Opini

Aliansi Penghancur di Balik Banjir Lumpur Aceh

Batang kayu menumpuk pascabanjir Aceh Tamiang
Seorang bocah berjalan meniti kayu-kayu yang memenuhi area Pondok Pesantren Darul Mukhlishin pascabanjir bandang di Desa Tanjung Karang, Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Jumat, 5 Desember 2025. Foto: ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso

Oleh Nazaruddin, Dosen Kebijakan Publik dan Pemerhati Masalah Kebijakan

Banjir bandang berlumpur yang menyapu Aceh dari hulu ke hilir bukanlah “musibah alam”. Itu adalah pembunuhan terencana yang dilakukan secara struktural, sebuah kejahatan terinstitusionalisasi antara negara dan korporasi (state-corporate crime) yang disahkan oleh pembajakan regulasi untuk kepentingan swasta (regulatory capture).

Pernyataan Walhi Aceh bahwa “bencana ekologis yang diproduksi oleh kebijakan”, menurut saya bukan metafora, melainkan diagnosis yang tepat dari sebuah kegagalan kebijakan (policy failure) yang sistematis. Negara melalui tangan besinya yang korup, telah memberikan izin legal sebagai pemberi izin (license issuer) untuk menusuk jantung pertahanan ekologis Aceh.

Ketika hutan digunduli, sungai dikeruk, dan bukit dibelah baik untuk tambang resmi maupun Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang 99% beroperasi di Daerah Aliran Sungai, maka bencana itu hanyalah soal waktu belaka. Waktu itu kini tiba, dibayar dengan 456 nyawa di Aceh dan total 1.068 jiwa melayang di Sumatra. Setiap nyawa itu adalah efek balik kebijakan (policy feedback) paling kelam, sebuah tuntutan yang menuntut pertanggungjawaban politik mutlak.

Di balik setiap kubik lumpur yang mengubur rumah warga, ada nama dan nomor izin yang menjadi bukti kesepakatan politik terselubung (political settlement) antara elite penguasa dan pemodal. Aceh dicekik oleh empat industri ekstraktif sekaligus: sawit, HPH, HTI, dan tambang.

Tubuh provinsi ini dibebani 31 izin pertambangan legal seluas 156.741 hektare, belum termasuk PETI yang menggurita. Bahkan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang suci, mayoritas PETI beroperasi dengan komoditas emas. Lebih memuakkan, ada empat izin konsesi kehutanan yang menguasai 207.177 hektare. Satu di antaranya, PT Tusam Hutani Lestari, terafiliasi langsung dengan Prabowo Subianto dan lolos dari pencabutan izin massal pada 2022.

Sementara itu, perusahaan seperti PT Aceh Nusa Indrapuri justru mendapat izin baru dengan konsesi yang membengkak. Ini bukan kebetulan. Ini adalah pelapisan kebijakan (policy layering) yang disengaja: menumpuk kebijakan dan izin baru di atas kerusakan lama tanpa pernah menyelesaikan akar masalah. UU Cipta Kerja dengan pasal pemutihan (amnesti) lingkungannya adalah alat legalisasi kejahatan (legalization of crime) yang sempurna, mengubah pelanggaran struktural menjadi sekadar administrasi yang harus dimaafkan.

Apa artinya semua izin ini ketika hasilnya adalah 8.906 hektare tutupan hutan yang raib hanya dalam setahun? Ini adalah keusangan terencana (planned obsolescence) bagi sebuah ekosistem, di mana kehancuran sudah dianggarkan dalam neraca keuntungan perusahaan.

[Nazaruddin, Dosen Kebijakan Publik dan Pemerhati Masalah Kebijakan. Foto: Istimewa]

Maka, inilah saatnya untuk berhenti berdiplomasi dan memberi ultimatum yang lahir dari kesadaran akan kebuntuan institusional (deadlock institution) yang tak bisa lagi diperbaiki. Kepada seluruh perusahaan pemegang izin, pilihan hanya dua: Keluar dengan segera dan tanggung jawab penuh. Hentikan operasi. Serahkan kembali konsesi yang kalian jarah.

Dan yang utama: danai rehabilitasi total lahan yang kalian rusak. Gunakan seluruh keuntungan yang telah kalian kuras dari perut Aceh untuk memulihkan DAS, menanam kembali setiap pohon yang kalian tebang, dan membayar reparasi ekologis serta sosial kepada korban. Konsep pencemar membayar (polluter pays) harus dijalankan hingga ke ujung tuntutan hukum. Pencabutan izin massal bukan hanya mungkin, tapi merupakan aksi pembongkaran kebijakan (policy dismantling) yang wajib hukum dan moral.

Atau pilihan kedua: Bertransformasi total menjadi entitas pemulih, bukan penghancur. Ini berarti mengubur model bisnis ekstraktif selamanya. Harus beralih fungsi menjadi “kontraktor pemulihan ekosistem.” Alihkan seluruh teknologi, modal, dan SDM untuk restorasi hutan, regenerasi tanah, dan membangun ekonomi sirkular berbasis masyarakat. Setiap rupiah keuntungan harus terukur kontribusinya pada peningkatan daya dukung lingkungan Aceh.

Jika tidak mampu, pilih yang pertama: pergi! Tidak ada pilihan ketiga untuk terus bersembunyi di balik legitimasi politik (political legitimization) dari izin, CSR palsu, dan retorika “kontribusi kepada daerah”. Kontribusi nyata kalian sudah terbukti: kerugian triliunan rupiah, puluhan ribu keluarga mengungsi, dan genangan lumpur sebagai nisan bagi kedaulatan ekologis Aceh.

Kepada pemerintah pusat dan daerah, permainan penjagaan akses (gatekeeping) dan pencarian arena kebijakan yang menguntungkan (venue shopping) kalian sudah terbongkar. Komisi IV DPR yang membentuk Panja Alih Fungsi Lahan Pascabencana adalah bentuk politik simbolik (symbolic politics) dan dramaturgi kebijakan (policy dramaturgy), pahlawan kesiangan yang justru bagian dari masalah. Sistem pemajakan yang menyebabkan triliunan rupiah dari kekayaan Aceh mengalir ke Jakarta, sementara beban ekologis ditinggal di daerah, adalah bentuk kolonialisme fiskal modern yang dijalankan melalui perseteruan antarpemerintah (intergovernmental feud).

Pemerintah Aceh harus memilih: menjadi pelayan setia Jakarta dan korporasi dalam korupsi koalisi (coalitional corruption), atau menjadi benteng terakhir rakyat dan Tanah Rencong. Pencabutan izin, penuntutan pidana korporasi, dan moratorium total izin baru adalah harga mati minimal yang harus dilakukan mulai detik ini, sebuah kebijakan korektif (corrective policy) yang tak bisa ditawar.

Aceh sedang sekarat di ranjang rumah sakitnya sendiri, sementara para korporasi dan politisi terus memasang selang untuk menguras darah terakhirnya. Darah itu bernama kayu, emas, minyak, dan sawit. Ultimatum ini adalah perintah untuk mencabut semua selang itu. Pulihkan Aceh, atau menghilang dari tanahnya. Tidak ada lagi waktu untuk ragu.

Setiap detik penundaan adalah kelembaman kebijakan (policy inertia) yang membunuh, sebuah pengkhianatan baru terhadap anak cucu yang akan mewarisi lumpur dan air mata sebagai satu-satunya warisan (legacy) dari generasi kita yang rakus.[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy