Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, Ph.D., Dosen Fakultas Syariah UIN SUNA Lhokseumawe
Beberapa waktu lalu salah satu media lokal menurunkan berita tentang realitas LGBTQ di Aceh, tepatnya di Banda Aceh. Ada ragam informasi yang disajikan terkait dengan isu tersebut. Mulai dari maraknya prilaku homoseksual di Banda Aceh, yang diibaratkan seperti fenomena gunung es, hingga meningkatnya lonjakan kasus HIV/AIDS yang didominasi oleh seks bebas sesama lelaki. Prilaku penyimpangan seks ini ternyata tidak hanya terjadi di kalangan anak muda, tetapi diam-diam menjangkiti laki-laki yang yang sudah berumah tangga. Mereka berprilaku ganda, secara terbuka sebagai suami, namun undercover mereka adalah pasangan bagi laki-laki lain. Gaya hidup yang pada akhirnya menghancurkan rumah tangga mereka sendiri.
Keberadaan komunitas ini kini sudah sangat meresahkan banyak pihak, apalagi menurut beberapa sumber, mereka sudah berani terang-terangan, dengan menjadikan kafe, barbershop, dan gym sebagai pangkalan mencari mangsa. Sikap mereka yang sedemikian rupa tentu mengundang banyak tanya dari berbagai pihak, mengapa hal itu bisa terjadi, mengapa ada semacam “pembiaran”, terlebih di daerah yang terkenal dengan penerapan syariat Islam. Dalam perspektif Islam, sebuah maksiat jika dilakukan secara terbuka dan terang-terangan akan berakibat pada “kutukan” yang tidak hanya turun menimpa pelaku, tetapi juga akan berdampak pada orang yang tidak melakukannya.
Kalau ada maksiat atau kemungkaran, Islam mewajibkan kepada yang melihat dan mengetahuinya untuk mencegahnya, tentu melalui beragam cara dan pendekatan, baik dengan tangan, lidah maupun hati. Tiga instrumen ini bisa merepresentasikan pemerintah dalam bentuk regulasi dan kebijakan, atau ulama dan para pendidik dengan nasihat dan wejangannya, serta masyarakat pada umumnya. Andai tiga hal ini aktif bergerak dan amar ma’ruf tegak dalam masyarakat, manakala kemaksiatan tetap ada, maka akibat hukumnya hanya akan ditanggung oleh pelakunya saja. Ini yang dikisahkan al-Quran (al-Baqarah 65, al-A’raf 163 – 166 dan al-Maidah 60) mengenai masyarakat Yahudi yang melanggar aturan suci hari Sabtu. Mereka dihukum, dengan mengecualikan orang-orang yang konsisten menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Semua umat nabi yang dibinasakan masuk dalam kategori ini, termasuk binasanya penduduk Sodom dengan mengecualikan Luth dan orang beriman bersamanya.
Namun, apabila kemungkaran dan kemaksiatan merajalela, sementara orang-orang membiarkannya begitu saja tanpa ada usaha yang berarti untuk mencegah dan menghilangkannya, setidaknya untuk tidak lagi dilakukan secara terbuka, maka semua akan menanggung akibatnya. Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menghukum (menurunkan azab) kepada orang banyak hanya gara-gara dosa segelintir orang, hinggalah suatu kemaksiatan dilakukan secara terang-terangan tanpa ada yang mencegahnya, sementara mereka mampu mencegahnya. Jika itu terjadi, maka Allah akan menyamaratakan hukuman-Nya, baik kepada pendosa maupun orang biasa” (HR: Ahmad).
Kisah Luth Dalam Al-Quran
Terkait dengan kemaksiatan seks bebas antara sesama jenis (homoseksual) yang kini merebak ke mana-mana, tak terkecuali Aceh, sebenarnya bukan fenomena baru. Prilaku penyimpangan ini sudah ada sejak ribuan tahun silam, yang dipopulerkan pertama sekali oleh masyarakat Sodom (3500 SM). Sebuah perkampungan yang masuk dalam wilayah Laut Mati. Ada pendapat menyebutkan bahwa Laut Mati dengan kondisinya seperti hari ini sebagai wilayah terendah di bumi yang dasarnya mencapai 400 meter di bawah permukaan laut dengan tingkat keasinan 34 persen, atau sembilan kali lebih asin dari Laut Tengah (Mediteranian) merupakan dampak dari azab yang menimpa masyarakat Sodom yang tinggal bersebelahan langsung dengannya. Sodom sendiri yang kemudian menjadi istilah praktik seks menyimpang, baik pada laki-laki maupun perempuan merupakan sebuah kawasan yang terdiri dari sejumlah kampung, salah satu yang terkenal adalah ‘Amurah (Gomora atau Gomorrah).
Tragedi perkampungan Sodom tercatat tidak hanya dalam al-Quran, tetapi telah disebutkan sebelumnya dalam Taurat dan Injil. Al-Quran sendiri mengabadikan peristiwa ini dalam sejumlah surah, seperti al-A’raf, Hud, al-Hijr, al-Anbiya, al-Syu’ara’, al-Naml, al-Ankabut, al-Qamar dan beberapa surah lainnya dengan hanya menyebutkan nabi mereka bernama Luth. Dalam tradisi Islam, nama ini kemudian bertransformasi menjadi dasar untuk istilah aksi penyimpangan itu sendiri, yaitu liwath yang berasal dari kata Luth. Liwath biasanya didefinisikan sebagai perbuatan kaum nabi Luth.
Dalam al-Quran, sejarah kelam bangsa Sodom disejajarkan dengan bangsa-bangsa durhaka lainnya yang juga sama-sama dibinasakan Allah. Mereka adalah kaum nabi Nuh, bangsa ‘Ad kaum nabi Hud, Tsamud kaumnya nabi Shalih, penduduk Madyan kaum nabi Syu’ib atau dikenal dengan Ashabul Aikah, dan keluarga Fir’un beserta bala tentaranya. Beberapa umat yang dibinasakan tersebut musnah akibat dari berbagai penyimpangan dan kemaksiatan yang mereka lakukan. Kisah mereka diulang-ulang dalam sejumlah surah dalam al-Quran seperti dicontohkan di atas sebagai bukti pentingnya membaca dan mengambil pelajaran dari perjalanan hidup mereka.
Pengulangan kisah menjadi salah satu karakteristik al-Quran atau uslubnya yang unik dalam mendakwahkan pesan Ilahi kepada manusia. Bukan semata-mata untuk menghilangkan kejenuhan pembaca sehingga tidak dituntaskan pada satu tempat, tetapi untuk menegaskan tentang peristiwa besar dan penting agar terus diingat, dengan harapan—jika itu buruk—tidak terjadi pengulangan pada mereka dan setelah mereka. Hal itu karena dampak yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut sangat serius, yang dalam kasus kaum Luth dapat mengancam eksistensi kehidupan dan keberlanjutan komunitas manusia di bumi.
Binasanya Kaum Nabi Luth
Dalam al-Quran, perbuatan kaum Luth (liwath) diungkapkan sebagai pemutus rantai kelahiran dan keberlanjutan generasi manusia sebagaimana ditafsirkan oleh Imam Qurtubi dan Baghawi dalam tafsir mereka dari firman Allah, “Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?”, (al-Ankabut: 29). Menyamun pada terjemahan di atas berasal dari firman Allah “wa taqta’uuna al-Sabil”, yang oleh banyak mufassir menerjemahkannya dengan perbuatan mengganggu kenyamanan para musafir dan pengguna jalan. Di mana qat’u al-sabil atau qat’u al-Tariq yang secara bahasa (etimologi) dimaknai sebagai ‘memutuskan jalan” dalam sejumlah literatur dimaknai sebagai perbuatan merampok atau menyamun.
Kedua makna di atas dapat diterima dan tidak bertentangan, baik secara bahasa, maupun konteks ayat. Perbuatan mereka dengan cara mendatangi laki-laki serta meninggalkan cara yang lazim dan normal dianggap sebagai perbuatan memutuskan jalan. Yaitu jalan untuk melanjutkan dan melanggengkan ras manusia, di mana jalan ini hanya bisa ditempuh dengan cara menikahi perempuan. Ayat di atas menurut Imam al-Razi sejalan maknanya dengan firman Allah, “Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, kalian ini benar-benar kaum yang melampaui batas”, (al-A’raf: 81).
Perbuatan mereka telah mengundang murka Allah, dan akhirnya dibinasakan. Alasannya sederhana, mereka melawan kehendak Allah pada hamba-Nya (sunnatullah fil khalq), yaitu menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai pemakmur bumi. Allah berfirman, “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya”, (Hud: 61). Di ayat lain Allah menyeru manusia dengan firman-Nya, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”, (al-Nisa’: 1).
Bukan hanya soal menentang kehendak Tuhan yang pada hakikatnya adalah menentang Tuhan itu sendiri, di sisi lain perbuatan tersebut dipandang sebagai sesuatu yang buruk dan menjijikkan. Al-Quran menyebutnya dengan ungkapan “fahisyah”. Dalam al-Quran kalimat ini merepresentasikan semua perbuatan buruk dan prilaku menyimpang dari seseorang, seperti perbuatan mengubah aturan Allah (al-A’raf: 28), berzina (al-Isra’: 32), menikahi ibu tiri (al-Nisa’: 22), dan pratik homoseksual (al-Naml: 54 – 55). Perbuatan ini semua bukan hanya buruk atau menyimpang, tetapi juga menjijikkan dan melawan fitrah, terutama homoseksual.
Sikap dan perbuatan melawan fitrah pada praktik liwath (homoseksual) salah satunya diungkapkan dalam firman Allah, “Dan (ingatlah) ketika Luth berkata pepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu“, (al-Ankabut: 28). Mengomentari ayat ini, sejumlah ulama salaf mengatakan, “Sungguh kita tidak akan pernah tahu, jika ada laki-laki memiliki syahwat dan berhasrat terhadap laki-laki, kecuali dari kisah kaum Luth”.
Menurut sebagian ulama ayat ini juga menjadi alasan kuat kenapa mereka dihukum sedemikian berat hingga dimusnahkan. Karena kalimat “belum pernah dilakukan oleh siapapun sebelum orang-orang terdahulu” menunjukkan adanya kemungkinan bahwa prilaku seks menyimpang ini atau praktik homoseksual sudah ada sebelumnya, tetapi tidak marak dan mewabah sebagaimana di zaman Luth yang dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Demikian penjelasan Imam al-Razi dalam tafsirnya “Mafatuh al-Ghaib”. Hal ini menguatkan apa yang dijelaskan di awal tulisan ini, bahwa salah satu alasan mengapa azab Allah turun dan menimpa orang-orang tak berdosa adalah karena kemungkaran dan kemaksiatan sudah dilakukan secara terbuka dan terang-terangan.
Dalam perspektif adab, bermaksiat secara terbuka dan diketahui oleh khalayak ramai merupakan bentuk lain dari sikap bangga dengan dosa dan penghinaan kepada Allah SWT yang telah menurunkan aturan halal haram, boleh dan tidak. Hal itu juga menjadi alasan dalam Islam, di mana orang yang tidak merahasiakan dosanya takkan diampuni oleh Allah. Mereka dikenal dengan sebutan “mujahir”. Dalam sebuah hadis nabi bersabda, “Setiap umatku akan diampuni, kecuali para mujahir”, (HR: Bukhari). Semoga saja, fenomena liwath (homoseksual) di Aceh bukan awal dari pengulangan sejarah kelam kaum nabi Luth. Wallahua’lam. []
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy