Washington – Calon presiden dari Partai Republik Donald Trump memenangkan pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS), Selasa, 5 November. Hingga Rabu malam, 6 November 2024, Trump unggul di suara electoral vote dibandingkan rivalnya dari Partai Demokrat, Kamala Harris. Suara elektoral Trump sudah melebihi batas kemenangan 270. Ia mendapatkan 277 suara dibanding Kamala yang hanya 224 suara.
Kemenangan Trump disebut akan memberikan dampak besar bagi ekonomi AS dan juga corak politik globalnya. Trump telah menjanjikan perubahan besar pada kebijakan ekonomi jika terpilih kembali. Di antara usulannya adalah tarif tinggi untuk impor, penghapusan pajak atas tip dan tunjangan Jaminan Sosial, dan pengurangan tarif pajak perusahaan.
Menurut The Time, Trump sedang mempertimbangkan tarif universal antara 10 persen dan 20 persen untuk semua impor, dengan tarif hingga 60 persen untuk barang-barang China. Ia berpendapat tarif ini akan melindungi lapangan kerja Amerika dan mengurangi ketergantungan negara pada impor asing.
Trump juga mengusulkan perpanjangan pemotongan pajak yang disahkan pada 2017, serta pengurangan tarif pajak perusahaan dari 21 persen menjadi 15 persen. Dia mengklaim hal ini akan merangsang pertumbuhan lapangan kerja, terutama bagi usaha kecil.
Namun para ekonom telah memproyeksikan pemotongan pajak Trump dapat meningkatkan utang nasional. Bahkan rencana Trump ini akan menyebabkan utang mencapai US$ 5,8 triliun selama dekade berikutnya.
Selain itu, jika terpilih kembali, Trump telah mengindikasikan bakal memprioritaskan deportasi massal. Ia mengklaim hal ini akan mengurangi harga perumahan dan menaikkan upah bagi pekerja Amerika.
Kampanyenya dengan calon wakil presiden JD Vance mencakup komitmen untuk mengakhiri kewarganegaraan berdasarkan kelahiran bagi anak-anak imigran tidak berdokumen. Usulan ini telah menimbulkan kekhawatiran di antara komunitas imigran dari Amerika Latin dan Asia Selatan.
Terkait kebijakan luar negeri, sikap Trump terhadap NATO tetap menjadi poin penting. Sebelumnya, ia mengkritik aliansi tersebut dan menyarankan pengurangan keterlibatan AS, yang akan mengurangi keamanan kolektif NATO.
Pendekatan Trump sangat kontras dengan pemerintahan Biden, yang telah memberikan dukungan militer dan finansial kepada Ukraina. Trump telah mengisyaratkan adanya potensi perubahan, dengan menyatakan minatnya untuk menekan Ukraina agar mencapai perjanjian damai dengan persyaratan Rusia.
Adapun terkait Palestina, Trump belum banyak bicara di depan umum tentang perang di Gaza. Namun, saat ia menjabat Presiden AS di periode sebelum Biden, Trump menerapkan kebijakan garis keras pro-Israel. Dan, selama kampanye pemilu presiden, Trump dikenal sebagai pendukung Israel dan berjanji mewujudkan perdamaian di Gaza.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Gajah Mada, Dodi Ambardi, menilai Palestina bakal lebih sengsara. “Trump sendiri itu lebih keras pembelaannya, bukan lebih keras perlawanannya, lebih keras pembelaannya terhadap Israel. Dan nanti itu berarti kalau seandainya Trump menang, itu saya kira nasib Palestina itu lebih sengsara.”[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy