Pilgub Aceh 2024, Pengamat: Rakyat Lebih Mudah Tentukan Pilihan

M Akmal pengamat politik
M Akmal pengamat politik

Lhokseumawe – Pengamat Politik M. Akmal menilai rakyat Aceh akan lebih mudah menentukan pilihannya di Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Tahun 2024. Pasalnya, hanya dua pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur (cagub-cawagub) yang akan bertarung di Pilgub Aceh kali ini, Mualem-Dek Fad dan Bustami-Tu Sop.

Pasangan Bustami Hamzah dan Tgk. Muhammad Yusuf A. Wahab (Tu Sop) serta pasangan Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhlullah (Dek Fad) telah mendaftar ke Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh di hari terakhir pendaftaran, Kamis, 29 Agustus 2024. Bustami-Tu Sop dengan dukungan delapan parpol—lima di antaranya total memiliki 29 kursi di DPRA. Mualem-Dek Fad dengan dukungan 12 parpol—delapan di antaranya total memiliki 52 kursi di DPRA.

Berbeda dengan Pilgub Aceh 2017, KIP Aceh menerima pendaftaran enam pasangan cagub-cawagub terdiri dari tiga pasangan calon independen dan tiga pasangan calon dari partai politik. “Enam pasang Cagub-Cawagub Aceh di Pilkada 2017 tentu lebih sulit untuk dipilih, atau lebih tepat membingungkan pemilih, karena keenam pasangan calon adalah orang-orang yang termasyhur dan punya basis suara masing-masing. Di samping itu kondisi sosial masyarakat pada tahun 2017 sangat jauh berbeda dengan kondisi 2024 saat ini,” kata Akmal kepada Line1.News, Ahad, 1 September 2024.

Menurut Akmal, dalam kondisi nyata, pada prinsipnya elektabilitas partai politik tidak berbanding lurus atau tak secara langsung terkait elektabilitas calon kepala daerah. Meskipun parpol pendukung calon kepala daerah memiliki kekuatan atau pemenang pileg. Buktinya, partai pemenang pileg nasional, PDIP tidak berpengaruh terhadap calon presiden yang diusung di Pilpres 2024.

“Calon kepala daerah baik gubernur, bupati, dan wali kota disukai pemilih karena faktor figur dan track record (catatan-catatan prilaku atau gerakan politik mereka). Sementara caleg parpol dipengaruhi oleh konstituen yang terikat dengan garis sejarah yang melahirkan simpatisan atau konstituen tetap,” ujar mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh itu.

Akmal menjelaskan Indonesia saat ini menggunakan sistem pemilu semi distrik proporsional yang jauh berbeda dengan sistem pemilu full district. Sehingga angka-angka yang diperoleh setiap parpol untuk calegnya di parlemen tidak murni sepenuhnya berasal dari suara individu caleg.

“Secara angka-angka panggung politik parpol yang telah mengusung masing-masing jagonya dengan peroleh kursi DPRA dalam Pileg 2024 adalah pertarungan antara 29 vs 52. Meskipun dalam teori politik lapangan seluruh parpol pengusung kedua pasangan cagub/cawagub itu belum pasti bisa meraih suara sebagaimana jumlah suara konstituen yang diperoleh parpol, karena sistem pemilu kita dalam pileg menganut ‘sistem semi distrik proporsional’,” tutur Akmal.

Artinya, kata Akmal, kursi yang diperoleh parpol adalah hasil dari “suara badan caleg” dan pembagian proporsional suara parpol yang memilih “pilihan gambar parpol”. Menurut Akmal, inilah dasar mengapa tidak bisa ditarik garis lurus antara suara yang diperoleh parpol dengan suara elektabilitas para pasangan cagub/cawagub. “Berbeda halnya jika pemilu kita menggunakan “sistem full district” yang hitungan suara sepenuhnya suara badan,” ucapnya.

“Tentu dengan dasar ini kondisi ini setiap pasangan Cagub/Cawagub Aceh yang akan bertarung di Pilgub Aceh 2024, yang hanya dua paslon, akan berjuang sama-sama kuat untuk menarik simpati pemilih,” tambah Akmal.

Menurut Akmal, jika ini dapat dianalogikan sebuah proses jualan politik; bagaimana setiap paslon dikemas dengan menarik dalam etalase toko politik yang akan dilihat oleh pembeli. Para pembeli adalah rakyat Aceh yang sudah terdata oleh KIP Aceh dengan jumlah DPT sebanyak 3.742.037. “Masyarakat tinggal memilih salah satu pasangan cagub/cawagub yang mereka sukai. Tidak lagi membingungkan karena hanya dua spanduk yang akan bertebaran di seantero Aceh,” ujarnya.

Penting menjadi catatan, kata Akmal, dari jumlah DPT tersebut sekitar 50-60% pemilih Aceh didominasi kaum muda, termasuk pemilih pemula, generasi Y atau disebut kaum milenial dan generasi Z, yang memiliki tingkat pendidikan yang baik dan cerdas teknologi.

“Tentu kedua pasangan Cagub-Cawagub Aceh harus mampu meyakinkan kaum muda ini sebagai kunci kemenangan untuk menjadi Gubernur dan Wagub Aceh 2024-2029 [2025-2030],” kata Dosen Ilmu Politik FISIP Unimal itu.

Selain kaum muda, lanjut Akmal, ada juga kelompok masyarakat golongan “X” yang menjadikan pemilu atau pilkada sebagai pesta untuk cari uang demi sejengkal perut. “Golongan “X” adalah masyarakat pembegal demokrasi yang menyebabkan terpilihnya pemimpin dalam setiap pilkada karena money politic [politik uang],” pungkas M. Akmal.[]

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy