Oleh Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, Dosen Tafsir Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe
Pemberitaan judi online akhir-akhir ini sangat masif dan menjadi tranding di banyak saluran informasi, mulai dari media massa, eloktronik dan online. Tak ketinggalan, sejumlah platform media sosial juga ikut mengulasnya.
Beberapa fakta di luar nalar terkait perbuatan haram ini antaranya, transaksi judi online hingga kuartal I – 2024 sudah mencapai Rp600 triliun berdasarkan data yang dirilis PPATK. Angka ini adalah akumulasi dari tahun-tahun sebelumnya, di mana tahun 2023 lalu perputaran uang judi online sempat mencecah angka 327 triliun rupiah.
Temuan terakhir dari PPATK, hampir 3 juta orang yang bermain judi online terdiri dari ibu rumah tangga, pelajar, dan pegawai rendahan. Menkominfo Budie Arie mengatakan jumlah remaja (umur 17 – 20 tahun) yang terjerat judi online mencapai 2,7 juta orang. Barangkali remaja yang dimaksudkan adalah para pelajar. Memang nominal yang ditransaksikan oleh mereka relatif kecil, tapi totalnya tidak kecil, tepatnya 30 triliun rupiah.
Dampak buruk judi online tentunya bukan hanya berkutat pada berapa banyak rupiah yang dihabiskan pada setiap transaksi serta akumulasinya secara tahunan, tetapi lebih dari itu. Mulai dari gangguan fisik, mental (psikolosgis), masalah sosial, hukum, kriminalitas hingga peretasan data elektronik.
Semua dampak ini telah diisyaratkan Al-Qur’an melalui salah satu firman Allah, “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”, (al-Maidah: 91).
Al-Qur’an merangkum dua dampak utama judi, bersifat sosial horizontal (permusuhan dan kebencian) dan individual vertikal (lalai dari mengingat Allah dan shalat). Permusuhan dan kebencian dapat dikatakan sebagai kerugian duniawi, adapun meninggalkan shalat dan lalai dari mengingat Allah tidak lain adalah kerugian yang bersifat ukhrawi.
Pemerintah sejauh ini sudah melakukan banyak hal untuk menanggulangi dan meminimalisir praktik judi online yang sudah sangat meresahkan banyak pihak. Mulai dari memblokir situs judi online hingga upaya menutup rekening bank yang terafiliasi judi online. Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan bahwa, pihaknya sudah memerintahkan bank untuk memblokir 5000 rekening diduga kuat terkait dengan aktifitas judi online.
Terakhir yang sempat ricuh adalah peruntukan bansos untuk pelaku (korban) judi online sebagaimana diwacanakan oleh Menko PMK Muhadjir Effendy. Meskipun setelah menuai polemik, Presiden Jokowi angkat bicara dan menegaskan, “pelaku judi online tidak akan mendapatkan bansos”. Pak Menko kemudian ikut mengklarifikasi bahwa yang dapat bansos bukan pelaku judi, tetapi keluarganya yang dianggap sebagai korban pemiskinan dari praktik judi online. Wacana inipun ternyata tetap menuai pro kontra dari masyarakat.
Akar Masalah Judi Online
Banyak analis berpandangan bahwa buntut masalah dari maraknya judi online di masyarakat karena frustasi ekonomi. Pandangan ini dikuatkan oleh beberapa fakta, seperti 80 persen yang terlibat judi online adalah masyarakat dengan pendapatan rendah, kaum ibu, pelajar dan pegawai kecil.
Lalu apa benar, bahwa akar masalah judi online ada pada soal kemiskinan dan situasi ekonomi yang sulit? Jika demikian adanya, mengapa di sana ada banyak orang kaya juga aktif melakukan praktik haram ini? Bukankah orang miskin hanya menyumbang Rp30 triliun saja dari seluruh total transaksi judi online yang berjumlah ratusan triliun rupiah?
Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa kemiskinan menjadi salah satu faktor kuat lahirnya ragam kejahatan dan tindak kriminal di masyarakat. Salah satu penguat pandangan dan pernyataan ini adalah hadis nabi, “Kefakiran sangat dekat dengan kekafiran”. Meskipun dinilai lemah dari sisi sanad (jalur periwayatannya), akan tetapi secara substansi hadis ini dipandang shahih. Hal itu dikuatkan oleh hadis lainnya semisal doa Nabi Muhammad SAW, “Ya Allah aku berlindung kepadamu dari kefakiran dan kekafiran” (HR: Ahmad dan Abu Daud).
Namun ternyata bukan hanya kefakiran yang dapat menyebabkan seseorang menjadi jahat, orang kaya dengan gelimang harta juga berpotensi kuat menjadi jahat. Allah berfirman, “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup” (al-‘Alaq; 6 – 7). Bahkan dalam sebuah hadis Nabi bersabda, “Kaya itu bukanlah lantaran banyak harta, tetapi, kaya itu adalah kaya jiwa” (HR: Bukhari dan Muslim).
Ayat dan hadis di atas memberi sebuah ketegasan bahwa persoalannya bukan pada materi yang dimiliki atau tidaknya oleh seseorang, tetapi pada jiwa orang itu sendiri, tidak penting kaya atau miskin. Jika jiwanya baik, maka ia akan menjadi orang baik, apakah sebagai orang miskin atau orang kaya. Begitu juga sebaliknya, ia akan berubah menjadi jahat, baik sebagai orang kaya maupun orang miskin, jika jiwanya jahat.
Dalam konteks inilah ayat dan doa nabi di atas harusnya dimaknai. Kefakiran akan mendorong seseorang menjadi kafir, kalau kefakiran itu melekat pada jiwa yang jahat. Begitu juga manusia menjadi jahat saat ia merasa dan melihat dirinya berkecukupan (kaya), hal itu semata-mata karena kekayaan itu dimiliki oleh jiwa yang jahat. Ayat ini turun menyindir sikap buruk dan kejahatan Abu Jahal yang mengganggu Rasulullah shalat di ka’bah.
Banyak orang korupsi bukan karena tidak memiliki uang. Para koruptor itu rata-rata orang kaya. Ini soal jiwa yang miskin, bukan dompetnya yang tipis. Tidak ada bedanya dengan para pengemis, persoalannya tetap bukan pada materi. Buktinya banyak pengemis, ia terus mengemis walaupun sudah mengantongi lebih dari cukup untuk makan hari itu. Begitulah yang terjadi pada penjudi, sudah untung, harusnya ia berhenti. Tetapi justru memicunya untuk terus berjudi sampai kecanduan.
Di zaman Umar bin Khattab, pencuri tidak dihukum, karena mereka mencuri untuk makan, ditambah kondisi saat itu sedang paceklik. Sama halnya dengan perbuatan mengemis, Islam membolehkannya sekadar untuk cukup sehari makan. Begitulah dengan perbuatan haram lainnya, termasuk berjudi, jika kondisi darurat, Allah berfirman, “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” (al-Baqarah: 173).
Solusi yang Berimbang
Sejarah Islam mencatat bahwa judi benar-benar dilarang dan diharamkan bersamaan dengan turunnya salah satu firman Allah dalam surah al-Maidah yang merupakan surah terakhir dari Al-Qur’an. Artinya, setelah menyiapkan segala sesuatu yang diyakini bisa menghindari hamba-Nya dari berjudi barulah Allah menurunkan larangan dan hukuman bagi penjudi. Ada sejumlah upaya preventif sebelum larangan dan hukuman ditetapkan.
Aisyah pernah berkata, “Yang pertama-tama turun dari Al-Qur’an adalah surah-surah pendek, yang menceritakan tentang surga dan neraka, sehingga ketika orang-orang sudah kuat Islamnya, barulah turun halal dan haram. Sekiranya yang pertama turun, ‘janganlah berzina’, maka mereka akan mengatakan, ‘kami takkan meninggalkan zina’, begitu juga jika saat itu turun, ‘janganlah minum khamar’, maka mereka akan menjawab, ‘kami takkan mau meninggalkan khamar‘,” (HR: Bukhari).
Hadis Aisyah ini bisa dijelaskan lebih lanjut melalui firman Allah, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (al-Baqarah: 197). Ayat ini turun sempena orang-orang dari Yaman yang datang berhaji ke Makkah namun tidak membawa bekal makanan sedikitpun. Sehingga sesampainya di sana, mereka turun ke jalan-jalan mengemis demi mendapatkan makanan, bahkan ada yang merampok dan membunuh.
Kasus ini mirip dengan para penjudi di Indonesia yang secara sederhana dapat dikatakan, mereka melakukan itu semua karena tidak ada makanan (miskin). Lalu balik pada pertanyaan di awal, apa benar itu semua karena soal miskin, atau kantong kosong, sehingga membenarkan seseorang berbuat jahat. Kalau alasannya terpaksa, apakah “kecanduan” itu sebuah keterpaksaan?
Itulah mengapa pada ayat di atas, Allah memerintahkan berbekal dua hal sekaligus, bekal materiel dan bekal spiritual. Makan minum, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sejenisnya merupakan bekal materiel. Semua itu dibutuhkan oleh tubuh badan manusia untuk tetap hidup dan berkembang secara layak.
Namun manusia bukan hanya makhluk materialistik yang membutuhkan semua itu. Mereka juga makhluk spiritual (ruhi) yang membutuhkan hal lain di luar materiel, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan takwa. Manusia harus memiliki dua hal itu sekaligus agar hidupnya seimbang dan sempurna. Meski demikian, ayat di atas memberi penekanan, bahwa yang terbaik dari dua bekal itu adalah bekal takwa (spritualitas).
Alasan mendasar yang menyebabkan sekelompok orang dari Yaman nekat merampok dan membunuh sesungguhnya bukan soal perut kosong, tapi didorong oleh kosongnya jiwa mereka dari ketakwaan. Artinya, andaipun lapar, tetapi memiliki ketakwaan, mereka akan memilih bersabar dan berusaha semampunya. Lagipun Allah menghalalkan orang berhaji untuk cari makan di sana, baik dengan jalan dagang atau lainnya. Sehingga tak ada alasan mengemis, apalagi merampas hak dan nyawa orang lain secara zalim.
Perhatikan ayat berikut ini yang menggambarkan kehidupan sebagian masyarakat nabi yang miskin-miskin, bahkan fakir. Allah berfirman, “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat berusaha di bumi (berdagang dan lain-lain). Orang awam menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari mengemis. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak” (al-Baqarah: 273).
Mereka fakir, tapi sibuk memperjuangkan Islam, sampai-sampai tak sempat bekerja untuk diri mereka sendiri. Kefakiran bukan alasan buat sahabat nabi untuk tidak produktif, apalagi harus melakukan perbuatan terlarang, mengemis dan lainnya. Hal itu semata-mata karena ketakwaan telah terhujam dalam hati-hati mereka.
Spirit ayat di atas harusnya menjadi teladan dan contoh bagi pemerintah dalam menyelesaikan dan menangani ragam problem sosial bangsa ini. Dengan tetap memperhatikan sisi ekonomi masyarakat miskin, pendidikan agama, moral dan akhlak haruslah menjadi perhatian dan prioritas utama, bukan ekonomi.
Bahkan seperti yang disinggung di atas, ekonomi yang mapan bukanlah jaminan seseorang terhindar dari berbagai pelanggaran dan kejahatan, sehingga orang kayapun tetap berpotensi menjadi jahat jika dadanya kosong dari nilai-nilai agama dan moral. Pemerataan lapangan kerja dan UMR yang layak bukan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat, juga takkan menjamin kestabilan politik dan kemananan negara, jika agama dan akhlak (moralitas) tak lagi dijunjung tinggi.
Di sinilah pentingnya pemerintah mengembalikan ruh pendidikan nasional pada tujuan utamanya, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang beriman, bertkwa, dan berakhlak mulia, sebelum menjadikan mereka orang-orang yang berilmu, cerdas, kreatif dan mandiri. Wallahua’lam.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy