Rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang ditopang tiang-tiang setinggi 2,5 hingga 3 meter. Rumah tradisional ini memiliki arsitektur indah di tiga bagian utamanya.
Tiga bagian utama dari rumoh Aceh adalah seuramoe keue (serambi depan), seuramoe teungoh (serambi tengah) dan seuramoe likot (serambi belakang). Ada juga satu bagian tambahannya adalah dapur atau disebut juga rumoh dapu.
Serambi depan berfungsi sebagai ruang tamu laki-laki, ruang belajar mengaji anak laki-laki, serta tempat tidur laki-laki. Ketika ada acara seperti upacara perkawinan, serambi depan ini berfungsi sebagai tempat jamuan makan bersama.
Sementara serambi tengah sebagai inti dari Rumoh Aceh, disebut juga rumoh inong atau rumah induk. Di serambi tengah biasanya terdapat dua bilik atau kamar yang berhadapan. Keduanya sebagai tempat tidur keluarga, khususnya anak perempuan yang baru menikah.
Lalu serambi belakang diperuntukkan bagi tamu perempuan dan tempat mengaji anak perempuan dan tempat tidur tamu perempuan. Dengan demikian, dalam Rumoh Aceh segala aktivitas laki-laki dan perempuan akan dipisahkan dan tidak membaur.
Adapun dapur dijadikan sebagaimana dapur pada umumnya dijadikan tempat memasak. Dapur Rumoh Aceh juga memiliki semacam rak penyimpanan bahan makanan yang disebut sandeng.
Membangun Rumoh Aceh tak bisa sembarangan. Dulu, pembangunan Rumoh Aceh dilakukan berdasarkan ketentuan Qanun Meukuta Alam, kitab hukum adat yang dibuat pada masa Sultan Iskandar Muda.
Salah satu ketentuan yang digariskan qanun ini adalah peletakan kain merah dan putih di tiang rumah. Hal sama berlaku untuk pendirian masjid, balai atau meunasah. Kain merah putih yang dibuat khusus saat memulai pekerjaan itu, dililitkan di atas tiang utama yang di sebut tameh raja dan tameh putroe.
Qanun Meukuta Alam juga menyebutkan, Rumoh Aceh dan pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan atau ibunya, yang tidak di-pra-e, atau dibelokkan dari hukum waris. Jika suami meninggal dunia, Rumoh Aceh menjadi milik anak-anak perempuan atau isterinya bila mereka tidak mempunyai anak perempuan. Maka, ada istilah peurumoh yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia, adalah pemilik rumah.

Rumoh Aceh dibangun dengan kayu-kayu pilihan. Tiang penyangga, alas, dan dindingnya dibuat dari kayu. Jumlah tiang bervariasi, mulai dari 16, 24, hingga 31 tiang, tergantung ukuran rumah yang dibangun. Sementara atapnya yang dinamakan bubong, menggunakan daun rumbia.
Di bagian muka rumah, biasanya terdapat ukiran-ukiran, yang secara tak langsung menjadi penanda status sosial. Semakin banyak ukiran maka semakin kaya pemiliknya. Sedangkan untuk pemilik yang sederhana hiasannya relatif sedikit bahkan tidak ada sama sekali.
Rumoh Aceh sengaja dibuat tinggi untuk menghindari gangguan binatang buas dan bencana alam seperti banjir. Selain itu, area bawah rumah didesain sebagai tempat santai atau bekerja, maupun bermain bagi anak-anak. Di beberapa rumah–biasanya orang berada–terdapat jeungki, alat penumbuk kopi, sagu, emping beras, tepung atau bumbu masakan seperti u neulheu alias kelapa gongseng.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy