan pendapat tahun 1469).

Cakra Donya memiliki tinggi 125 centimeter dan lebar sekitar 75 centimeter. Di sisi luar lonceng ada inskripsi huruf Arab yang tidak terbaca lagi. Sementara yang dalam huruf Cina berbunyi “Sing Fat Niat Toeng Juu Kat Yat Tjo (Sultan Ling Tang yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5)”.[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy