Oleh: Ir. Marzuki, S.T., M.T., Pegiat Gampong, dan Ketua Yayasan Bina Generasi Samudera
Sebuah ironi besar terus menghantui Aceh. Setelah menerima lebih dari 100 triliun rupiah Dana Otonomi Khusus (Otsus) sejak 2008, kita masih terjebak dalam labirin kemiskinan. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025, menunjukkan angka kemiskinan kita masih bertengger di 14,05%, menempatkan Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatera, dan salah satu yang termiskin secara nasional. Ini bukan lagi sekadar angka, ini adalah vonis atas kegagalan model pembangunan kita selama ini.
Paradoksnya jelas: dana melimpah, kesejahteraan tak kunjung tiba. Kesalahan fatal kita terletak pada cara kita memandang Dana Otsus. Kita memperlakukannya sebagai pendapatan rutin tahunan yang harus dihabiskan melalui APBA, bukan sebagai modal strategis yang harus diinvestasikan untuk menciptakan sumber kekayaan baru. Akibatnya, kita terjebak dalam siklus “gali lubang, tutup lubang”—setiap tahun kita membiayai program-program yang dampaknya seringkali bersifat sementara, tanpa membangun mesin ekonomi yang mampu berjalan mandiri.
Perekonomian Aceh sangat bergantung pada sektor primer (pertanian dan perikanan) dan belanja pemerintah. Ketika transfer dari pusat seret atau harga komoditas anjlok, ekonomi kita langsung goyah. Kita gagal melakukan hilirisasi, gagal membangun industri bernilai tambah, dan gagal menciptakan lapangan kerja berkualitas. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Aceh yang masih di atas rata-rata nasional adalah bukti nyata dari kegagalan ini.
Waktu kita hampir habis. Aliran Dana Otsus akan berakhir. Jika kita tidak melakukan perubahan fundamental sekarang, kita akan mewariskan sebuah provinsi yang miskin, tanpa fondasi ekonomi, dan terus bergantung pada belas kasihan pusat. Ini saatnya berhenti menambal perahu yang bocor dan mulai membangun sebuah kapal induk ekonomi yang tangguh. Solusinya adalah poros strategis yang radikal dengan mengubah total paradigma dari belanja konsumtif menjadi investasi produktif. Visi ini ditopang oleh dua pilar yang saling menguatkan, yaitu: pendirian Otoritas Investasi Aceh (Aceh Investment Authority – AIA) dan transformasi Sabang menjadi Pusat Keuangan Internasional Sabang (Sabang International Financial Centre – SIFC).
Otoritas Investasi Aceh (AIA) – Mesin Pelipat Ganda Kekayaan
Bayangkan jika 30-40% dari sisa Dana Otsus setiap tahun tidak lagi masuk ke dalam pembahasan APBA yang penuh kepentingan politik jangka pendek. Bayangkan jika dana tersebut secara otomatis disuntikkan ke dalam sebuah lembaga pengelola dana abadi (sovereign wealth fund) regional yang dikelola oleh para profesional investasi kelas dunia. Inilah esensi dari Otoritas Investasi Aceh (AIA).
Tujuan AIA bukanlah untuk membiayai proyek-proyek kecil atau program bantuan sosial, itu tetap tugas APBA. Mandat AIA jauh lebih besar yakni mengubah dana Otsus yang fana menjadi kekayaan yang abadi. AIA akan beroperasi dengan dua mandat utama:
1. Mandat Finansial: Menginvestasikan modalnya di pasar global untuk mendapatkan imbal hasil optimal, memastikan nilai asetnya terus bertumbuh melampaui inflasi. Tujuannya adalah menciptakan “dana abadi” yang keuntungannya dapat dimanfaatkan oleh generasi Aceh di masa depan, bahkan setelah Otsus berhenti.
2. Mandat Pembangunan: Bertindak sebagai katalis untuk menarik investasi raksasa ke Aceh. Dengan modal yang dimilikinya, AIA akan menjadi mitra strategis bagi investor global. Misalnya, untuk membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi di Seulawah atau mengembangkan industri hilirisasi perikanan modern di Lampulo, AIA akan menyediakan sebagian modal dan melakukan uji tuntas profesional. Kehadiran AIA sebagai investor jangkar akan mengurangi risiko bagi investor lain dan memungkinkan proyek-proyek yang sebelumnya dianggap tidak layak menjadi kenyataan.
Kunci keberhasilan AIA adalah independensi mutlak dari intervensi politik. Lembaga ini harus didirikan sebagai badan hukum sui generis melalui amandemen Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Struktur tata kelolanya harus meniru praktik terbaik global: sebuah Dewan Pengawas yang diisi tokoh publik kredibel bertugas menetapkan arah kebijakan makro. Sementara keputusan investasi sepenuhnya berada di tangan Dewan Direksi yang diisi oleh para profesional murni, yang direkrut secara transparan dari seluruh dunia. Politisi dilarang keras ikut campur dalam operasional investasi. Ini bukan BUMD versi baru, ini adalah penjaga amanah kekayaan rakyat Aceh lintas generasi.
SIFC – Gerbang Aceh Menuju Panggung Dunia
Jika AIA adalah mesin pengumpul modal, maka Pusat Keuangan Internasional Sabang (SIFC) adalah gerbang tol yang menghubungkan Aceh dengan arus modal global. Visi ini bukanlah untuk menciptakan surga pajak gelap, melainkan sebuah pusat keuangan mid-shore yang kredibel dan teregulasi dengan baik, seperti Labuan di Malaysia atau Dubai International Financial Centre (DIFC).
Sabang memiliki lokasi geostrategis yang tak ternilai di mulut Selat Malaka. Namun, lokasi saja tidak cukup. Untuk menarik modal triliunan dolar, kita harus menawarkan sesuatu yang paling dicari investor global, yaitu kepastian hukum.
Langkah paling fundamental adalah menetapkan Sabang sebagai Kawasan Khusus Keuangan di bawah UUPA, di mana sistem hukum untuk urusan komersial dan perdata mengadopsi Common Law—sistem hukum yang menjadi standar dalam dunia keuangan internasional. Di dalam “gelembung hukum” ini, akan didirikan pengadilan komersial independen yang diisi oleh hakim-hakim internasional bereputasi. Ini akan memberikan kenyamanan dan keamanan bagi investor, bank, dan perusahaan multinasional untuk menjadikan Sabang sebagai basis operasional mereka.
Didukung oleh rezim pajak yang kompetitif dan sederhana, SIFC akan menjadi platform ideal bagi perusahaan global. Namun, untuk menjaga reputasi, SIFC akan menerapkan standar anti-pencucian uang (AML) dan pencegahan pendanaan terorisme (CFT) yang paling ketat, bekerja sama erat dengan PPATK. Kita tidak ingin uang haram, kita ingin modal produktif yang sah.
Sinergi antara AIA dan SIFC akan menjadi pengubah permainan. AIA akan menjadi klien pertama dan utama (anchor tenant) bagi SIFC, memberikan kredibilitas instan di mata dunia. Sebaliknya, SIFC menyediakan platform hukum dan keuangan kelas dunia yang memungkinkan AIA untuk bermitra dengan investor global secara efisien. Siklus ini akan menciptakan ekosistem finansial yang canggih di Aceh, melahirkan ribuan lapangan kerja berkualitas tinggi di bidang hukum, keuangan, dan akuntansi, sektor yang selama ini hanya bisa kita impikan.
Amandemen UUPA Adalah Kunci
Visi besar ini akan runtuh tanpa fondasi hukum yang kokoh. Langkah pertama yang tidak bisa ditawar adalah amandemen UUPA. Amandemen ini diperlukan untuk memberikan landasan hukum bagi pendirian AIA sebagai entitas independen, mengatur mekanisme penyaluran dana Otsus secara otomatis, dan menetapkan status Sabang sebagai Kawasan Khusus Keuangan dengan sistem hukumnya sendiri.
Ini bukan tentang mengubah semangat UUPA, tetapi justru menyempurnakannya. UUPA memberikan Aceh kewenangan khusus; sekarang saatnya kita menggunakan kewenangan itu untuk menciptakan instrumen kemandirian ekonomi yang modern dan berkelanjutan.
Pilihan ada di tangan para pemimpin dan seluruh rakyat Aceh hari ini. Apakah kita akan terus melanjutkan jalan yang sama, menghabiskan sisa waktu dan dana Otsus dalam model pembangunan yang terbukti gagal, dan pasrah pada masa depan yang tidak pasti? Ataukah kita berani mengambil lompatan visioner, mengubah kutukan ketergantungan menjadi berkat kedaulatan finansial?
Membangun AIA dan SIFC adalah jalan terjal, namun ini adalah satu-satunya jalan keluar dari paradoks kemiskinan yang memalukan ini. Ini adalah cara kita untuk memastikan bahwa Otsus tidak hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah, tetapi menjadi fondasi dari sebuah warisan kemakmuran abadi untuk generasi Aceh yang akan datang.[]
Catatan: Marzuki telah menyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang RI tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebagai naskah sandingan untuk kepentingan kajian dan pembahasan publik. Baca: Naskah Akademik RUU Perubahan UUPA Versi Marzuki


Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy