Oleh Ustaz Fatihunnada, Dosen Fakultas Dirasat Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Setiap 17 Oktober, dunia internasional memperingati Hari Pengentasan Kemiskinan atau International Day for the Eradication of Poverty. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran global terkait masalah kemiskinan dan mendorong lahirnya upaya menghadapi dan menanggulangi kemiskinan.
Berkaitan dengan itu, sebagai agama yang universal, Islam juga memiliki perhatian besar terhadap masalah kemiskinan dengan saling berbagi melalui pola distribusi kekayaan secara luas, tidak hanya di kalangan kelompok tertentu. Ajaran ini tercermin dalam beberapa aturan agama, seperti zakat, infak, sedekah, wakaf, dan sejenisnya.Ini direkam oleh Imam Ibn ‘Asyur dalam kitab Maqashidus Syari’ah al-Islamiyah, juz III, halaman 470-471:
Artinya: “Tujuan syariat terkait harta ada pada lima aspek, yaitu peredarannya, kejelasan statusnya, jaminan kepemilikannya, stabilitasnya, dan keadilannya. Peredaran harta adalah pola distribusi harta kepada sebanyak mungkin manusia dengan cara yang benar.”
Di Indonesia, pengelolaan zakat secara profesional sudah mencapai Rp41 triliun dari angka potensi sebesar Rp327 triliun. Pengelolaan wakaf secara profesional juga sudah mencapai Rp2,7 triliun dari angka potensi Rp180 triliun. Angka-angka ini dapat berperan secara signifikan untuk program pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan dan pemenuhan kebutuhan.
Memenuhi kebutuhan orang miskin merupakan perilaku yang menunjukkan kepedulian manusia sebagai fungsi sosial untuk saling membantu, sekaligus untuk saling memberikan kebahagiaan dengan cara berbagi. Allah Swt berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 38:
Artinya: “Oleh karena itu, berikanlah hak (sedekah dari sebagian rezeki) kepada kerabat dekat, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridaan Allah. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Ayat ini dipahami oleh Imam Ibnu ‘Asyur dalam kitab At-Tahrir wal Tanwir, juz 21, halaman 470-102: Artinya: “Termasuk hak yang harus diberikan orang yang rezekinya lapang adalah memberikan kenyamanan hidup dengan pemenuhan kebutuhan bagi orang yang rezekinya sempit, sebagaimana ia merasa nyaman jika rezekinya dilapangkan.”
Pada dasarnya, semua manusia merasa bahagia dan nyaman ketika mendapatkan rezeki untuk memenuhi kebutuhan dan keluar dari jurang kemiskinan.
Oleh karena itu, orang yang memberikan sebagian rezeki sesungguhnya tidak mengurangi kebahagiaan hidupnya. Jika ia tidak berbagi, maka hartanya tidak bertambah, sekaligus tidak bisa menambah kebahagiaan hidupnya.
Hal ini ditegaskan Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab Mafatihul Ghaib atau yang dikenal dengan nama Tafsir Al-Kabir, juz 25, halaman 102: Artinya: “Maka seharusnya manusia tidak berhenti berbuat baik/berbagi rezeki kepada orang lain karena jika Allah memberikan rezeki yang lapang kepadanya, maka tidak akan berkurang jika disedekahkan. Jika Allah memberikan rezeki secukupnya, maka tidak akan bertambah jika ditahan/tidak disedekahkan.”
Pengentasan kemiskinan tidak dapat diselesaikan dengan memberikan sebagian rezeki melalui zakat, infak, sedekah, wakaf, dan sebagainya, tetapi dengan pemenuhan lapangan kerja dan pemberdayaan masyarakat tidak mampu. Langkah ini dianggap lebih tepat dan baik dari sekadar memberikan sebagian rezeki secara sukarela kepada orang yang tidak mampu. Hal ini yang dipahami Imam Al-Baghawi ketika menafsirkan surat Az-Zukhruf ayat 32 dalam kitab Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, juz 4, halaman 159:
Artinya: “Agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain, yaitu agar sebagian mereka dapat mempekerjakan (meminta bantuan pekerjaan) kepada yang lain, sehingga orang kaya dapat memberikan upah dengan hartanya kepada orang miskin dari pekerjaan yang dilakukannya. Dari sini, maka muncul harmonisasi hidup di antara seluruh manusia. Yang kaya berperan dengan hartanya dan yang miskin berperan dengan pekerjaannya, sehingga terpenuhilah kebutuhan kehidupan seluruh manusia.”
Mempekerjakan orang tidak mampu bukan sekadar memenuhi kebutuhannya, melainkan mengangkat derajat orang tidak mampu dari garis kemiskinan ke wilayah kecukupan. Selain itu, mempekerjakan orang tidak mampu juga mengangkat derajatnya di hadapan Allah karena orang yang mendapatkan rezeki dari hasil usaha dan kerja sendiri jauh lebih baik daripada orang yang mendapatkan rezeki dari pemberian orang lain. Hal ini ditegaskan Nabi Saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih Al-Bukhari, juz 2, halaman 18:
Artinya: “Sungguh memikul kayu bakar di atas punggungnya lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, kemudian orang lain memberinya atau tidak memberinya.”
Pemberantasan kemiskinan adalah tugas bersama seluruh elemen masyarakat. Kita semua dapat memberikan peran dan kontribusi dengan cara memberikan sebagian rezeki kita melalui zakat, infak, sedekah, wakaf, dan lain sebagainya untuk memenuhi kebutuhan orang miskin. Lebih dari itu, sebagian kita yang memiliki kelebihan rezeki melimpah juga memberikan lapangan pekerjaan untuk memberdayakan orang miskin.
Semoga Allah selalu memberikan keberkahan untuk kita semua yang mau berbagi rezeki dengan cara yang baik dan bermanfaat untuk orang lain. Amin ya rabbal ‘alamin.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy