Oleh: Ir. Marzuki, S.T., M.T, Ketua Yayasan Bina Generasi Samudera
Di bawah tanah Aceh, sebuah kekayaan geologis yang nyaris tak terbayangkan terpendam. Data resmi melukiskan potensi yang fantastis yakni lebih dari 1,12 miliar ton batu bara tersimpan di Cekungan Meulaboh, cadangan batu gamping mencapai 9,6 miliar ton, dan marmer berkualitas tinggi sebesar 5,3 miliar ton. Ini belum termasuk deposit mineral logam strategis seperti emas, bijih besi, dan tembaga yang tersebar dari Aceh Jaya hingga Gayo Lues. Secara logis, aset raksasa ini seharusnya menjadi bahan bakar utama untuk pembangunan berkelanjutan, menciptakan efek domino ekonomi yang menyejahterakan rakyat pascakonflik.
Namun, yang terjadi adalah sebuah tragedi kebijakan yang mengakar. Potensi triliunan rupiah itu kini tersandera dalam labirin konflik yurisdiksi yang akut. Otonomi khusus yang diperjuangkan melalui darah dan air mata, yang dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), kini berhadapan langsung dengan buldoser regulasi dari Jakarta. Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja yang mengamandemen UU Minerba telah secara sistematis menarik kembali kewenangan pengelolaan sumber daya alam ke tangan pemerintah pusat.
Ini bukanlah sekadar persoalan teknis perizinan. Ini adalah pertarungan fundamental antara semangat desentralisasi asimetris yang menjadi inti perdamaian Helsinki dan arogansi sentralisasi yang menganggap semua daerah sama. Membiarkan kebuntuan ini berlarut-larut sama saja dengan membiarkan mesin kemakmuran Aceh mati suri. Oleh karena itu, satu-satunya jalan keluar yang bermartabat dan permanen adalah melalui revisi UUPA untuk membangun benteng hukum yang tak bisa lagi ditembus oleh kebijakan pusat yang fluktuatif.
Arsitektur Otonomi yang Dikhianati
Untuk memahami betapa seriusnya erosi kewenangan ini, kita perlu kembali pada fondasi hukum otonomi Aceh. UUPA bukanlah undang-undang biasa; ia berstatus lex specialis derogat legi generali, artinya hukum yang bersifat khusus (UUPA) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (seperti UU Minerba/Cipta Kerja). Prinsip ini adalah jantung dari otonomi Aceh. Berdasarkan mandat inilah lahir Qanun Aceh No. 15 Tahun 2013, sebuah cetak biru tata kelola pertambangan yang komprehensif.
Qanun tersebut secara eksplisit memberikan kewenangan kepada Gubernur dan Bupati/Wali Kota untuk menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), menetapkan Wilayah IUP (WIUP), hingga melakukan pengawasan dan penindakan. Aceh tidak hanya memiliki kewenangan di atas kertas. Rekam jejak membuktikan kapasitasnya. Pada 2014, melalui Instruksi Gubernur, Pemerintah Aceh berani memberlakukan moratorium izin tambang. Langkah progresif ini bukan didikte oleh pusat, melainkan inisiatif lokal untuk menata ulang sektor yang karut-marut. Hasilnya konkret yaitu 98 IUP bermasalah dicabut, dan 549.119 hektare lahan diselamatkan.
Tindakan ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah, ketika diberi amanah, justru mampu menjadi garda terdepan dalam tata kelola yang bertanggung jawab. Ironisnya, justru ketika Aceh sedang berbenah, datanglah UU Cipta Kerja yang merampas kembali instrumen utama penataan tersebut. Pasal 4 ayat (2) UU Minerba yang baru kini secara gamblang menyatakan bahwa penguasaan minerba “diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat”. Dengan satu tarikan napas legislatif, kewenangan yang diatur rinci dalam Qanun Aceh seketika menjadi impoten. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat perdamaian dan delegitimasi terhadap kapasitas daerah.
Dampak Sistemik
Benturan regulasi ini telah menciptakan dampak destruktif yang sistemik di Aceh. Pertama, kelumpuhan administratif dan ketidakpastian investasi. Pemerintah Aceh kini berada dalam posisi catch-22 yaitu menerbitkan izin berarti melawan UU nasional, tidak menerbitkan izin berarti mengabaikan mandat UUPA dan menghambat investasi. Akibatnya, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) terpaksa “menggantung” permohonan izin.
Bagi investor yang sah dan membutuhkan kepastian hukum jangka panjang, ambiguitas ini adalah racun. Mereka akan menunda atau membatalkan investasi bernilai triliunan rupiah. Sebaliknya, kekosongan pengawasan ini justru menjadi karpet merah bagi para penambang ilegal yang beroperasi secara masif, merusak lingkungan tanpa memberikan kontribusi apa pun bagi daerah.
Kedua, alienasi dan potensi konflik horizontal. Sentralisasi kewenangan dari Banda Aceh ke Jakarta secara efektif menjauhkan negara dari rakyatnya. Bayangkan seorang warga di pedalaman Nagan Raya yang lahannya tercemar oleh aktivitas tambang. Dulu, ia bisa mengadu ke dinas terkait di tingkat provinsi. Kini, ia harus berhadapan dengan birokrasi raksasa di kementerian Jakarta, sebuah proses yang mustahil dijangkau oleh masyarakat biasa. Ini menciptakan rasa ketidakadilan dan alienasi. Ketika saluran formal tersumbat, potensi konflik sosial di tingkat tapak akan meningkat, menempatkan masyarakat berhadapan langsung dengan perusahaan.
Ketiga, pelemahan akuntabilitas lingkungan. Qanun Aceh secara spesifik mewajibkan pemegang IUP untuk menjamin standar baku mutu lingkungan sesuai karakteristik Aceh. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah cenderung lebih efektif karena kedekatan geografis dan pemahaman konteks lokal. Ketika pengawasan ditarik ke pusat, yang terjadi adalah pengawasan model “pabrik” yang seragam dan sering kali tidak sensitif terhadap ekosistem unik Aceh. Hal ini membuka peluang kerusakan lingkungan yang lebih parah dan sulit dikendalikan.
Revisi UUPA: Sebuah Keharusan, Bukan Pilihan
Negosiasi terus-menerus dengan Jakarta untuk meminta klarifikasi terbukti hanya membuang waktu dan energi. Jawaban normatif bahwa Aceh harus mengikuti Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) nasional adalah ilusi. Itu sama saja dengan mengatakan “Anda boleh menyetir, tapi setirnya kami yang pegang”.
Oleh karena itu, satu-satunya solusi yang bermartabat adalah merevisi UUPA. Momentum ini sangat tepat, mengingat usulan revisi telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Revisi ini bukanlah untuk meminta belas kasihan, melainkan untuk memperkuat dan memproteksi kewenangan yang telah diamanatkan oleh sejarah.
Fokus revisi harus tajam dan strategis:
1. Mengukuhkan Kembali Kedaulatan Sumber Daya Alam. Amandemen harus secara eksplisit menegaskan bahwa kewenangan pengelolaan, perizinan, dan pengawasan mineral dan batu bara di darat dan laut hingga 200 mil adalah kewenangan absolut Pemerintah Aceh yang tidak dapat dikurangi oleh peraturan perundang-undangan lain.
2. Menanamkan “Klausul Keunggulan” (Override Clause). Ini adalah langkah paling krusial. Sebuah pasal baru harus ditambahkan yang menyatakan secara tegas: “Dalam hal terdapat pertentangan antara ketentuan dalam Undang-Undang ini dengan undang-undang lain yang mengatur urusan yang sama, maka ketentuan dalam Undang-Undang ini yang berlaku untuk Aceh”. Klausul ini akan menjadi benteng hukum permanen yang melindungi otonomi Aceh dari “serangan” legislasi omnibus di masa depan.
Revisi UUPA adalah ujian sesungguhnya bagi komitmen negara terhadap desentralisasi asimetris. Ini adalah kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan mengembalikan kepercayaan. Bagi seluruh elite politik dan masyarakat sipil Aceh, ini adalah panggilan untuk bersatu. Mengawal revisi ini hingga tuntas bukan lagi sekadar agenda politik, melainkan sebuah perjuangan untuk mengamankan masa depan kemakmuran dan marwah Aceh. Jika kita gagal, maka kekayaan yang terpendam di perut bumi Aceh hanya akan menjadi saksi bisu dari otonomi yang digadaikan.[]
Baca juga artikel lainnya karya Marzuki:


Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy