Jakarta – Serikat Usaha Muhammadiyah atau SUMU berharap pemerintah membatalkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
“Kenaikan PPN tersebut tidak sensitif terhadap dinamika dunia usaha saat ini dan malah kontraproduktif terhadap upaya pemerintah membuka lapangan pekerjaan di tengah kenaikan angka pengangguran,” kata Sekjen SUMU Ghufron Mustaqim, dalam keterangan tertulisnya, Jumat dikutip Senin, 18 November 2024, dari Tempo.co.
Saat ini, kata Ghufron, banyak perusahaan yang mayoritas merupakan UMKM sedang berjuang di tengah ketidakpastian ekonomi. Bahkan, kata dia, banyak yang memutuskan mengurangi jumlah karyawan hingga gulung tikar. Karena itu, rencana kenaikan PPN mengancam kelangsungan bisnis UMKM.
Ia juga mengingatkan kebijakan itu otomatis menjadikan Indonesia menjadi negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN. Sebagai perbandingan, PPN di Malaysia hanya 6 persen. Adapun di Singapura dan Thailand sebesar 7 persen. Kenaikan pajak akan semakin memberatkan beban kalangan pengusaha, termasuk di sektor UMKM.
“Di Vietnam, Kamboja, dan Laos PPN-nya sebesar 10 persen. Alih-alih dinaikkan, PPN di Indonesia seharusnya diturunkan lagi ke 10 persen seperti semula, dan secara bertahap turun ke 6-7 persen. Ini untuk mendorong konsumsi masyarakat,” ucap Wakil Ketua Lembaga Pengembang UMKM Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen akan menyebabkan harga barang dan jasa naik, karena bisanya produsen dan penjual akan membebankan pajak itu ke konsumen.
Baca Juga: PPN Naik Jadi 12 Persen, Apa Saja Jenis Pajak yang Wajib ‘Di-Top Up’ Warga RI?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kenaikan tarif PPN 12 persen akan tetap berjalan sesuai mandat Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Menurut dia, penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor. “Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok,” katanya saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Kamis, 14 November 2024.
Menurut dia, APBN harus dijaga kesehatannya. “Seperti ketika terjadinya krisis keuangan global dan pandemi, itu kami gunakan APBN,” ujarnya seperti dikutip Antara.
Baca Juga: Benarkah Tarif Pajak Naik 12 Persen?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN, semua barang dan jasa akan terkena PPN seperti tas, pakaian, sepatu, produk otomotif, perangkat elektronik, pulsa telekomunikasi, perkakas, serta produk kecantikan dan kosmetik. Jasa atau layanan streaming musik dan film, seperti Spotify dan Netflix, juga termasuk dalam kategori jasa yang dikenakan PPN.
Lalu adakah barang dan jasa yang tidak terkena PPN? Berdasarkan Pasal 4A UU 7/2021 yang tidak terkena PPN 12 persen adalah semua jenis makanan dan minuman, karena sudah terkena pajak daerah atau retribusi daerah, yang besarnya tergantung daerah masing-masing. Tapi biasanya sekitar 10 persen.
Barang seperti uang, emas batangan yang digunakan untuk kepentingan cadangan devisa negara, serta surat berharga juga dikecualikan dari pengenaan PPN.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy