Blora – Aceh memiliki beberapa pahlawan wanita. Salah satunya, Pocut Meurah Intan atau Pocut Di Biheu yang dimakamkan di Blora, Jawa Tengah.
“Sama seperti Cut Nyak Dhien yang dimakamkan di Sumedang Jawa Barat, kedua pahlawan wanita ternama ini dibuang Belanda keluar Aceh, karena Belanda ketakutan mengingat kedua tokoh ini mempunyai banyak pengikut di Aceh,” ujar Cut Putri, cucu Sultan Aceh, saat berziarah ke makam Pocut Meurah Intan, dikutip Minggu, 15 September 2024.
Menurut Pemimpin Darud Donya Aceh Darussalam ini, Pocut Meurah Intan anak Uleebalang atau Hulubalang di Biheu, Pidie.
Biheu merupakan sebuah kawasan peradaban lama bahkan sebelum Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530 M) menyatukan Kesultanan Aceh Darussalam. Menurut catatan penjelajah asing Tomes Pires pernah menyebutkan kerajaan di Aceh meliputi Lamuri, Bihar (Biheu), Pedir, dan lain-lain.
“Sejak penyatuan Kesultanan Aceh Darussalam, kawasan Bihar atau Biheu diperintah langsung oleh Uleebalang Aceh. Pocut Meurah Intan lahir dari keluarga Uleebalang ternama yang sangat dihormati,” ujar Cut Putri.
Pocut Meurah Intan menikah dengan keluarga Kerajaan Aceh. Suami Pocut Meurah Intan atau Pocut Di Biheu adalah Tuwanku Pangeran Abdul Majid Bin Tuwanku Pangeran Abbas Bin Sultan Jauhar Alam Syah (1795-1823 M). Dia pembesar kesultanan yang mengurus hal perdagangan di Pelabuhan Kuala Batee, Pidie.
Ketika Perang Aceh meletus, kata Putri, Tuwanku Abdul Majid dan istrinya Pocut Di Biheu melawan Belanda habis-habisan. “Tuwanku Pangeran Abdul Majid sangat ditakuti Belanda, karena dengan kapalnya, ia sering menyerang kapal-kapal Belanda, sehingga Belanda sangat membencinya. Tuwanku Pangeran Abdul Majid dicap Belanda sebagai “zeerover” yakni perompak laut,” ujar Putri.
Ketika Belanda sudah meningkatkan kekuatan tempurnya, kata dia, karena kalah dalam teknologi akhirnya Tuwanku Abdul Majid kalah. Lantas, Pocut Di Biheu meneruskan perlawanan di Biheu dan Padang Tiji, Pidie.
Dalam ekspedisi Perang Belanda tahun 1898 M ke Pidie, Belanda berhasil menghancurkan Istana Kuta Keumala Dalam di Keumala Pidie, tapi gagal menangkap tokoh Aceh.
“Saat itu Istana Darud Donya di ibu kota telah dikuasai Belanda,” terang Putri.
Atas bantuan jasa dari mata-mata Snouck Hurgronje atau yang dikenal dengan Habib Puteh, tambah dia, akhirnya persembunyian para Uleebalang Pidie berhasil diketahui. Mereka kemudian ditangkap. Hanya beberapa yang bisa meloloskan diri dan melanjutkan perlawanan.
Pocut Di Biheu memutuskan melakukan perlawanan terbuka. Dalam pertempuran dahsyat di Padang Tiji 1900 M, perempuan perkasa ini terluka parah sehingga cacat permanen dan pincang. “Namun Pocut terus menggelorakan perjuangan hingga Belanda berhasil menangkapnya bersama anak-anaknya yang kesemuanya juga merupakan para pejuang yang ditakuti Belanda.”
Namun bara perlawanan Pocut, kata Putri, tidak padam. “Api amarah terus mengalir dalam nadinya. Kebencian kepada Belanda tidak hilang sedikitpun. Bagi Pocut, kafir Belanda tetap merupakan penjajah yang telah membunuh rakyat Aceh dan membumihanguskan tanah air tercintanya, Aceh Darussalam,” ujarnya.
Putri menukil sebuah Hikayat Aceh menggambarkan jiwa kepahlawanan Pocut Meurah Intan dan para pahlawan wanita Aceh lainnya.
Oek ka puteh ban bungong meulue,
Mata geuh hue sue meutaga(Walau rambut sudah putih bagaikan bunga Melur,
Namun suaranya mengguntur matanya merah membara)
“Karena dianggap terlalu berbahaya di Kutaraja Bandar Aceh, apalagi Pocut banyak pengikut, akhirnya Pocut Di Biheu dipindahkan penahanannya oleh Belanda ke Blora,” ujar Putri.
Turut diasingkan, dua anaknya yakni Tuwanku Nurdin dan Tuwanku Budiman. Sebelumnya pada 1900, satu anak Pocut yang lain, Tuwanku Muhammad dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara, .
Pocut Di Biheu akhirnya kembali ke rahmatullah pada 19 September 1937 atau bersamaan dengan 14 Rajab 1356 Hijriah.
“Tahun ini 19 September 2024, tepat 87 tahun wafatnya perempuan mulia ini. Mari kita kirimkan doa untuk mereka, para pahlawan Bangsa Aceh,” ucap Putri.
Dimakamkan di Kompleks Prabu Brawijaya
Pocut Meurah Intan dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga bangsawan Prabu Brawijaya V, yang terletak di dataran tinggi dengan nuansa sejuk dan tenang.
Cut Putri berterima kasih kepada keluarga besar Prabu Brawijaya V dan seluruh keluarga besar Kerajaan Mataram, yang telah mendampingi dan menyambut selama kunjungan keluarga Kesultanan Aceh Darussalam di Jawa Tengah.
“Kisah kepahlawanan Pocut Meurah Intan adalah sebuah keteladanan. Tentang keberanian, keteguhan dan kepahlawanan wanita Aceh dalam mempertahankan Aceh dan Islam dari Imperialisme Barat,” ujarnya.
Selama ratusan tahun, kata Putri, kuatnya adat dan tradisi Islam di Aceh membuat para perempuan Aceh telah ditanamkan karakter agamis dan patriotisme semenjak dini.
Dia berharap Rakyat Aceh terus mempertahankan adat istiadat dan tradisinya, serta mempelajari sejarah Bangsa Aceh yang sarat nilai-nilai keislaman.
“Di balik kehalusan budi dan kelemahlembutan perempuan Aceh, tersimpan kekuatan dan keteguhan mental. Jiwa baja sebagaimana dimiliki oleh kaum lelaki Aceh. Bagi wanita Aceh, memanggul senjata dan memimpin perang melawan penjajah bukanlah hal aneh,” tuturnya.
Wanita Aceh digambarkan oleh HC Zentgraaff dalam bukunya Atjeh sebagai “de leidster hetverzet” atau pemimpin perlawanan, dan “grandes dames” atau perempuan-perempuan besar.
“Tidak ada bangsa yang pemberani perang serta fanatik melebihi Bangsa Aceh. Perempuan Aceh, melebihi kaum perempuan bangsa-bangsa yang lainnya dalam hal keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh, yang sudah dikenal sebagai laki-laki yang pemberani dan tidak takut mati dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka,” tulis Zentgraaff.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy