Lhokseumawe – Universitas Monash Australia dalam sebuah penelitiannya menemukan Pilkada Aceh memiliki ujaran kebencian terbanyak di media sosial (medsos). Dari 16.700 teks yang diteliti sejak Agustus hingga 4 November 2024, sekitar 7.200 di antaranya berasal dari Aceh.
Menanggapi hasil penelitian itu, Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Malikussaleh, M. Akmal, menyebutkan perilaku ujaran kebencian itu terkait konflik Aceh di masa lalu.
Menurut Akmal, Aceh pernah hampir tenggelam, dalam artian selama masa konflik fungsi negara hampir-hampir tidak hadir di Aceh, kecuali fungsi kekuasaan.
Selama masa konflik, kata dia, peran civil society atau masyarakat sipil tidak bisa tumbuh dengan baik karena terjadi kerusakan sistem sosial politik yang parah.
“Antarelemen masyarakat saling berbenturan, dan hubungan elemen-elemen masyarakat dengan pemerintah juga tidak harmonis, bahkan bermusuhan (antagonistik dan antipati),” ujar Akmal kepada Line1.News, Senin, 25 November 2024.
Masyarakat Aceh, tambah Akmal, mengalami culture shock akibat perubahan perilaku sosial karena konflik yang panjang, serta kehilangan suasana tenteram dan damai.
“Efek-efek tersebut melahirkan perilaku permusuhan (ujaran kebencian) dalam proses demokrasi Pilkada Aceh sekarang,” ungkapnya.
Baca Juga: Penelitian Universitas Monash: Pilkada Aceh Paling Banyak Ujaran Kebencian di Medsos
Solusinya, kata Akmal, masyarakat Aceh harus kembali kepada hakikat fungsi negara dan pemerintah.
“Rakyat harus ‘sadar politik’ bahwa kita semua harus memilih kepala pemerintahan atau kepala daerah. Siapapun yang terpilih nanti mereka adalah pemimpin di Aceh. Kita semua wajib berdoa agar yang terpilih sebagai pemenang harus berpikir dan bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan-kepentingan politik golongan,” ujarnya.
Hanya dengan kesadaran politik inilah, kata Akmal, rakyat Aceh pascakonflik yang kini hidup dalam perdamaian harus sama-sama merajut dan mempertahankan perdamaian di masyarakat.
“Tidak perlu mencaci-maki karena Pilkada bukanlah perjuangan hidup dan mati bagi rakyat pemilih. Sesungguhnya Pilkada sebuah proses kontestasi antar parpol dan elit-elit politik yang ingin berkuasa,” ujarnya.
Perjuangan dalam kontestasi politik adalah perjuangan yang wajar, tidak luar biasa.
“Rakyat tunggu saja tanggal 27 November, coblos saja siapa yang disukai. Tidak usah terpengaruh dengan berbagai ujaran kebencian antarsesama kelompok pendukung yang kini semakin merajalela, baik di dunia medsos atau di tengah-tengah perbincangan masyarakat,” ucap Akmal.
Dia meminta rakyat Aceh jangan terpengaruh lagi dengan berbagai ujaran kebencian yang memang diciptakan oleh buzzer-buzzer yang sudah dibayar mahal.
Baca Juga: Pengamat Politik M Akmal: Calon Kepala Daerah Memang Harus Orang Kaya
Terkait black campaign dalam Pemilu, baik Pileg, Pilpres atau Pilkada di era modern, sebut Akmal, ini merupakan pilihan buruk yang dilakukan oleh setiap tim sukses. Menurutnya, masyarakat harus cerdas dan sadar bahwa black campaign adalah alat yang dipilih untuk saling menjatuhkan.
“Bek gabuk, bek muprang gara-gara gop yang meuheut kekuasaan. Bukti empiris yang sudah kita lihat-lihat sebelumnya, banyak pemimpin yang leuh na kuasa, kepentingan rakyat hana meuho le, yang geu peuduli syit kepeuntengan ureung droe“.[]
Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. Setiap tanggapan komentar di luar tanggung jawab redaksi. Privacy Policy