Situasi dan kondisi Takengon seabad lalu bisa ditemukan dalam catatan beberapa penulis Belanda. Mulai dari Broersma, Jongejans, Kempees, hingga Zentgraaff.
Keempatnya merekam bagaimana Takengon yang dulunya masih terisolir dari kawasan pantai timur utara Aceh, perlahan-lahan terbuka, seiring pembuatan jalan lintas Bireuen-Takengon.
Melansir artikel Musafir Zaman di laman mapesaaceh.com, jalan sepanjang 103 kilometer itu selesai dibangun pada 1913, sebagai bagian dari misi awal kolonialisme Belanda menundukkan dataran tinggi Gayo pada 1904.
Sejak jalan itu selesai dibangun, perjalanan Bireuen-Takengon hanya memerlukan waktu tiga jam dengan mobil, dan sekitar lima hingga enam jam dengan truk berkapasitas terbatas.
Sebelumnya, orang-orang Gayo mesti melalui medan-medan berat untuk datang ke wilayah pesisir membawa damar, rotan, gambir, tembakau dan debu emas yang ingin mereka tukar dengan garam, linen (kain tenun terbuat dari rami), dan barang-barang lainnya. Barang-barang yang jika diangkut dengan gerobak sapi memerlukan waktu sampai 15 hari untuk tiba di Bireuen.
Setelah jalan itu dibuka, para penulis Belanda datang ke sana untuk merekam keindahan Takengon lewat pena dan lensa kamera mereka.
“Pemandangan di Laut Tawar, danau besar Gayo itu, benar-benar indah!” tulis Kempees dalam laporannya tentang perjalanan Van Daalen ke Gayo, Alas dan Negeri Batak pada 1904.
Ia menyebut danau itu memiliki air biru jernih dengan latar gunung tinggi. Ia melihat dataran luas membentang di antara Bebesen dan Kebayakan, dengan kampung-kampung besar dan kecilnya, dataran sawah yang luas dan bukit-bukit berumput dengan banyak kawanan kuda.
Sementara di ketinggian 767 meter Blang Rakal, Broersma menuliskan, orang-orang dengan senang hati menyambut pengunjung yang singgah sebentar untuk menyampaikan pesan dan bertanya, atau menggunakan telepon. “Anda juga bisa melihat kebun sayur di sana,” catat Broersma dalam bukunya yang terbit Utrecht pada 1925.
Sarjana Belanda itu juga mengagumi pohon-pohon pinus jenis Konifera yang tumbuh di sana. Menurutnya, pohon-pohon pinus itu berulang kali terlihat di Blang Rakal dan lebih jauh ke pedalaman.
Di Kilometer 73, dua puncak dataran tinggi terlihat secara penuh. Di selatan ada Gunung Geureudong yang berketinggian 2.900 meter dan Burni Telong yang berketinggian 2.600 meter.
Di sana, sebuah pemberhentian yang telah dikenal sejak tempo dulu adalah Lampahan. Broersma menceritakan bagaimana orang-orang di Lampahan menikmati minuman dingin atau hangat dari petani kopi, seorang Cina yang perlahan tapi pasti menjadi kaya melalui kedai kopinya dan hubungannya dengan orang-orang yang datang dan pergi.

“Anda akan menemukan gerobak dan hewan penarik Aceh, yang membantu mengoperasikan transportasi antara Bireuen dan Tanah Gayo. Perjalanan bolak-balik antara Bireuen dan Takengon, mereka tempuh sejauh 105 kilometer dalam waktu tidak kurang dari 15 hari. Mereka melakukan perjalanan pada malam hari, dan pada siang hari mereka tinggal di pemberhentian. Waktu bukanlah uang di sini!” tambah Broersma.
Lereng pengunungan di sisi utara dan selatan tampak semakin dekat ketika dataran yang dilalui jalan sudah berada di Kilometer 88. Tiba kemudian di ketinggian 1.485 meter, sebuah lanskap terbuka di Kilometer 95 menyajikan pemandangan danau dan sekitarnya yang 260 meter lebih rendah.
Menuruni jalan landai ke arah di mana danau biru membentang tanpa gerak di tengah-tengah pegunungan, seseorang bisa terperangkap dalam pesona taman-taman kecil di pinggir jalan yang ditumbuhi ragam bunga.
Jalan itu kemudian berhenti di tengah kampung kecil, di bawah pohon lokop. “Sebuah pohon kerajaan yang asli Tanah Gayo, dengan batangnya yang keras dan mahkotanya yang lebat. Sebuah pohon untuk menghormati rakyat,” tulis Broersma.
Van Daalen awalnya membangun jalan itu untuk keperluan militer Belanda pada awalnya. Tapi kemudian misinya bertambah yakni mengakhiri perlawanan Muslimin di dataran tinggi Gayo terhadap Pemerintah Belanda pada 1901 dan 1904.
“Ketika Komandan Van Daalen dan 200 prajuritnya menggambarkan garis besi dan darah di sepanjang negeri ini, mulai Laut Tawar sampai ujung Gayo Lues,” tulis Zentgraaff.
Kendati demikian, jalan itu juga telah menciptakan kondisi yang menguntungkan setelah menjadi lintasan untuk umum. Tanah Gayo semakin memperoleh tempatnya dalam perhatian banyak orang di dunia. Kemegahan alamnya dapat disaksikan oleh banyak mata. Kejeniusan budaya dan peradaban masyarakat penghuninya terakui dan telah didudukkan bersejajar dengan budaya dan peradaban bangsa lain.
“Danau yang memiliki ketinggian lebih dari 1.200 meter di atas permukaan laut, panjangnya 16 kilometer, lebar terbesarnya adalah 5 kilometer, adalah daya tarik Takengon yang luar biasa,” catat Broersma hampir seabad lalu.
Dia juga menuliskan, ada jalan di sepanjang danau yang memotong ke lereng gunung, dan di sana-sini terdapat desa-desa kecil. Penduduknya memancing dan memiliki sawah di tepi sungai yang mengalirkan air ke Danau Laut Tawar. Sementara di sisi barat danau, air mengalir ke Krueng Peusangan.
“Anda bisa mendayung di sana. Perjalanan dengan perahu motor papan bukanlah salah satu kesenangan yang tidak dapat dicapai. Tetapi, kemewahan yang dapat diakses dari setiap sisi adalah pemandangan permukaan air dalam kemegahannya yang tenang dengan nuansa yang berubah-ubah.”
Dengan melakukan perjalanan sekitar Takengon, kenikmatan visual dapat direguk secara memuaskan. Pemandangannya bervariasi dan menarik. Blang dan padang rerumputan dengan kehijauannya yang halus, ladang, kebun, aliran-aliran air yang jernih menuruni tebing-tebing untuk kemudian memancur di tepi-tepi jalan, serta berbagai aktivitas masyarakat yang berkerja di tengah kemegahan alam yang dihangatkan oleh sinar matahari dan disejukkan oleh angin sepoi-sepoi.
“Sungguh, Aceh diberkati dengan permukiman sehat di daerah pedalamannya ini!” tulis Broersma.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy