Soal Pemimpin Aceh, Tu Sop: Pemilih dan yang Dipilih Harus Ahli

Tu Sop seminar kebangsaan pemimpin ideal
Tgk. Muhammad Yusuf A. Wahab tampil sebagai narasumber seminar kebangsaan bertajuk ‘Menemukan Pemimpin Ideal untuk Aceh’ digelar PB HUDA bekerja sama dengan PWNU Aceh, di Banda Aceh, Sabtu, 29 Juni 2024. Foto: tangkapan layar YouTube Yadara TV

Banda Aceh – Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Ulama Dayah Aceh (PB HUDA), Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab, menilai Aceh akan menemukan pemimpin ideal jika rakyat sebagai para pemilih dan calon yang dipilih benar-benar ahli.

“Antara kepemimpinan, imamah, dengan orang yang mengangkat imamah itu, dua-duanya harus ahli,” kata Tgk. Muhammad Yusuf A. Wahab pada seminar kebangsaan bertajuk ‘Menemukan Pemimpin Ideal untuk Aceh’ digelar PB HUDA bekerja sama dengan PWNU Aceh, di Banda Aceh, Sabtu, 29 Juni 2024, dikutip Line1.News dari channel YouTube Yadara TV, Kamis (4/7).

Tgk. Muhammad Yusuf A. Wahab akrab disapa Tu Sop atau Ayah Sop menjadi narasumber seminar itu bersama Ketua Umum PBNU, K.H. Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. Seminar itu dipandu Tgk. M. Rizwan H. Ali, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) dan Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Lhokseumawe.

Mulanya, Tu Sop menjelaskan Aceh sekarang berada di era demokrasi dan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan kekhususan-kekhususannya.

Tu Sop menyebut semua peradaban di Aceh masa lalu tidak lepas dari kiprah para ulama melalui dakwah dan pendidikan. Sejarah mencatat, Ahlussunnah waljamaah berfungsi membangun peradaban dan pranata sosial. “Sekarang ada pertanyaan, rumusan-rumusan Ahlussunnah waljamaah bagaimana kita fungsikan di era demokrasi ini?”

“Kadang-kadang ada kelompok yang berpikir sangat idealis, tetapi lupa dengan konteksnya. Artinya, mereka teguh dengan konsep, tetapi lupa dengan konteks, sehingga kadang-kadang tidak ada tempat bagi sesuatu yang ideal di era sekarang,” ujar Tu Sop.

Menurut Tu Sop, di Aceh saat ini banyak orang yang mengeluh terkait kepemimpinan. Misalnya, menyangkut pemimpin pemerintahan desa. “Sering orang mengeluh, kok, kepala desa kita sekarang tidak seperti masa lalu, ditaati, berwibawa, dan punya kharisma. Kok, sekarang dia tidak berfungsi sebagai pemimpin, malah hanya sebagai pekerja. Ini kenapa?”

“Artinya, apa yang diwarisi masa lalu sudah tergredasi sekarang. Salahnya di mana? Kita mau salahkan sistem demokrasi kita? Memang itu sudah menjadi konsensus dunia. Kita tidak bisa melawan itu. Bagaimana dengan konsep Ahlussunnah waljamaah menjaga keseimbangan itu,” tanya Tu Sop.

Oleh karena itu, menurut Tu Sop, dalam hal memilih pemimpin ideal bagi Aceh, pemilih harus tahu tentang kepemimpinan yang punya standar-standar, memastikan nilai integritas, kapasitas, serta kemampuan-kemampuan dan syarat-syarat tertentu.

“Sekarang yang membuat kita bingung, bagaimana menerapkan itu di dalam konteks di mana kita sudah menyerahkan urusan bukan kepada ahlinya. Yang memilih tidak ahli untuk memilih, dan yang dipilih juga tidak ahli untuk dipilih. Akhirnya, negeri (Aceh) ini tidak terurus dengan baik, sehingga terjadi masalah,” ungkap Tu Sop.

“Nilai-nilai konsep Ahlussunnah waljamaah yang sudah ada, bagaimana kita integrasikan dalam sistem yang sangat hampir liberal sekali. Sering kami duduk-duduk (membahas masalah) ini belum ada solusi, Gus. Masih dalam kebingungan,” tambah Tu Sop sambil melihat ke arah Gus Yahya.

Menurut Tu Sop, memang pemerintah punya sistem yang semua pejabat atau para pemimpin diberi kewenangan sesuai jabatan walaupun tidak ahli. “Bagaimana menghasilkan kesepakatan-kesepakatan kita supaya benar-benar lewat kesepakatan untuk mengintegrasi nilai etika dan nilai moral ke sana, kalau kita tidak mampu membuat dalam bentuk regulasi,” ujarnya.

“Yang jadi masalah sekarang, kemana nilai-nilai syariat Ahlussunnah waljamaah yang tidak mampu memengaruhi perilaku kita di era yang serba bebas ini. Kalau dunia pendidikan, dunia dakwah, majelis taklim tidak berfungsi ke sana, akhirnya mereka meninggalkan nilai-nilai etika Islam di dalam menghadapi kehidupan global ini. Ini menjadi masalah,” kata Tu Sop.

Misalnya, kata Tu Sop, di Aceh semua orang mengatakan regulasi yang diterapkan syariat Islam. “Tapi kadang-kadang syariat yang mereka pikirkan itu terlalu ideal, dan tidak sesuai dengan konteks sekarang,” ucapnya.

“Maka dalam hal itu, kami di sini ada masalah, Gus. Bagaimana memfungsikan syariat ini menjadi solusi, bukan (menjadi) masalah. Mungkin saja kami (Aceh) terjadi malpraktek dalam memfungsikan syariat,” ujar Tu Sop.

Tu Sop menjelaskan di masa Rasulullah Saw, syariat dimulai dengan pembinaan, bukan hukuman. “Kok kita mulai dengan hukuman, melupakan pembinaan?”

“Ada pertanyaan, mungkinkah negeri (Aceh) ini jadi bersyariat kalau paradigma kita, politik kita tidak bersyariat? Artinya, mungkinkah nilai-nilai etika di dalam mengelola negeri ini terintegrasi untuk melahirkan manusia-manusia yang punya kapasitas, yang sesuai regulasi yang ada lewat politik konvensional? Ini yang jadi masalah,” kata Tu Sop.

Tu Sop mencontohkan, sekarang di Aceh ada Qanun tentang Lembaga Keuangan Syariah, yang mengatur tentang perbankan syariah. “Tapi, lupa tentang rumah tangga syariah,” ungkapnya.

Menurut Tu Sop, Aceh sudah 20 tahun menerapkan syariat Islam. “Kita harus mengkaji ulang di mana salahnya, di mana persoalannya, kenapa jadi begini?”

Kaji ulang ini penting, kata Tu Sop, agar kemudian penerapan syariat Islam benar-benar menjadi solusi, bukan sebaliknya.

Sebelumnya, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh, Tgk. H. Faisal Ali atau Lem Fasail, saat membuka acara itu mengatakan seminar kebangsaan tersebut digelar untuk menjawab permasalahan bangsa ke depan, dan menghadapi Pilkada 2024.

“Mudahan-mudahan seminar kebangsaan ini bisa memberikan pencerahan, pemikiran, dan wawasan kepada kita bagaimana untuk Aceh melahirkan pemimpin yang ideal,” ujar Lem Faisal.

Seminar itu dihadiri Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf, Bendahara Umum PBNU Gudfan Arif Ghofur, Ketua PWNU Sumatra Utara Marahalim Harahap, Rektor UIN Ar-Raniry Prof. Mujiburrahman, sejumlah pejabat Pemerintah Aceh, para ulama kharismatik Aceh Abu MUDI, Waled Nuruzzahri Samalanga, Abi Daud Hasbi, pimpinan MPU Aceh, dan undangan lainnya.[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy