Oleh Dr Taqwaddin Husin (Dosen Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala, Hakim Tinggi Ad Hoc Tipikor)
Pengalaman saya selama bermitra kolaborasi dalam riset kebencanaan secara internasional yang dikomandoi Profesor Yuka Kaneko dari Kobe University, terekam sekali betapa disiplinnya orang-orang Jepang. Kolaborasi kami berasal dari berbagai negara seperti Jepang, Cina, Filipina, Turki, Selandia Baru, Thailand, Kamboja, Indonesia (Aceh), dan beberapa negara lain yang saya agak lupa.
Intinya, kami berasal dari semua negara-negara yang pernah mengalami bencana dahsyat yang dikenal secara internasional.
Koordinator kolaborasi ini adalah Kaneko Sensei yang dibantu beberapa profesor muda dan beberapa orang asisten profesor. Kaneko Sensei meneruskan apa yang dirintis Profesor Tanaka Sensei manakala ia menjabat sebagai Direktur Pusat RCUSS (Risearch Center for Urban Safety and Security) Kobe University.
Dari persahabatan secara langsung dengan para akademisi inilah saya merekam budaya Jepang. Jadi, bukan dari buku-buku.
Pernah suatu kali pada 2015, ketika saya sedang memulai kuliah pagi di tengah badai salju, terdengar ketukan pelan di pintu kelas. Semua peserta kelas terperanjat. Kaget. Karena tak biasanya ada yang terlambat hadir.
“Came in,” kata saya setelah membuka pintu, yang disambut oleh mahasiswi Jepang dengan berkali-kali membungkuk seraya berucap, “I am so sorry sir, I am so sorry sir.”
Mahasiswi ini merasa sangat bersalah dan seakan telah melakukan dosa besar karena masuk kelas saat dosennya memulai kuliah. Gestur tubuhnya yang membungkuk-bungkuk dengan wajah memelas ketakutan menjadi pelajaran bagi saya soal kedisiplinan waktu para mahasiswa Jepang.
Ini pelajaran pertama yang saya rekam dari budaya Jepang.
Berbeda sekali dengan ketepatan waktu pada mahasiswa kita, yang tak merasa bersalah, apalagi merasa berdosa saat terlambat masuk kelas. Padahal dalam ajaran Islam, berkali-kali ditegaskan agar kita disiplin waktu dengan berbagai sebutan, misalnya, demi masa, demi waktu malam, dan lain-lain yang menegaskan pentingnya kita menjaga waktu agar tidak merugi atau celaka.
Faktanya? Banyak mahasiswa kita yang menyia-nyiakan waktu sehingga tidak produktif.
Pelajaran kedua yang saya rekam dalam ingatan adalah orang-orang Jepang menulis secara rinci setiap program dan pekerjaan yang direncanakan. Misalnya, pertemuan kolaborasi kami ini sejak 15 hingga 19 Januari 2025 sudah dicatat secara mendetail sekali, dari hari ke hari hingga jam ke jam sejak enam bulan lalu.
Mereka sudah terbiasa berpikir dan bekerja dengan pendekatan 5W1H (What, Who, When, Why, Where, How). Apa pertemuannya, siapa saja yang terlibat melakukannya, di mana pertemuan itu dilakukan, kapan jadwal dilakukannya pertemuan, mengapa pentingnya pertemuan itu, serta bagaimana pertemuan itu dilakukan dan apa target capaiannya?
Semua itu sudah dirincikan sedemikian rupa sehingga semua peserta tidak ada yang melewatkan satu menit pun untuk tidak mengikuti acara.
Perencanaan yang matang didukung dengan ketaatan pada waktu, menjadikan orang Jepang dikenal paling disiplin. Paling tepat waktu. Hemat saya, inilah yang menjadi pendorong utama keperkasaan sumber daya manusia Jepang.
Pelajaran ketiga yang saya ingat dari budaya Jepang, soal kejujuran dan integritas mereka. Selama belasan tahun saya berteman dengan orang Jepang, kesan saya mereka orang yang jujur dan berintegritas. Mereka secara terus terang merasa bersalah jika memang telah melakukan kesalahan.
Bagi mereka, lebih baik harakiri (bunuh diri) daripada melakukan hal curang yang memalukan. Tidak lazim bagi mereka mengalihkan diri sembari mencari kambing hitam. Itu tidak ada di budaya mereka.
Kejujuran dan integritas inilah yang menjadikan penegakan hukum di Jepang dipatuhi. Hakim di sana sangat disegani dan dimuliakan. Karena Kaneko Sensei memperkenalkan saya, selain sebagai Akademisi juga sebagai Hakim (Saikanban) sehingga saya mengalami perlakuan yang patut selama di Jepang.
Budaya lain yang patut kita teladani dari orang Jepang adalah pada karakter mereka sebagai pekerja keras yang tekun dan gigih. Karakter ini diakui oleh semua bangsa lain di dunia. Dan, Jepang telah membuktikan mereka sebagai bangsa pekerja keras yang tangguh.
Amerika Serikat dulu pernah menghancurkan Jepang dengan mengebom Hiroshima dan Nagasaki. Namun dalam waktu tidak terlalu lama, kebangkitan ekonomi dan penguasaan teknologi Jepang bisa melampaui Amerika dan Eropa.
Pengalaman saya selama hampir satu bulan berada di Belanda, misalnya, ternyata teknologi transportasi dan teknologi pelayanan publik Jepang lebih unggul ketimbang Eropa.
Apalagi dalam hal penguasaan teknologi informasi, Jepang makin hebat saja. Pengalaman pelayanan imigrasi di Kansai International Airport (KIX), misalnya, walaupun antrean ratusan orang, tetapi bisa selesai cepat sekali.
Tak terbayang oleh saya, yang selama ini di Malaysia, Thailand, dan bahkan untuk umrah di Saudi Arabia antreannya juga lama. Sedangkan di Kansai Airport cukup masing-masing kita scan e-pasport dan langsung lewat.
Begitu juga dengan barang bawaan atau bagasi. Tinggal scan tiket yang sudah kita print sendiri, lalu ter-print otomatis kertas receipt bagasi. Tinggal masukkan kopor kita ke tempatnya dan dia segera bergerak menuju pada penumpukan bagasi-bagasi.
Perasaan saya, sistem teknologi ini sudah lebih bagus ketimbang di Bandara Schipool Amsterdam Belanda.
Mengapa Jepang bisa lebih hebat? Jawabannya adalah karena kedisiplinan mereka, terutama disiplin waktu. Selain itu, karena kejujuran, kerja keras dan fokus. Semua ini menjadikan sistem dan kualitas pendidikan mereka menjadi unggul.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy