Shalat merupakan kewajiban umat Muslim. Perintah shalat disebutkan berkali-kali dalam Al-Qur’an dan hadits. Banyak juga kalam ulama tentang keutamaan shalat dan hal-hal buruk yang bisa terjadi jika ibadah ini ditinggalkan.
Jika terlewat atau bahkan ditinggalkan secara sengaja, shalat itu mesti diganti atau di-qadha.
Jumhur ulama menyebutkan qadha shalat hukumnya wajib. Kesepakatan ini ada dalam masalah shalat yang tertinggal akibat ketiduran atau terlupa–semisal, karena saking sibuknya.
Sebuah hadis yang dinilai shahih, Nabi Muhammad SAW menyebutkan: “Jika kalian tertidur atau terlupa dari suatu shalat maka hendaknya shalat jika telah teringat/terbangun,” (HR. Abu Dawud).
Begitu pula dalam riwayat hadis lain, Nabi menyebutkan bahwa amal manusia dicatat saat tiga hal ini: jika seorang anak telah balig; orang tidur telah terbangun; dan orang lupa yang teringat.
Lantas, apakah meninggalkan shalat secara sengaja, juga meninggalkan shalat akibat kondisi pingsan atau gangguan kesadaran lainnya, juga diwajibkan meng-qadha shalat? Mengingat keduanya tidak terjelaskan secara gamblang dalam teks-teks sumber hukum.
Mayoritas ulama, sebagaimana dicatat Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu “berdosa”. Bahkan dalam pendapat mazhab lain, hukum meninggalkan shalat secara sengaja itu bisa sampai berstatus kafir.
Ada satu kaul menarik dari mazhab Zhahiri, dalam hal ini Imam Muhammad bin Hazm – yang kini mungkin mazhabnya sudah tidak eksis – menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tidak wajib meng-qadhanya.
Imam Ibnu Hazm ini, sebagaimana cara ijtihad ulama mazhab Zhahiri lain, tidak menggunakan qiyas dalam usaha menggali hukum. Karena tidak ditemukan keterangan yang sharih atau eksplisit seputar hukum meninggalkan shalat, kecuali untuk orang yang tertidur atau terlupa, maka qadha untuk orang yang meninggalkan shalat secara sengaja ini tidak wajib.
Jawaban itu mungkin asing bagi kita, tapi demikianlah keragaman pendapat ulama. Sebagai argumen seputar qadha shalat, ulama menggunakan analogi ini: jika syariat sudah memberi aturan qadha shalat untuk orang lupa, apalagi untuk yang sengaja jelas lebih wajib mengganti shalat. Hal ini dikenal dengan qiyas aulawi yakni menganalogikan dengan hal-hal yang lebih berat atau tinggi kedudukannya.
Cara Meng-Qadha
Secara prinsip, “sesuatu yang mengganti” jelas berbeda dengan “yang digantikan”. Shalat qadha sebagai pengganti shalat wajib yang terlewat, mesti segera dilakukan dan tidak berbatas waktu.
Sebagian ulama mensyaratkan tertib dalam qadha shalat. Maksudnya, melakukan sesuai urutan shalat yang tertinggal, atau mendahulukannya sebelum shalat fardlu di waktu tersebut.
Syarat ini dilakukan Mazhab Maliki. Misalnya, jika dalam sehari ketinggalan shalat Subuh, Zhuhur dan Ashar, maka meng-qadhanya pun mesti berurutan sesuai waktunya.
Berbeda dengan Imam Asy-Syafi’i, yang tidak mewajibkan tertib. Perbedaan lain dengan Imam Malik, Imam Syafi’i berpendapat meskipun dalam perjalanan yang membolehkan qashar atau jamak, shalat mesti diganti sebagaimana asalnya. Tidak boleh shalat fardhu yang tinggal dikerjakan qashar atau jamak.
Adapun Imam Malik membolehkan qadha shalat menyesuaikan kondisi yang ada. Artinya, shalat boleh di-qadha secara qashar atau jama’ jika syarat kebolehannya terpenuhi.
Perbedaan ini disebabkan pandangan yang berbeda seputar status shalat yang ditinggalkan: apakah shalat qadha sama dengan shalat yang dikerjakan secara ada’an (langsung) di waktu normal sehingga bisa menyesuaikan kondisi? Ataukah berstatus layaknya utang yang mesti dibayar serupa dengan kondisi awal ia ditinggalkan. Sikap lebih hati-hati (ihtiyath) yang diambil adalah shalat yang tertinggal itu, diganti sebagaimana asalnya.
Demikian beberapa hal seputar ragam pendapat ulama mengenai qadha shalat, khususnya shalat fardlu. Shalat menjadi sarana wajib untuk mendekatkan diri dengan Allah. Mengganti yang telah terlewat, tentu dapat menjadi bentuk instropeksi diri akan kewajiban-kewajiban kita sebagai Muslim. Semoga Allah selalu menjaga shalat kita. Wallahu a’lam.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy