Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, Akademisi Fakultas Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe
Beberapa waktu lalu sempat viral pernyataan Menteri Agama Nasaruddin Umar, “Kalau mau cari uang jangan jadi guru, jadi pedaganglah”. Pernyataan ini disampaikan pada saat pembukaan kegiatan Pendidikan Profesi Guru di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 3 September 2025. Sebagian kalangan mempersoalkan pernyataan tersebut, dengan alasan bahwa itu merendahkan profesi guru. Apalagi menurut mereka, hingga kini negara belum mampu menyejahterakan guru.
Lalu apakah pernyataan Menag di atas salah atau tidak, tulisan ini tidak dalam kapasitas untuk menilai itu, apalagi, “kalau memang salah”, Menag sudah melakukan klarifikasi dan meminta maaf. Artinya, tak perlu lagi dibahas benar salahnya. Namun, di balik pernyataan tersebut, muncul sejumlah opini yang semuanya sepakat bahwa “guru” adalah profesi mulia yang perlu mendapatkan prioritas dan kesejahteraan dari pemerintah. Karena begitulah cara menghormati dan memuliakan para guru sebagaimana dilakukan oleh beberapa negara maju di dunia.
Bagaimanapun, kata-kata Menag saat sambutan pembukaan Profesi Pendidikan Guru tidak hanya terbatas pada pernyataan di atas. Kata-kata yang jika disimak secara utuh, maksud dan pesannya jelas. Ia ingin menegaskan bahwa para guru adalah orang-orang dengan profesi mulia, yang kemuliaan itu tidak boleh ternoda sedikit pun, oleh apa pun. Ia bahkan menekankan, “Seorang guru harus suci di langit, dan suci di bumi”. Ia menambahkan bahwa tidak gampang menjadi guru, jika tidak sanggup serahkan mandatnya. Ungkapan ini mengingatkan penulis pada tulisan “mading” seorang sahabat yang juga guru kami, “Tidak mudah menjadi guru”.
Guru itu Mendidik
Bagi sebagian orang, kata sambutan yang disampaikan Menag pada acara tersebut terkesan hanya sebuah retorika hampa makna dan tidak logis. Karena faktanya masih banyak guru dengan gaji di bawah standar dan upah minimum. Ya, jika orang membaca dan melihat dari perspektif itu. Tapi, kata-kata Menag juga bisa dilihat sebagai sebuah nasihat kepada para guru agar mereka berintegritas dan setia pada nilai-nilai.
Tidak ada yang menafikan bahwa guru layaknya manusia terhormat lainnya, mereka berhak mendapatkan penghidupan yang wajar dan layak, sepadan dengan pekerjaannya. Tetapi, “materi” bukanlah tujuan utama seorang guru. Mereka adalah orang-orang yang mendedikasikan hidupnya menanamkan nilai-nilai mulia pada anak didiknya. Karena itu, hendaknya mereka menjadi orang-orang yang telah lebih dulu hidup dengan nilai-nilai tersebut. Inilah yang dimaksud oleh Menag dengan kata-katanya, “Seorang guru tidak cukup hanya menguasai materi tetapi harus mengalami proses pembatinan atau perenungan mendalam atas apa yang diajarkan”. Ia bahkan menegaskan, “Guru harus masuk surga duluan sebelum muridnya”. Allah berfirman, “Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan”, (al-Shaff: 3)
Guru adalah seorang pendidik yang kerjanya tidak terbatas pada transformasi ilmu pengetahuan, tetapi teladan yang harus menjadi role model serta ikutan bagi murid dan anak didiknya. Pendidikan adalah soal melahirkan insan berkualitas, dalam makna memiliki jati diri yang kuat dan berkarakter, bukan semata-mata pandai teori. Dalam Islam, manusia diterjemahkan sebagai perpaduan antara akal dan hati. Akal adalah tempat bercokolnya ilmu pada manusia, sementara hati tidak lain adalah kekuatan dan sumber ketulusan dalam mengamalkan ilmu.
Dalam pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa di antara tujuan dari pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia. Tujuan ini akan realistis dan mudah diwujudkan jika para guru tidak hanya mahir berteori, tetapi pada saat yang sama juga seorang praktisi. Karena sekali lagi, pendidikan bukan hanya soal ilmu, tapi juga tentang nilai dan perilaku.
Dalam al-Quran Allah berfirman, “Dan perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat, dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya”, (Taha: 132). Ayat ini merupakan ungkapan lain tentang perpaduan antara teori dan praktik. Seorang kepala keluarga harus bisa berteori dan pandai bicara, supaya mampu mengajak keluarganya untuk shalat. Akan tetapi, ajakan dan omongannya tidak akan begitu berarti jika hanya sebatas omongan, sehingga perlu dibarengi dengan contoh dan praktik sebelum atau sembari mengajak anak-anak dan keluarganya shalat.
Begitulah dengan guru yang tidak hanya menghafalkan muridnya jenis-jenis akhlak terpuji, melainkan ia harus hidup dengan akhlak tersebut. Ia hendaknya menjadi orang pertama melakukan kontemplasi, internalisasi dan mengimplementasikan nilai-nilai tertentu sebelum murid-muridnya. Begitu juga dengan akhlak tercela, guru haruslah orang pertama yang menjauh dari nilai buruk tersebut. Tentunya akan sangat sulit menanamkan nilai ketulusan, kesederhanaan, dan jiwa senang berbagi pada anak didik jika para guru orientasinya “duet”.
Guru Tidak Boleh Materialistis
Inilah barangkali yang dimaksud oleh Menag, “Jadilah pedagang jika ingin cari uang, jangan jadi guru”. Karena memang begitulah kebiasaan dan cara berpikirnya kebanyakan para pedagang, orientasi utamanya hanya uang, tidak lebih dari itu. Bahkan demi uang mereka rela melakukan apa pun serta menghalalkan segala cara. Sampai-sampai dalam prinsip ekonomi “kapitalis” populer satu ungkapan, “Dengan modal sekecil-kecilnya, bisa untung sebesar-besarnya”. Berbeda dengan prinsip Islam yang menekankan pada asas manfaat. Dengan modal sekecil-kecilnya dapat menyejahterakan orang sebanyak-banyaknya.
Jika ada seorang pedagang melakukan transaksi lalu bicara untung rugi soal materi itu hal wajar dan biasa. Namun sangat tidak biasa jika seorang guru diminta jasanya mengajar, lalu responsnya, “Saya dibayar berapa”, atau “Saya tidak mau jika tidak dibayar sekian”, dan seterusnya. Ini jelas-jelas dagang namanya. Makanya sejak dari awal Allah mengingatkan para nabinya agar tidak terlibat jual beli ilmu, tidak meminta upah dari orang-orang yang diajarinya. Allah berfirman tentang Hud misalnya, “Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini, upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku”, (Hud: 51). Di ayat lain, Allah berfirman, “Ikutilah orang yang tidak meminta upah kepadamu, manakala mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”, (Yasin: 21).
Ayat di atas memberi isyarat bahwa melalui agama, dengan menjual ilmu seseorang bisa saja kaya dan hidup mewah layaknya pedagang. Begitulah yang kemudian terjadi pada Bani Israil, mereka menjual agama, menjual ilmu dan ayat-ayat Allah, sebagaimana disinggung dalam sebuah firman-Nya, “Dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah”, (al-Baqarah: 41). Begitulah yang Allah inginkan dari para guru, mengajarkan agama dan menyampaikan ilmu kepada masyarakat, kepada murid-muridnya dengan penuh keikhlasan dan dedikasi. Guru adalah semacam “nabi kecil” dalam istilah Menag Nasaruddin Umar.
Hal ini sekali lagi bukan bermakna guru tidak perlu makan minum dan hal-hal lain yang dibutuhkan oleh seorang manusia normal. Begitu pun nabi, saat mereka tidak mengharap upah dan bayaran dari manusia bukan berati mereka tidak butuh apa yang dibutuhkan manusia. Persoalan ini ditegaskan oleh Allah, “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”, (al-Furqan: 20). Mereka manusia normal, apalagi para guru yang notabene sebagai “nabi kecil”. Mereka butuh uang pastinya, namun begitu tidak serta merta seluruh isi otaknya penuh dengan uang (materialistis). Dalam satu hadis nabi bersabda, “Yang paling pantas kalian ambil upah adalah saat mengajarkan al-Quran”, (HR: Bukhari).
Ayat dan hadis di atas adalah patron buat seorang guru dalam bekerja, “Tidak meminta bayaran, tapi menerima jika diberi”. Dalam ayat Allah melarang meminta, dan dalam hadis nabi membolehkan ambil. Tentu berbeda dengan pedagang, mereka harus meminta “upah” sebagai kompensasi barang atau jasa yang diberikan kepada pembeli atau konsumen. Begitulah nabi, dalam berdagang ia mencari untung. Tapi, tidak dalam mengajarkan ilmu. Namun, nabi juga manusia, ia tidak menolak hadiah dan pemberian sahabat-sahabatnya.
Tulisan ini ditulis dalam konteks nasihat kepada para guru agar tetap mengedepankan ketulusan dan keikhlasan dalam menjalakan profesinya, karena di situlah letak profesionalisme seorang guru. Agaknya begitulah maksud kata-kata sambutan yang diucapkan Menag saat itu, semuanya dalam konteks mengingatkan para guru agar tetap menjaga fitrahnya. Tentu nasihat ini tidak baik jika dijadikan sebagai pembenar bagi pemerintah untuk abai dan membiarkan para guru hidup dengan gaji rendah di bawah UMR. Amanat UU Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005 jelas menyebutkan bahwa guru berhak memperoleh kesejahteraan yang layak dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum. Wallahu a’lam.[]


Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy