Setiap Tahun, Ada Seribu Lebih Kasus KDRT di Aceh yang Dilaporkan

Setiap Tahun, Ada Seribu Lebih Kasus KDRT di Aceh yang Dilaporkan
Peserta dan pemateri 'Diskusi Kasus KDRT: Pemberitaan dengan Perspektif Korban' yang dibuat oleh Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marginal AJI Banda Aceh, Jumat, 30 Agustus 2024. Foto: Istimewa

Banda Aceh – Jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT di Aceh sejak 2019 hingga 2023 yang dilaporkan ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak, rata-rata lebih dari seribu per tahun.

Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh menunjukkan, ada 1.067 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2019. Pada 2020 dan 2021, jumlah sempat turun menjadi masing-masing 905 dan 924 kasus.

“Namun, angkanya kembali naik pada 2022 dan 2023, yaitu 1.029 dan 1.098,” ungkap pelaksana tugas Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DP3A Aceh, Tiara Sutari AR, dalam diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh, Jumat, 30 Agustus 2024.

Menurut Tiara, penurunan pada 2020 dan 2021 bukan karena kasusnya yang sedikit, melainkan saat itu sedang dalam masa pandemi covid. “Sehingga banyak yang memilih tidak melapor [ke UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh],” ujarnya.

Korban KDRT, tambah Tiara, bisa mengalami atau lebih kekerasan yang mencakup fisik, psikis, seksual, atau verbal.

Beberapa hal yang membuat korban biasanya enggan melapor, misalnya, tidak tahu harus melapor ke mana maupun tidak punya support system di keluarga, sehingga berpotensi membuat korban semakin terancam jika melapor.

“Korban KDRT ini juga tidak melihat status dan jabatan, bahkan ada yang orang-orang berpendidikan tinggi juga menjadi korban, dan mereka baru berani melapor setelah belasan tahun mengalami kekerasan di rumah tangganya,” ujar Tiara.

DP3A, kata dia, terus melakukan pengarusutamaan isu penghapusan KDRT agar menjadi perhatian bersama untuk mencegah atau menurunkan kasus. Di sisi lain, Tiara merasa miris dengan tren menaiknya KDRT. Sebab, kata dia, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Penghapusan KDRT sejak September 2004.

Bila melihat prevalensi yang merujuk pada Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional tahun 2021, tambah Tiara, satu dari empat perempuan Indonesia yang berusia 15 hingga 64 tahun mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidup mereka.

“Sementara untuk anak, empat dari 10 anak perempuan dan tiga dari 10 anak laki-laki pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih sepanjang hidupnya.”

Sementara itu, Siti Farahsyah Addurunnnafis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh. menuturkan, merujuk pada data yang dirilis Komnas Perempuan, selama 20 tahun sejak UU Penghapusan KDRT lahir, tercatat 515.466 kasus. Dari jumlah itu, 94 persen korban adalah istri.

“Tantangan dalam menyelesaikan kasus pendampingan KDRT juga kompleks, mulai dari masih tingginya budaya patriarki yang bisa memicu terjadinya femisida intim atau pembunuhan terhadap perempuan, hingga ada yang disebut Stockholm Sindrom,” ujarnya.

Selain itu, kata Farah, belum semua aparat penegah hukum memiliki perspektif gender yang baik. “Sehingga menjadi bias ketika menangani kasus KDRT,” ujarnya.

Diskusi yang mengangkat tema seputar pemberitaan kasus KDRT dengan perspektif korban itu diikuti beberapa jurnalis dan pers mahasiswa di Banda Aceh.

Untuk pemberitaan kasus KDRT dengan perspektif korban, Farah berharap jurnalis atau media massa bisa melindungi hak-hak korban.

“Seperti menjaga identitas korban, tidak mencampurkan fakta dan opini, serta tidak menggunakan kata (diksi) yang bermakna bias.”[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy