Siswa MAN Sabang Usul AI Jadi Platform Belajar Bahasa Aceh

Para siswa MAN Sabang
Para siswa MAN Sabang, Zhairah Salsabila, Chairul Amna, dan Dea Fitriani bersama guru pembimbing riset, Hafiz Arif Lubis. Foto: Humas Kemenag Aceh

Sabang – Tiga siswa MAN Sabang, Zhairah Salsabila, Dea Fitriani, dan Chairul Amna, mengusulkan kecerdasan buatan atau AI (Artificial Intelegence) dijadikan platform belajar bahasa Aceh.

Usulan itu muncul dari kegelisahan ketiganya kala melihat teman-temannya tak mampu lagi bertutur bahasa Aceh.

“Fenomena ini membuat kami berpikir, apa yang bisa dilakukan agar bahasa Aceh tetap hidup, khususnya di kalangan generasi muda. Dari sanalah muncul gagasan untuk menggunakan AI,” ujar Zhairah dilansir dari Laman Kemenag Aceh, Rabu, 1 Oktober 2025.

Kini, proposal riset mereka tentang peranan AI untuk pelestarian bahasa Aceh dinyatakan lolos babak semifinal Festival Madrasah Young Researcher 2025 yang digelar Perkumpulan Guru Madrasah (PGM) Indonesia Provinsi Aceh.

“Bahasa Aceh adalah identitas kita, dan teknologi bisa menjadi jembatan agar ia tetap hidup di hati generasi muda,” tambah Zhairah.

Menurutnya, AI bisa menjadi platform pembelajaran berbasis digital, pengenalan suara, hingga alat penerjemah otomatis bahasa Aceh dengan lebih adaptif tanpa kehilangan makna aslinya.

“Kami ingin AI bukan hanya sebagai alat, tapi juga sarana untuk menghidupkan kembali makna filosofis ini. Jadi, belajar Bahasa Aceh menjadi sesuatu yang bermakna, bukan sekadar hafalan kata,” tambah Chairul Amna seraya menjelaskan pesan hadih maja “mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita” bahwa hilangnya adat dan bahasa berarti hilangnya identitas.

Lewat riset itu, tim siswa MAN Sabang tersebut mengusulkan AI dipakai sebagai wadah membangun bank kosakata, menyediakan fitur penerjemah, melatih pelafalan dengan model blackbox AI, hingga menyajikan kalimat kontekstual yang dekat dengan keseharian anak muda.

“Dengan cara ini, Bahasa Aceh dapat lebih mudah dipelajari, sekaligus tetap terjaga keasliannya,” ujar Chairul.

Senada dengan ketiga siswanya, guru pembimbing mereka, Hafiz Arif Lubis, juga menilai bahwa melemahnya penggunaan bahasa Aceh di kalangan siswa merupakan fenomena serius.

“Banyak anak merasa malu atau menganggap bahasa Aceh ketinggalan zaman. Jika dibiarkan, bukan hanya kosa kata yang hilang, tetapi juga nilai-nilai filosofis dan budaya yang terkandung di dalamnya. Karena itu, riset siswa ini menjadi penting sebagai upaya melestarikan bahasa Aceh dengan pendekatan yang sesuai zaman.”[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy