Banda Aceh – Syekh Said Abdullatif Faudah, ulama besar ilmu Kalam abad ini, mengunjungi Sekretariat Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) dan Museum Pedir di Banda Aceh, Jumat, 7 Juni 2024.
“Syekh Said berkunjung sekitar pukul 11.00 WIB sampai terdengar waktu azan shalat Jumat,” ujar Ketua Mapesa Mizuar Mahdi yang menyambut kunjungan ulama asal Yordania itu, dikutip Sabtu, 8 Juni 2024.
Selain Mizuar, ikut menyambut Syekh Said adalah Direktur Museum Pedir Masykur Syafruddin dan timnya, serta Wakil Ketua Centre for Information of Sumatra Pasai Heritage (Cisah) Sukarna Putra.
Dalam kesempatan itu, Mizuar menyerahkan beberapa buku kepada Syekh Said. Di antaranya Aceh Dalam Lintasan Sejarah dan Jejak Sejarah Hubungan Aceh Turki (terbitan Mapesa), serta Booklet Tinggalan Sejarah Sumatra Pasai dan Daulah Shalihiyyah di Sumatra (terbitan Cisah).
Sementara Syekh Said sendiri mempersembahkan sebuah surat berbahasa Arab bertuliskan tangan yang diperuntukkan kepada Mapesa dan Pedir Museum, terkait kunjungannya itu.
“Puji syukur bagi Allah SWT atas tercapainya wacana kami untuk menziarahi lembaga Mapesa, begitu juga Museum Pedir. Sungguh telah bertambah wawasan kami terkait dengan sejarah negeri ini yang begitu mulia. Begitu juga rekan-rekan yang telah berperan penting untuk melestarikan zuhudnya para ulama (Aceh) ini telah menampilkan kepada kami begitu banyak maklumat, dokumen dan manuskrip sebagai bukti kedalaman dan hidupnya Islam dengan akidahnya yang suci (dari berbagai syubhat) di negeri ini (Aceh) dan itu dimulai kira-kira sejak abad ke-7 H sesuai catatan bukti sejarah yang ada. Kalaupun bukan, maka pasti eksistensi dan stabilitas Islam sudah ada di Aceh jauh lebih awal (sebelum abad ke-7 tersebut),” tulis Syekh Said.
“Telah dijelaskan juga pada kami bahwa eksistensi serta dalamnya mazhab Ahlu Sunnah ini seperti yang tertuang dalam beberapa kitab seperti syuruh terhadap kitab Aqaid An-Nasafiyah dan Syarh Imam Sa’duddin At-Taftāzanī, kemudian Syuruh Aqaid As-Sanusiyah baik Manzhumat dan risalah-risalahnya yang begitu banyak sebagai penguat dan penjelas bagi Mazhab Ahlu Sunnah,” tambahnya.
Di akhir tulisannya, Syekh Said juga mendoakan agar manuskrip-manuskrip sejarah tersebut bisa bermanfaat juga untuk negeri-negeri Islam lainnya.
“Semoga Allah SWT senatiasa membantu negeri ini (Aceh) dalam menyebarluaskan harta karun ilmiah ini agar bisa bermanfaat tak hanya untuk negeri ini tapi juga untuk negeri-negeri Islam lain. Kita juga berdoa pada Allah SWT. semoga usaha ini mendapat balasan yang baik dari-Nya. Allah memberkati dan hanya kepada-Nya lah tempat berserah diri. Kita tidak butuh apa-apa selain kepada Allah.”

Kunjungan ke Mapesa dan Pedir Museum menjadi rangkaian lawatan ilmiah Syekh Said ke Aceh sejak 31 Mei 2024 lalu. Sebelumnya, Syekh Said mengawali mengisi pengajian Tastafi di Masjid Raya Baiturrahman, di Dayah BUDI Lamno, Aceh Jaya, Dayah Mudi Mesra Samalanga, Bireuen, dan Dayah Raudhat al-Ma’arif, Cot Trueng, Aceh Utara.
Ahli Kalam Sang Pedang Sunnah
Dikutip dari laman ikataceh.org, Syekh Said dilahirkan pada 1967 di kota Al-karamah, Yordania. Keluarganya tinggal kota Amman, sedangkan Syekh Said pindah ke kota Al-Rasifah dan tinggal di sana. Di kota inilah awal mula Syekh Said memulai pendidikan sehingga menjadi ulama terkemuka.
Saat umur 11 tahun Syekh Said berguru kepada Syekh Hussain al-Zuhairi dan mempelajari mantiq, bahasa Arab dan fikih mazhab Syafii. Menginjak usia 15 tahun, ia belajar qiraat mengikuti riwayat Imam Hafs dan Warsy, pada Syekh Said al-Anabtawi Al Azhary.
Melihat muridnya memiliki kecondongan dalam ilmu Kalam, Said dihadiahkan sang guru syarah kitab Kharidah Bahiyyah karangan Imam ad-Dardir. Ia juga diperintahkan merangkum kitab tersebut.
Setelah beberapa pekan, Syekh Said kembali dengan menyerahkan naskah yang diperintahkan oleh gurunya itu. Ternyata, Syekh Said justru menulis lebih panjang dari pada syarah tersebut sehingga menjadi sebuah hasyiah. Syekh al-Anabtawi pun tersenyum seraya kembali memerintahkan Said remaja merangkum syarah tadi, sehingga lahirlah Mukhtasyar Syarah Kharidah.
Adapun guru-guru Syekh Said yang lain di antaranya Syekh Ibrahim Khalifah, dekan Fakultas Tafsir Universitas Al Azhar saat itu, yang juga ahli ilmu Kalam dengan manhaj Mutaqaddimin.
Selain itu, ia juga berguru kepada Syekh Ahmad Al Jamal dan membaca tiga perempat bagian dari pada kitab al-Ikhtiyar li al-Musolli serta mantan mufti besar Yordania Nuh al-qudhah hingga mengkhatamkan Minhaj Karya Imam An-Nawawi.
Di luar itu, Syekh Said juga menuntut ilmu bidang komunikasi dan elektronik di Universitas Sains dan Teknologi di kota Irbid, Yordania. Ia mengambil gelar magisternya di Universitas Jordan dalam bidang akidah. Sementara gelar Doktor ia peroleh di Universitas al-Ulum Islamiyah, Oman.
Syekh Said fasih berbicara dalam bahasa Italia dan Inggris. Hal ini memudahkannya membantah syubhat yang dilontarkan oleh para orientalis Barat terhadap Islam.

Perjuangannya juga sangat besar dalam memperjuangkan akidah ahlusunnah. Banyak lawan kalah ketika berdebat dengan Syekh Said. Kecerdasan dalam membantah berbagai tuduhan terhadap aqidah Islam ini membuat ia dijuluki Imam ar-Razi abad ini, dan juga Saifus Sunnah (pedang Sunnah).
Dalam membela pemahaman ahlusunnah, Syekh Said telah menulis 100 karya tulis dalam berbagai macam ilmu, khususnya kalam dan ushul fikih. Karya-karyanya berperan besar dalam Mukhtamar Internasional yang diadakan di Syisyan pada 2016 silam. Di antara karya-karya Syekh Said yang masyhur adalah Syarah kabir Aqidah Tahawiyah, Tad’im Mantiq, Al- kasyif Al- Shaghir, dan Al Tahmid fii Ilmi Kalam.
Hingga kini syekh Sa’id aktif mengajar di beberapa masjid dan juga mengisi ceramah antar negara diantaranya Indonesia, Malaysia, Mesir, hingga Belanda.[](Rma)
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy