Forbina Usul Skema Bagi Hasil Rp500 per Kg Sawit untuk Kabupaten Penghasil di Aceh

Ilustrasi tanda buah sawit dan perkebunan kelapa sawit ChatGPT Image
Ilustrasi tanda buah sawit dan perkebunan kelapa sawit. Foto: ChatGPT Image

Banda Aceh – Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina) Muhammad Nur menilai sudah saatnya daerah-daerah penghasil kelapa sawit di Aceh mendapatkan hak langsung dari setiap produksi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) yang diolah di wilayahnya.

Forbina mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyusun kebijakan pembagian hasil sektor kelapa sawit yang lebih adil bagi kabupaten penghasil.

“Kami mengusulkan agar pemerintah memberlakukan kebijakan pembagian hasil minimal Rp500 per kilogram CPO dan PKO untuk kabupaten penghasil. Kebijakan ini harus berdiri di luar skema pajak, PPh, dan CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan,” kata Muhammad Nur, Kamis, 6 November 2025.

Menurutnya, pemerintah memang telah mengatur Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 91 Tahun 2023. Namun aturan ini belum menjawab seluruh persoalan keadilan fiskal di tingkat daerah.

“PMK 91/2023 adalah langkah maju, tapi porsinya masih sangat kecil dibanding dampak sosial dan lingkungan yang ditanggung kabupaten penghasil. Karena itu, kami mendorong tambahan skema Rp500 per kilogram CPO dan PKO di luar pajak dan CSR,” jelasnya.

Dia mengatakan, selama ini kabupaten penghasil sawit di Aceh hanya menjadi “penonton di rumah sendiri”. Aktivitas industri sawit memang menggerakkan ekonomi lokal, namun kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih sangat terbatas.

Menurut Nur, dana DBH Sawit yang disalurkan pemerintah pusat bersifat terbatas dan mekanismenya dikontrol kementerian, sehingga ruang fiskal kabupaten penghasil menjadi sempit.

“Daerah yang menanggung beban jalan rusak, konflik lahan, hingga dampak lingkungan. Wajar jika mereka juga menerima manfaat langsung dari setiap kilogram sawit yang dihasilkan,” kata dia.

Melalui skema bagi hasil tersebut, Forbina menilai setiap kabupaten penghasil akan memperoleh sumber penerimaan tetap tanpa harus menunggu proyek CSR atau realisasi pajak yang sering tertunda.

“Kita bicara soal keadilan fiskal. Ketika ribuan hektare kebun sawit menghasilkan triliunan rupiah setiap tahun, logis bila masyarakat di daerah penghasil turut merasakan manfaatnya secara langsung,” ucapnya.

Muhammad Nur juga mendorong Pemerintah Aceh menginisiasi qanun atau nota kesepahaman dengan pemerintah pusat dan pelaku industri sawit agar kebijakan tersebut dapat menjadi model nasional yang dimulai dari Aceh.

Forbina menegaskan, usulan bagi hasil Rp500 per kilogram bukan bentuk pungutan liar, melainkan model distribusi ekonomi baru yang transparan dan terukur untuk memperkuat ekonomi masyarakat di sekitar perkebunan.

“Kalau pemerintah bisa mematok royalti untuk tambang dan migas, mengapa tidak dengan sawit? Sawit juga sumber daya daerah yang berdampak besar terhadap lingkungan dan sosial masyarakat,” tuturnya.

Forbina berharap Komisi III DPRA bersama Dinas Perkebunan Aceh dan Badan Pengelola Keuangan Aceh menindaklanjuti gagasan itu melalui forum resmi dan rapat bersama pelaku industri sawit.

“Aceh bisa menjadi daerah pertama yang memiliki kebijakan berdaulat dalam tata kelola sawit. Ini momentum memperjuangkan keadilan ekonomi bagi masyarakat penghasil.”[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy