Pernikahan dalam Islam bukan hanya sekadar menyatukan dua insan, melainkan merupakan perjanjian agung yang mencakup nilai-nilai agama, keluarga, dan masyarakat. Di balik prosesi suci tersebut, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah keberadaan wali nikah yang beragama Islam.
Lalu, bagaimana jika wanita mualaf memerlukan wali nikah?
Bagi seorang mualaf yang baru memeluk Islam, persoalan wali nikah bisa menjadi tantangan. Hal ini tidak hanya menyentuh aspek hukum agama, tetapi juga sisi emosional karena berkaitan dengan keluarga asalnya.
Dalam Islam, wali nikah menjadi salah satu rukun pernikahan. Kehadiran wali yang memenuhi kriteria seperti beragama Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan memiliki sifat adil (tidak fasik) menjadi syarat sahnya akad nikah.
Oleh karena itu, seorang nonmuslim tidak dapat menjadi wali bagi anak perempuannya yang telah masuk Islam.
Syekh Taqiyuddin Al-Hishni dalam Kifayatul Akhyar menyebutkan: “Tidak diperbolehkan seorang nonmuslim menjadi wali bagi wanita Muslimah. Allah Ta’ala berfirman: ‘Orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong (wali) bagi sebagian yang lain’ (At-Taubah: 71). Maka, seorang nonmuslim tidak dapat menjadi penolong (wali) bagi Muslimah karena perbedaan agama, sehingga ia tidak bisa menjadi walinya.”
Jika ayah kandung seorang mualaf tidak memenuhi syarat karena belum memeluk Islam, kewaliannya berpindah kepada kakek. Jika kakek juga nonmuslim, maka perwalian beralih ke wali ab’ad, yaitu kerabat pria Muslim selain ayah dan kakek. Urutannya mencakup saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara kandung, anak laki-laki dari saudara seayah, paman, dan anak laki-laki paman.
Jika tidak ada kerabat Muslim sama sekali, maka hakim memiliki kewenangan untuk menjadi wali. Syekh Jalaluddin Al-Mahalli dalam penjelasannya menyebutkan: “Seorang nonmuslim tidak dapat menjadi wali bagi wanita Muslimah, begitu pula sebaliknya, seorang Muslim tidak dapat menjadi wali bagi wanita nonmuslim, melainkan dalam kasus pertama (wanita Muslimah), yang bertindak menjadi wali adalah wali ab’ad (wali dalam garis kerabat selain ayah dan kakek) yang Muslim, dan dalam kasus kedua (wanita nonmuslim), wali nonmuslim yang bertindak sebagai walinya. Jika tidak ditemukan, maka hakim akan menikahkannya dengan otoritas perwalian umum yang dimilikinya.”
Lebih lanjut Syekh Al-Qalyubi menjelaskan keterangan Al-Mahalli dalam Kanzur-Raghibin dan Hasyiyah Al-Qalyubi wa Umairah: “Ungkapan Al-Mahalli: ‘Jika tidak ditemukan wali’, maksudnya adalah wali khusus, maka hakim meskipun hanya berstatus sebagai hakim dalam keadaan darurat, dapat menikahkan dalam kedua kasus tersebut dengan otoritas umum yang dimilikinya. Yang dimaksud hakim adalah orang yang memiliki otoritas kekuasaan di tempat tinggal mempelai wanita. Hakim Muslim menikahkan umat Islam, sedangkan hakim nonmuslim menikahkan umat nonmuslim.”
Dari penjelasan tersebut, wali nikah bagi wanita mualaf pada dasarnya adalah wali aqrab, yaitu ayah atau kakeknya yang telah beragama Islam. Jika keduanya belum memeluk Islam, perwalian beralih ke wali ab’ad yang Muslim.
Namun, bila tidak ada kerabat yang beragama Islam, yang sah bertindak menjadi wali nikah adalah hakim yang mempunyai otoritas di tempat wanita mualaf tersebut tinggal. Di Indonesia hakim yang dimaksud seperti penghulu atau Kepala Kantor Uurusan Agama di kecamatan.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy