Pertaruhan Terakhir di Mahkamah Konstitusi

Yessa Marcella 01
Yessa Marcella. Foto: Dok Pribadi

Oleh: Yessa Marcella, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

Tingkat kepercayaan masyarakat pada Pemilu 2024 menjadi fenomena yang menonjol sebelum dan setelah pemilihan umum berlangsung di seluruh daerah. Fenomena ini menjadi legitimasi bukan saja terhadap kepercayaan lembaga penyelengga pemilu, tetapi juga menjadi tantangan terhadap penyelenggaraan pemerintahan lima tahun mendatang, baik di pusat maupun daerah.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa hasil pilpres yang tetap memenangkan pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka dengan perolehan suara 58,83 persen, tambah menggerus kepercayaan publik, meski tidak bisa diabaikan ada juga pandangan yang mendukung keputusan tersebut. Perdebatannya tidak hanya soal hukum, tetapi juga politik, etika, dan moral berpolitik di Indonesia.

Di tengah keraguan terhadap independensi MK, lembaga tersebut menjadi satu-satunya jalan terakhir untuk mendapatkan keadilan pemilu. Tidak ada jalan lain bagi peserta pemilu untuk mendapatkan keadilan, hanya jalur MK satu-satunya harapan, terlepas baik buruknya persepsi masyarakat terhadap integritas lembaga tersebut.

Jika kita menyimak jalannya persidangan mulai dari pemilu pilpres yang sudah diputuskan sampai pileg yang masih berlangsung, betapa panjang persiapan yang harus dilakukan pemohon. Persidangan di MK sejak lama dirancang memudahkan para pihak, termasuk dengan masuknya teknologi komunikasi melalui persidangan jarak jauh.

Para pihak tidak perlu lagi mendatangani langsung MK kalau untuk mendaftarkan sengketa, tapi bisa dengan mendaftar secara daring. Demikian juga untuk pengerahan saksi yang tidak perlu “diangkut” ke kantor MK di Jakarta yang membutuhkan biaya relatif besar. Untuk kawasan Lhokseumawe dan sekitarnya, persidangan berlangsung di ruang sidang daring di Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh atau beberapa kampus lain di Aceh dan di seluruh provinsi di Indonesia.

Permohonan Meningkat = Kepercayaan Meningkat?

Merujuk data di situs MK, jumlah permohonan untuk Pileg 2024 meningkat dibandingkan dengan Pemilu 2019. Sedikitnya terdapat 297 permohonan di Pileg 2024. Bandingkan dengan Pemilu 2019 yang hanya ada 262 permohonnan. Apakah ini menunjukkan tingginya kepercayaan terhadap lembaga negara tersebut?

Tidak bisa langsung disimpulkan demikian. Bertambahnya permohonan bukan bukan satu-satunya indikator meningkatnya kepercayaan publik (baca: dunia politik). Kader dan partai politik tidak memiliki pilihan lain sehingga pertarungan terakhir harus terjadi di MK.

Di masa lalu, ada pemikiran untuk membawa dulu kasus ini ke MK untuk meningkatkan tawar-menawar politik. Ihwal menang atau kalah tetap itu urusan nomor dua. Setelah adanya perubahan persyaratan, pemikiran “yang penting gugat dulu hasilnya belakangan” sudah tidak relevan lagi.

Sejumlah caleg di Aceh, misalnya, permohonannya tidak dapat ditindaklanjuti karena tidak ada rekomendasi dari DPP parpol bersangkutan. Masalah administrasi lainnya masih sering terjadi sehingga permohonan ditolak untuk dilanjutkan. Kalau regulasi ini dipahami caleg sejak awal, tentunya tidak nekat menggugat dari awal.

Kalau melihat survei terakhir kepercayaan terhadap MK, memang menunjukkan peningkatan. Survei terakhir Indikator Politik Indonesia per April 2024, tingkat kepercayaan publik terhadap MK sudah berapa pada posisi 72,5 persen. Persidangan MK yang digelar secara transparan dan dipantau banyak lembaga serta media massa, ikut mempengaruhi tingkat kepercayaan publik.

Persidangan untuk Perbaikan

Peningkatan ini harusnya terlihat dalam putusan demi putusan MK terhadap ratusan permohonan yang masuk. Argumentasi hukum dan proses persidangan dan pembuktian barang bukti, ketika diikuti dengan intens, akan menjadi proses edukasi banyak semua pihak yang akan terus meningkatkan kepercayaan kepada lembaga MK.

Persidangan demi persidangan yang terjadi di MK, bukan saja menjadi upaya pencarian keadilan bagi para caleg atau parpol. Ini bukan semata upaya perebutan kursi kekuasaan setelah kalah atau dicurangi dalam pemungutan dan pengitungan suara.

Banyak celah dan atau modus kecurangan yang dilakukan selama pemungutan dan penghitungan sampai rekapitulasi suara, terbongkar selama persidangan dan itu menjadi masukan untuk memperbaiki sistem untuk pemilu di masa mendatang. Celah untuk kecurangan ini bisa dilakukan penyelenggara atau peserta atau kolaborasi di antara keduanya.

Benefit inilah diharapkan ditangkap parpol, penyelanggara pemilu, lembaga yang peduli demokrasi atau masyarakat luas agar Indonesia memiliki sistem pemilu yang ideal dan menutup semua celah kecurangan. Persidangan demi persidangan di MK bisa menghasilkan nilai lebih lain dibandingkan sekadar perebutan kursi kekuasaan.
Perubahan itu harusnya bisa kita lihat dalam permohonan hasil pemilihan kepala daerah nanti.*

Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy