Saat menjadi Khalifah, Umar bin Khattab dikenal sebagai sosok pemimpin yang adil dan tegas serta memiliki kasih sayang yang mendalam terhadap rakyatnya. Selain itu, Umar juga memiliki integritas dan bersikap terbuka terhadap saran, nasihat, bahkan kritik dari siapa pun.
Suatu hari, Umar bertemu seorang perempuan bernama Khaulah binti Hakim. Hal ini dikisahkan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Al-Ishabah fi Tamyizis Shaḫabah.
Saat itu, Umar keluar dari masjid bersama Aljarud Al-Abdi. Di tengah jalan, tiba-tiba keduanya bertemu Khaulah. Umar pun menyapa wanita itu dan mengucapkan salam yang kemudian dibalas dengan tenang oleh Khaulah itu.
Setelah memperhatikan pria yang berdiri di hadapannya, Khaulah menyadari bahwa sosok itu adalah Umar bin Khattab, seorang Amirul Mu’minin. Dengan nada penuh keyakinan, Khaulah pun berkata: “Wahai Umar, dulu aku mengenalmu ketika kamu masih dipanggil Umair di Pasar Ukazh. Saat itu kamu menakut-nakuti anak kecil dengan tongkatmu. Waktu pun berlalu hingga saat ini kamu dipanggil Umar dan menjadi seorang Amirul Mukminin.”
Umar terdiam dan memberikan kesempatan kepada wanita itu untuk melanjutkan perkataannya.
“Maka bertakwalah kepada Allah dalam mengurus rakyatmu, wahai Umar. Ketahuilah, siapa saja yang takut pada ancaman Allah, dia akan merasakan sesuatu yang jauh menjadi terasa dekat. Siapa saja yang takut pada kematian, dia akan takut kehilangan kesempatan,” ujar Khaulah.
Melihat wanita tersebut terus berbicara, Aljarud yang ada di samping Umar merasa tak tahan dan mencoba menegurnya.
“Wahai wanita, kamu telah berbicara terlalu banyak kepada Amirul Mukminin,” tegas Aljarud.
Namun, Umar meminta Aljarud untuk diam dan tidak bersikap kasar pada wanita tersebut.
“Biarkan saja, apakah kamu tidak mengenalnya? Dia adalah Khaulah binti Hakim, ucapan wanita ini didengar oleh Allah. Demi Allah, seorang Umar lebih berhak mendengar ucapannya,” tegas Umar pada Aljarud.
Khaulah binti Hakim memang bukan wanita sembarangan. Ia dikenal sebagai perempuan sahabat atau shahabiyah yang termasuk dalam generasi-generasi awal memeluk Islam.
Khaulah pula yang menjadi perantara di balik pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan ‘Aisyah binti Abu Bakar dan Saudah binti Zam’ah.
Kisah Umar dinasihati Khaulah bisa memberi pelajaran tentang hubungan antara pemimpin dengan rakyatnya. Idealnya, seorang pemimpin bisa memiliki kerendahan hati sehingga bisa mendengarkan nasihat, saran, atau pun kritik dari siapa pun, termasuk dari rakyatnya.
Sikap ini tidak hanya mencerminkan kebesaran jiwa seorang pemimpin, tetapi juga bisa menjadi langkah penting untuk terus memperbaiki diri dan memastikan bahwa kebijakan yang diputuskan dapat memberi manfaat kepada masyarakat.
Seorang pemimpin juga perlu mengingat bahwa semua yang ada di dunia ini, termasuk jabatan, hanya bersifat sementara, sebagaimana diingatkan oleh wanita bijak dalam kisah ini.
Untuk itu, mestinya seorang pemimpin bisa memanfaatkan waktu, pikiran, dan tenaganya dengan sebaik mungkin, sehingga tindakannya tidak hanya membawa manfaat bagi masyarakat, tetapi juga bisa menjadi bekal untuk kehidupan di akhirat.
Selain itu, kisah tersebut juga menggambarkan tentang pentingnya peran masyarakat dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan kepada pemimpinnya.
Partisipasi masyarakat tidak hanya membantu pemimpin memperbaiki diri dan memberikan kemasalahatan kepada bangsa dan negara, tetapi juga menjadi wujud pengamalan nilai-nilai agama, yaitu menjalankan perintah untuk saling menasihati dalam kebenaran (wa tawâshau bil-ḫaqqi), sebagaimana yang tercantum dalam surah Al-Ashr.[]


Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy