Niat merupakan salah satu rukun puasa wajib seperti puasa Ramadan, qadha, dan nazar. Seseorang harus berniat di malam hari sebelum terbit fajar. Berbeda halnya puasa sunnah, yang lebih longgar, seseorang boleh baru berniat di siang harinya.
Namun, untuk puasa Ramadan beberapa mazhab memiliki pandangan berbeda tentang hukum niat. Pandangan ini berdasarkan pada dalil dan metode istinbat ahkam yang mereka gunakan.
1. Mazhab Hanafi
Merujuk pendapat Imam Ibnu Abidin, salah satu ulama tersohor dalam mazhab Hanafiyah, mengatakan niat dalam puasa merupakan salah satu kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Sebab, inti dari puasa tidak hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkannya, namun juga harus diawali dengan niat.
Tanpa niat, suatu ibadah tidak akan terwujud, sehingga seseorang yang menahan diri dari makan dan minum tanpa adanya niat untuk berpuasa, tidak akan dianggap sedang berpuasa secara syariat. Dalam kondisi ini pula, puasanya tidak sah, sehingga ia wajib untuk menggantinya (qadha) di kemudian hari.
Imam Ibnu Abidin dalam kitabnya Hasyiyah Raddul Muhtar ‘alad Durril Mukhtar, mencatat: “Adapun menurut kami (mazhab Hanafi), niat dalam puasa adalah keharusan, karena yang diwajibkan (dalam puasa) adalah menahan diri dalam rangka ibadah, sedangkan ibadah tidak dapat terealisasi tanpa adanya niat. Maka, jika seseorang menahan diri tanpa disertai niat, ia tidak dianggap orang yang berpuasa, dan ia wajib mengganti tanpa dikenakan kafarat.”
Lebih lanjut, Imam Ibnu Abidin menegaskan alasan kenapa dalam hal ini wajib mengganti puasanya dan tidak wajib untuk bayar kafarat. Menurutnya, karena kewajiban qadha disebabkan tidak terwujudnya puasa disebabkan tidak terpenuhinya syarat puasa, berupa niat.
Adapun tidak wajibnya bayar kafarat karena puasanya tidak terwujud. Sedangkan kafarat hanya diwajibkan bagi orang yang merusak puasanya. Sementara dalam hal ini puasanya tidak ada, dan sesuatu yang tidak ada tidak mungkin dirusak.
Namun dalam praktiknya, para ulama mazhab Hanafiyah memiliki cara pandang berbeda-beda. Di antaranya sebagaimana dicatat oleh Syekh Hasan bin Ali al-Mishri, salah satu ulama dalam mazhab Hanafi, ia berpendapat niat dalam puasa Ramadhan, puasa nazar yang ditentukan waktunya, dan puasa sunnah, tidak disyaratkan untuk menentukan niat secara spesifik (ta’yin) maupun menetapkannya sejak malam (tabyit).
Selama niat tersebut diucapkan di separuh lebih banyak waktu siang, maka hal itu dianggap cukup. Oleh sebab itu, dalam pendapat ini batas waktu niat dibatasi hingga pertengahan hari, agar niat yang diucapkan masih ada dalam separuh lebih banyak waktu siang.
2. Mazhab Maliki
Merujuk penjelasan Imam Abu Abdillah al-Kharasyi, salah satu ulama terkemuka dalam mazhab Malikiyah, dalam salah satu kitabnya menjelaskan niat merupakan syarat sahnya puasa, baik puasa wajib maupun sunnah.
Dalam praktiknya, niat harus dilakukan pada malam hari sebelum fajar menyingsing, waktunya dimulai sejak terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar. Oleh sebab itu, niat yang dilakukan sebelum waktu magrib tidak dianggap sah, begitu pula niat yang dibuat setelah fajar.
Orang-orang yang sudah niat berpuasa dalam waktu tersebut, menurutnya, apa pun yang terjadi setelahnya, seperti makan, berhubungan suami istri, atau tidur tidak akan membatalkan niatnya. Berbeda halnya dengan pingsan, gila, haid atau nifas, semua ini dapat mempengaruhi niat yang sudah diucapkan.
Dalam kitabnya Al-Kharasyi ‘ala Mukhtashar Khalil, ia mengatakan: “Syarat sahnya puasa, baik puasa wajib maupun yang lainnya adalah niat yang dilakukan pada malam hari. Adapun awal waktu niat adalah sejak terbenamnya matahari hingga fajar. Niat tidak sah jika dilakukan sebelum terbenamnya matahari menurut mayoritas ulama, begitu pula jika dilakukan setelah fajar, karena niat merupakan bentuk kesengajaan, sedangkan mengarahkan niat ke masa lalu adalah sesuatu yang mustahil secara akal.”
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Imam Syamsuddin Abu Abdillah al-Maghribi (wafat 954 H), salah satu ulama tersohor dalam mazhab Maliki berkebangsaan Maroko. Dalam kitabnya Mawahibul Jalil li Syarhi Mukhtashar al-Khalil, ia mengatakan sahnya puasa secara mutlak harus dengan niat yang dilakukan pada malam hari atau bersamaan dengan waktu fajar. Artinya, syarat sahnya puasa, baik berupa puasa wajib maupun puasa sunnah, tertentu maupun tidak tertentu, adalah harus dengan niat.
Kendati demikian, terdapat ulama yang dalam praktiknya berbeda pandangan dengan ulama yang lain dalam mazhab Malikiyah ini. Salah satunya sebagaimana dicatat oleh Imam Abu Muhammad al-Baghdadi (wafat 422 H), dalam kitabnya menjelaskan bahwa seseorang boleh untuk menggabungkan niat puasa selama bulan puasa dengan cukup satu niat saja, misal dengan berniat ‘Aku niat puasa selama satu bulan penuh’ pada malam pertama bulan Ramadhan.
Niat yang di dalamnya menyebutkan kata semua hari di bulan Ramadhan sebagaimana lafal di atas dianggap cukup untuk menggantikan niat-niat berikutnya selama bulan Ramadhan, selama puasanya tidak terputus, misal batal selama satu hari atau lebih. Namun, jika puasa yang diniati satu bulan penuh itu putus, maka ia wajib memperbarui niatnya untuk melanjutkan puasa pada hari-hari berikutnya.
3. Mazhab Syafi’i
Dalam hal niat, ulama mazhab Syafi’i tidak jauh berbeda dengan ulama mazhab yang lain, yaitu bahwa niat merupakan rukun puasa, orang yang tidak niat berpuasa, maka ibadah puasanya tidak sah dan tidak dianggap sebagai puasa secara syariat.
Syekh Khatib as-Syarbini dalam kitabnya mengatakan bahwa niat merupakan salah satu dari rukunnya puasa. Untuk puasa wajib, seperti puasa Ramadan, puasa qadha, maupun puasa yang dinazarkan, niat harus dilakukan pada malam hari sebelum fajar menyingsing.
Syekh as-Syarbaini dalam kitabnya, al-Iqna’ fi Halli Alfadzi Abi Syuja’, mengatakan: “Rukun puasa ada empat hal. Pertama adalah niat, berdasarkan sabda Nabi: (Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat). Tempatnya niat adalah hati, dan tidak cukup hanya diucapkan dengan lisan secara mutlak. Dalam puasa wajib, baik itu puasa Ramadan maupun puasa lainnya seperti qadha atau nazar, disyaratkan untuk menetapkan niat pada malam hari, yaitu melaksanakan niat di malam hari (mulia dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar).”
4. Mazhab Hanbali
Ulama mazhab Hanabilah juga sepakat bahwa niat dalam puasa wajib adalah rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Pendapat ini sebagaimana dicatat oleh Syekh Syarafuddin Abun Naja, salah satu ulama terkemuka mazhab Hanabilah.
Di dalam kitabnya al-Iqna fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal, ia mengatakan puasa wajib tidak akan sah kecuali dengan niat di malam hari. Selain itu, setiap hari puasa dianggap sebagai ibadah yang berdiri sendiri, sehingga memerlukan niat tersendiri untuk setiap harinya.
“Puasa wajib tidak sah kecuali dengan niat yang dilakukan pada malam hari. Setiap hari puasa membutuhkan niat tersendiri karena (masing-masing dirinya) merupakan ibadah (yang berdiri sendiri).”
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah, dalam kitabnya ia mengatakan bahwa setiap puasa wajib harus disertai dengan niat yang jelas dan tegas (ta’yin). Orang yang hendak berpuasa juga harus memiliki keyakinan dalam hatinya bahwa ia akan berpuasa keesokan harinya, misalnya dalam puasa Ramadan.
Rekomendasi dan Solusi
Kendati ulama mazhab empat sepakat bahwa niat merupakan bagian dari rukun puasa yang tidak boleh ditinggalkan, dalam praktiknya terdapat perbedaan pendapat yang menjadi solusi ketika dalam keadaan-keadaan sulit.
Misalnya, dalam mazhab Hanafi yang mengatakan bahwa waktu niat dimulai sejak malam hari, dan ini yang lebih utama, namun juga boleh dilakukan di pagi hari hingga pertengahan hari.
Pendapat ini sangat cocok jika suatu saat kita lupa berniat puasa di malam hari, dengan mengikuti pendapat mazhab Hanafi maka kita bisa langsung berniat di pagi hari hingga pertengahan hari.
Oleh karena itu, Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam salah satu karyanya merekomendasikan pendapat ini jika suatu saat terdapat seseorang yang bermazhab Syafi’i lupa berniat di malam hari, yaitu dengan mengikuti mazhab Hanafi yang membolehkan niat setelah fajar.
Dalam kitabnya, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Beirut: Darul Ihya at-Turats, ia mengatakan: “Disunnahkan bagi seseorang yang lupa berniat di bulan Ramadan hingga fajar terbit untuk berniat di awal siang, karena menurut Abu Hanifah, hal itu tetap mencukupi. Dalam kitab al-I‘ab disebutkan bahwa hal ini jelas berlaku jika ia mengikuti pendapat Abu Hanifah. Namun jika tidak, maka itu dianggap sebagai keterlibatan dalam ibadah yang rusak menurut keyakinannya sendiri, dan hukumnya haram.”
Selain pendapat ulama mazhab Hanafiyah di atas, juga terdapat salah satu pendapat dalam mazhab Maliki yang bisa menjadi solusi ketika lupa untuk berniat. Dalam mazhab ini, boleh untuk menggabungkan niat puasa selama bulan puasa dengan cukup satu niat saja, misal dengan berniat: ‘Aku niat puasa selama satu bulan penuh’, pada malam pertama bulan Ramadhan.
Praktik semacam ini dianggap cukup untuk niat-niat berikutnya, sehingga jika seandainya lupa tidak niat di malam setelahnya, puasanya tetap sah. Namun dengan syarat selama puasanya tidak terputus. Jika terjadi pemutusan, maka ia wajib memperbarui niatnya untuk melanjutkan puasa pada hari-hari berikutnya.
Pendapat itu juga direkomendasikan oleh Syekh Nawawi Banten, salah satu ulama mazhab Syafi’i berkebangsaan Indonesia. Dalam kitabnya Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadiin ia mengatakan: “Disunnahkan pada awal bulan untuk berniat puasa selama sebulan penuh, dan niat ini mencukupi tanpa perlu diperbarui setiap malam menurut Imam Malik. Oleh karena itu, menurut kami, disunnahkan untuk melakukannya, karena mungkin saja seseorang lupa menetapkan niat pada beberapa malam, sehingga ia dapat mengikuti pendapat Imam Malik.”[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy