Santri sebagai Cermin Akademisi: Melihat Apa Kata Quran tentang Kaum Cendekia

Muhammad Syahrial Razali Ibrahim. Foto: Dok Pribadi
Muhammad Syahrial Razali Ibrahim. Foto: Dok Pribadi

Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, Dekan Fakultas Syariah UIN SUNA Lhokseumawe

Hari Santri yang setiap tahun diperingati pada 22 Oktober sebenarnya bukan hanya fokus pada kiprah para santri, tapi juga jasa para ulama. Hari Santri adalah hari di mana masyarakat Indonesia diajak untuk sadar tentang entitas besar di republik ini yang memiliki kontribusi besar, mulai dari memperjuangkan kemerdekaannya, mempertahankannya hingga ikut memajukannya bersama komponen bangsa lainnya.

Hari Santri adalah hari di mana bangsa ini dipanggil untuk menggali lebih dalam tentang makna dari “santri” itu sendiri. Sebuah ungkapan sederhana, yang dengan kesederhanaan serta ketulusannya, mereka berjuang dan berkorban untuk negeri ini.

Santri adalah spirit dan ruh tentang keilmuan, kebijaksanaan, ketulusan dan pengorbanan. Semangat ini menyatu dan mengkristal membentuk sebuah karakter yang menjadikan para ulama atau kaum cendikia sebagai pilar utama dan penyangga peradaban dunia. Semua sejarah mencatat jika kaum intelektual adalah soko guru tegaknya sebuah negara, bahkan dunia.

Allah adalah yang pertama mencatat dan menceritakan hal itu tatkala menciptakan Adam sebagai “santri” pertama. Dalam firman-Nya disebutkan, yang artinya, “Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya”, (al-Baqarah: 31). Allah mengajarkan ragam pengetahuan kepada Adam, karena misi besar yang akan diemban, yaitu khalifah, basisnya adalah ilmu pengetahuan. Allah berfirman, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (al-Baqarah: 30).

Makanya sangatlah wajar dan tidak berlebihan, jika tema peringatan Hari Santri tahun 2025 ini adalah “Mengawal Indonesia merdeka, menuju peradaban dunia”. Namun, pertanyaannya adalah, bagaimana seseorang bisa seperti Adam, yang berawal dari seorang santri tapi akhirnya bertransformasi menjadi khalifah memimpin bumi.

Jati Diri Kaum Akademisi

Akademisi adalah istilah lain dari ulama atau ilmuan atau cendekiawan yang pada awalnya merupakan seorang santri atau murid. Mereka adalah orang-orang yang bergelut dengan ilmu pengetahuan, baik dalam proses belajar (murid) atau mengajar (guru). Seseorang, meskipun sudah mencapai taraf ilmuan atau cendikiawan, sesungguhnya tetap sebagai seorang “murid” yang terus belajar. Jika membuka Al-Quran, di sana akan ditemukan beberapa karakteristik atau watak yang menjadi basis kepribadian seorang akademisi.

1. Ilmiah; yang merupakan karakter dasar yang mendominasi diri seorang akademisi. Ilmiah adalah sikap ideal yang selayaknya dimiliki oleh setiap orang dengan profesi akademisi. Namun, ilmiah di sini bukan hanya soal kapasitas keilmuan, di mana seseorang memiliki sejumlah pengetahuan di bidang ilmu atau kajian tertentu, tetapi lebih kepada sikap jujur dan keberpihakan pada kebenaran saat dihadapkan pada berbagai informasi, isu dan persoalan sosial.

Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya”. (al-Isra’: 36). Ayat tersebut memberi peringatan kepada semua, terutama mereka yang berilmu, agar tidak gegabah dalam menyampaikan sesuatu jika itu tidak didasarkan pada fakta atau bukti yang valid. Kebenaran adalah sesuatu yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.

Dalam Islam terkenal satu ungkapan, “al-haqqu ahaqqu ayyuttaba”. Dalam sebuah hadis nabi bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berbicara yang benar atau memilih diam”. (HR: Bukhari dan Muslim).

Dunia digital dan keterbukaan informasi hari ini menuntut kaum akademisi menjadi contoh bagaimana harusnya seseorang merespons setiap isu dan informasi. Wajar kalau rakyat mudah terprovokasi, tetapi bagaimana jika itu menimpa para intelektual, siapa yang akan menjadi penengah dan penyejuk suasana.

Dalam hal ini Allah mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (al-Hujurat: 6).

Masyarakat butuh kebenaran untuk hidup secara benar, bukan propaganda yang mematikan, walau kadang terlihat “keren”. Di sinilah letak peran dan fungsi “ilmiah-nya” seorang akademisi.

2. Bijaksana; yang merupakan taraf lanjutan dari sikap ilmiah. Seseorang takkan cukup ilmiah jika kebijkasanaan tidak menghiasi sikap dan tindak tanduknya. Dalam bahasa akademik, kebijaksanaan ini bisa disandingkan dengan kemampuan analisa.

Makanya dalam dunia pendidikan, gelar tertinggi itu adalah doktor, yang kapasitas keilmuannya “dianggap” sudah mencapai tingkat kebijaksanaan (philosophy doctor). Kemampuannya sudah pada level eksploratif terhadap berbagai isu dan informasi. Tidak seperti kelas di bawahnya (sarjana muda dan magister) yang masih bersifat deskriptif dan eksplanatif.

Oleh karena itu, seorang akademisi, di samping memiliki pengetahuan yang luas, juga dituntut punya kemampuan analisa yang memadai. Sehingga mereka bisa bersikap adil, moderat, dan objektif serta terhindar dari fanatisme.

Ayat di atas (al-Hujurat: 6) yang memerintahkan tabayyun untuk informasi atau isu tertentu mengisyaratkan pentingnya kebijaksanaan pada seseorang. Sikap bijaksana itulah nantinya yang membuat seseorang mampu memutuskan layak tidaknya sebuah informasi disampaikan ke ranah publik.

Dalam sebuah hadis disebutkan, “Cukuplah seseorang dianggap berdusta jika ia menyampaikan semua yang didengarnya”. (HR: Muslim). Sabda nabi ini mengajarkan umat Islam agar bijaksana dan hati-hati dalam bersikap. Tidak semua yang didengar harus disampaikan, karena tidak semua benar. Perlu pendalaman, klarifikasi dan analisa. Atau orang yang mendengar tidak cukup cakap mendengar sehingga bisa menimbulkan misinformasi dan berujung pada kegaduhan.

Dalam Al-Quran diceritakan bagaimana sikap orang munafik dulunya yang ingin membuat kekacauan di kalangan umat Islam dengan menyebarkan berita tanpa sensor. Allah berfirman, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)”. (al-Nisa’: 83).

Intinya kebijaksanaan adalah kemampuan membuat keputusan dan mengambil sikap yang didasarkan pada kaidah-kaidah logis. Itulah mengapa dalam Islam, seorang pengadil dinamakan hakim, dan para filosof disebut sebagai hukama’.

Allah berfirman, “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak”. (al-Baqarah: 269).

3. Mendidik; yang merupakan pengejawantahan dari ilmu dan kebijaksanaan basisnya adalah kebermanfaatan. Manusia adalah khalifah yang hidupnya tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk yang lainnya. Dalam sebuah hadis nabi bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain”. (HR: Ibnu Hibban).

Namun, mendidik bukan sekadar transformasi ilmu pengetahuan dari seorang pengajar kepada pelajar, tapi lebih dari itu. Mendidik adalah upaya keteladanan yang ditampilkan oleh seorang guru kepada muridnya. Begitulah santri digembleng oleh guru atau kiyainya bertahun-tahun lamanya di pondok pesantren. Seorang guru harus menjadi teladan untuk murid dan santrinya sebagaimana nabi mencontohkannya dalam sepanjang sejarah hidupnya mendidik para sahabat dan umat Islam secara umum.

Keteladanan meniscayakan upaya praktis implementasi ilmu dalam kehidupan sehari-hari sehingga menyatu menjadi prilaku. Akademisi di samping bertanggung jawab memberi pencerahan pengetahuan, baik formal maupun informal, juga diharapkan menjadi teladan bagi masyarakat. Tidak cukup hanya berkoar-koar di mimbar dan forum akademik atau menulis di berbagai platform digital dan jurmal ilmiah tanpa ada contoh konkret yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari.

Allah berfirman, “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (al-Shaff: 3). Di ayat lain Allah memberi perbandingan buruk dan hina terhadap orang berilmu tetapi ilmunya tidak hadir dan hidup bersamanya secara aktual. “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal”. (al-Jumu’ah: 5).

Hari ini masyarakat kehilangan teladan dan contoh, di tengah jumlah institusi dan lembaga pendidikan tinggi yang semakin hari semakin banyak, bahkan yang berstatus “unggul”.

4. Tulus; yang sesungguhnya adalah moral tertinggi dari seseorang, baik dalam kaitannya dengan Tuhan maupun dengan manusia. Akademisi atau kaum intelektual merupakan orang-orang yang berilmu, bijaksana, teladan bagi masyarakat dan tulus dalam pengabdiannya. Tulus bukan berarti tidak boleh menerima atau mengambil upah, di mana dalam sebuah hadis nabi bersabda, “Yang paling berhak engkau ambil upahnya adalah mengajarkan Al-Quran”. (HR: Bukhari).

Tulus adalah suatu upaya menjauhkan dari sikap materialistik, pragmatis dan hedonis. Mungkin bahasa yang mudah dan sederhana adalah, tidak matre dan pasang tarif, atau “dikit-dikit duet”. Konsekuensi dari profesi akademik adalah nilai, bukan materil. Hasilnya adalah masyarakat yang selama ini dididik, taraf hidupnya menjadi lebih baik, apakah itu berkaitan dengan materil maupun sprituil.

Pekerjaan seorang ilmuan bukan untuk memperkaya diri, apalagi membisniskan ilmunya, tidak dalam bentuk apapun. Maka sangat keliru jika “usaha pendidikan” hari ini berubah menjadi “bisnis pendidikan”.

Kesejateraan hidup para ilmuan atau kaum akademisi dijamin Allah. Dalam sebuah firman-Nya disebutkan, “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam”. (al-Syu’ara’: 164). Ayat ini diulang pada banyak tempat dalam Al-Quran untuk menegaskan tugas mulia para rasul Allah. Di mana tugas itu akan semakin mulia dan bermarwah tatkala para rasul tidak berperan seperti pedagang yang menjajakan dagangannya. Konsekuensinya, saat barangnya kurang diminati harganya diturunkan.

Ilmu adalah sesuatu yang mulia, nilainya tak pernah turun apalagi bisa ditawar. Begitulah para ulama, intelektual dan kaum akademisi, karena kemuliaan ilmu dan amal, mereka tidak bisa disogok apalagi dibeli oleh siapapun. Namun, saat tak lagi berintegritas, malah loyal pada materi dan kemewahan, bukan hanya mereka yang menjadi hina, tetapi dunia bisa binasa. Wallahua’lam.[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy